03 Mei 2012

Membangun Modal Insani, Mengatasi Kesenjangan - Haryo Aswicahyono


Membangun Modal Insani, Mengatasi Kesenjangan
Haryo Aswicahyono

Dalam tulisan ini, saya ingin membahas tentang kebijakan pendidikan nasional, khususnya untuk Pendidikan Tinggi.  Untuk setiap kebijakan kita perlu bertanya apa tujuan dari kebijakan tersebut, memikirkan berbagai alternatif, dan akhirnya memilih alternatif paling optimal untuk mencapai tujuan tersebut. Di sini saya memusatkan analisis saya pada dua tujuan pendidikan tinggi (a) untuk meningkatkan modal insani dengan cara paling efiesien (b) mengurangi kesenjangan pendapatan.

Tujuan mulia ini mudah diucapkan, namun tentu saja tidak mudah untuk dicapai. Pertama pendidikan tinggi yang bermutu itu mahal, sementara dana yg tersedia terbatas dan diperlukan juga untuk tujuan tujuan mulia lainnya seperti meningkatkan kesehatan penduduk. Jadi pertanyaan pertama yg harus dijawab adalah bagaimana membiayai pendidikan tinggi yang mahal tersebut. Kedua, masalah klasik adanya kemungkinan trade-off jika tujuan yang ingin dicapai lebih dari satu. Terkait dengan ini, pertanyaan yang harus dijawab adalah model pembiayaan seperti apa yang bisa mencapai dua tujuan mulia tersebut sekaligus?

Modal pembiayaan paling umum untuk pendidikan tinggi adalah melalui sistim perpajakan. Dalam sistim ini mereka yang memutuskan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi mendapat pedidikan murah karena disubsidi, atau bahkan gratis. Semua pembayar pajak membiayai pendidikan sebagian kecil penduduk yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Di sini kita langsung dihadapkan pada pertanyaan tentang kemampuan sistim ini mencapai tujuan kedua - mengurangi kesenjangan. Berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah yang sifatnya wajib. Melanjutkan ke pendidikan tinggi adalah pilihan. Untuk pendidikan dasar dan menengah, semua warga menanggung pendidikan itu melalui pajak atau biaya oportunitas karena pengeluaran tersebut tidak bisa digelar di tujuan lain. Namun karena sifatnya universal, semua rumah tangga menikmati apa yang mereka bayarkan. Sementara untuk pendidikan tinggi semua membayar untuk sebagian kecil penduduk yang beruntung diterima di perguruan tinggi.

Bahkan sistim ini cenderung menciptakan reverse redistribution. Yang memilih melanjutkan ke PT tidak bekerja selama beberapa tahun dan setelahnya menjadi tenaga kerja terdidik dengan pendapatan yang jauh lebih tinggi dibanding mereka yang hanya menyelesaikan pendidikan menengah. Sementara yang membayar pendidikan itu termasuk, bahkan mungkin sebagian terbesar, mereka yang memutuskan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Jika ditotal pendapat seumur hidup mereka yang mampu menjadi tenaga kerja terdidik tentu lebih tinggi dari pendapatan seumur hidup mereka yang membiayai pendidikan tersebut. Jadi ex-post, sistim ini tidak mampu mencapai tujuan kedua, bahkan cenderung menciptakan (ex-postreverse redistribution

Hasil penelitian empiris juga menunjukkan bahwa Perguruan Tinggi memberikan manfaat sosial yg jauh lebih kecil dibanding manfaat pribadinya yaitu upah tinggi yang dinikmati setelah lulus kuliah. Sebaliknya pendidikan dasar dan menengah memberikan manfaat sosial yang jauh lebih besar dari manfaat pribadinya. Karena manfaat pribadi pendidikan tinggi besar, maka wajar jika mereka yang ingin melanjutkan perguruan tinggi membiayai pendidikannya sendiri.

Bagaimana mereka yang memutuskan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi ini membiayai pendidikan mereka? salah satu alternatif adalah berutang, toh nanti akan bisa membayar kembali utang tersebut setelah lulus kuliah. Alternatif ini bisa mencapai tujuan pertama, secara efisien meningkatkan modal insani. Alternatif ini juga tidak menimbulkan redistribusi sungsang, tetapi lagi-lagi, alternatif ini tidak akan mencapai tujuan kedua, tujuan pemerataan.

Pertama, akses ke lembaga perbankan tidak sempurna, kemungkinan besar hanya yang kaya yang akan mampu menikmati ini. Kedua, berbeda dengan investasi di modal fisikal, ada kolateral yang bisa dijaminkan yaitu modal fisik itu sendiri. Sebaliknya modal insani sifatnya nirwujud, jadi tidak ada kolateral setara dengan penanaman modal fisikal, kecuali kita mengijinkan perbudakan. Karena alasan tidak adanya kolateral ini, pihak perbankan enggan untuk memberi pinjaman seperti ini. Ketiga, ada perbedaan antara orang miskin dan orang kaya dalam resiko yang dihadapi ketika berutang. Jika setelah lulus, yang miskin gagal mendapat pekerjaan dengan upah yang memadai, mereka akan terjerat utang yang makin memiskinkan. Sebaliknya orang kaya sedikit banyak memiliki "asuransi" terhadap resiko tersebut. Secara ex-ante, sistim ini sudah tidak adil.  Singkat kata menyerahkan sepenuhnya pembiayaan pendidikan melalui mekanisme pasar tidak akan mencapai tujuan kebijakan pendidikan tinggi.

Alternatif ketiga pemerintah yang memberi utang ke mereka yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Setelah lulus mereka membayar kembali utang tersebut dengan bunga yang mungkin disubsidi. Alternatif ini memecahkan masalah akses, karena yang memutuskan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi otomatis mendapat akses yang mudah dan sama. Alternatif ini juga tidak menimbulkan efek redistribusi sungsang, karena pada dasarnya mereka membiayai pendidikannya sendiri. Namun kembali sistim ini tidak memcahkan perbedaan resiko yang dihadapi orang kaya vs orang miskin. Insentif untuk berutang ke pemerintah lebih besar bagi yang kaya dibanding yang miskin karena perbedaan sumber daya untuk mengatasi resiko gagal bayar.

Alternatif terakhir pajak sarjana. Di sini, pemerintah sepenuhnya menanggung biaya pendidikan semua mahasiswa. Setelah lulus, pemerintah memungut pajak ekstra setelah mahasiswa tersebut bekerja dan mencapai tingkat pendapatan tertentu. Ditambah lagi, sarjana yang gagal mencapai tingkat pendapatan tertentu tidak dikenakan pajak ekstra ini.

Sistim ini walau tidak sepenuhnya sempurna, namun memenuhi tujuan yang disampaikan di awal tulisan. Pertama, sistim ini efisien karena setiap orang memutuskan dan menghitung sendiri untung rugi keputusan menanam modal insani bagi dirinya sendiri. Kedua, sistim ini tidak menimbulkan redistribusi sungsang seperti di sistim tradisonal pembiayaan melalalui pajak umum. Di sini mahasiswa pada dasarnya membiayai dirinya sendiri, pemerintah mengatasi masalah antar waktu dengan menalangi biaya pendidikan. Ketiga, sistim ini membuka akses yang sama bagi semua baik yang kaya maupun yang miskin. Keempat, karena resiko kegagalan mencapai pendapatan yang memadai setelah lulus ditanggung oleh pemerintah (atau oleh sarjana yang sukses) maka sistim ini memberi insentif yang sama bagi yang miskin maupun yang kaya. Tidak ada hambatan ex-ante di sini

05 April 2012

Infografis Subsidi BBM - Haryo Aswicahyono

Infografis Subsidi BBM - Haryo Aswicahyono

03 April 2012

Pada Mulanya Adalah ICP: Simulasi APBN 2012 - Haryo Aswicahyono


Pada Mulanya adalah ICP: Simulasi APBN 2012 - Haryo Aswicahyono

Pada mulanya adalah ICP yang "bercerai" dari asumsi APBN 2012 yang besarnya $90. Seperti dapat dilihat di Garfik 1, ICP telah "terbang" di kisaran $100 sepanjang 2011 dan "bertengger" di tingkat $120 pada bulan Februari 2012

Grafik 1

Pemerintah beranggapan bahwa kecenderungan naiknya harga minyak mentah di pasar dunia yang sangat tinggi ini akan berdampak secara signifikan terhadap APBN, karena meningkatnya beban subsidi BBM dan listrik secara tajam.

Untuk mengurangi beban anggaran ini, maka pemerintah berniat menaikkan harga Premium dan Solar menjadi Rp. 6000 dalam RAPBN-P 2012. Seperti kita ketahui bersama, harapan tersebut kandas dalam sidang paripurna. Namun DPR memberi ruang bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM jika rata-rata harga ICP selama 6 bulan melampaui 15% dari asumsi RAPBN-P yang besarnya $105. Dengan kata lain, Pemerintah diijinkan menaikkan harga BBM jika harga rata-rata ICP selama 6 bulan melampaui $120.75

Maksud dari catatan ini adalah melakukan simulasi APBN dalam skenario terburuk yaitu jika selama tahun 2012 rerata 6 bulan ICP tidak pernah melampaui 120.75, namun secara keseluruhan di tahun 2012 rerata ICP katakan sebesar $120. Lebih spesifik, catatan ini ingin memperkirakan, berapa besarnya subsidi jika asumsi ICP adalah $120, dan asumsi-asumsi lain tetap seperti RAPBN-P 2012

Metoda Perhitungan:

Seperti telah dijelaskan di sini. Besarnya subsidi BBM tidak secara langsung tergantung pada besarnya ICP, namun pada besarnya MOPS untuk Premium, Mitan dan Solar. Untuk subsidi LPG 3kg besarnya subsidi tergantung dari harga kontrak LPG yang dikeluarkan oleh Aramco. Dikenal sebagai CP Aramco.

Jadi tugas pertama yang harus dilakukan sebelum melakukan simulasi adalah melakukan perkiraan besaran MOPS dan CP Aramco terkait dengan perubahan ICP.

Kita bisa memperkirakan besaran itu dengan melakukan regresi antara MOPS vs ICP dan CP Aramco vs ICP. Berbekal persamaan regresi tersebut kita bisa  meperkirakan besarnya MOPS dan CP Aramco jika ICP mencapai level $120

Sayangnya angka MOPS dan CP Aramco masa lalu yang akan dijadikan dasar untuk melakukan peramalan besaran MOPS untuk tahun 2012 sulit diperoleh. Setelah berhari-hari saya ngubek internet (kasihan ya saya), akhirnya saya memperoleh data MOPS untuk bulan Januari 2005-Mei 2008 di sini. Untuk data CP Aramco saya peroleh di sini. Dan data ICP saya peroleh di sini. Berbekal data-data tersebut saya bisa mendapatkan persamaan regresi berikut:

  • MOPS untuk Premium = 12.5352 + 0.9544 x ICP
  • MOPS untuk Mitan = 2.6451 + 1.2037 x ICP
  • MOPS untuk Solar =  -3.8249 +1.2586 x ICP

LPG terdiri dari 30% Propane dan 70% Butane. Jadi CP Aramaco adalah rata-rata tertimbang untuk dua gas tersebut. Hasil regresinya adalah

  • CP Aramco = 168.3426 + 6.2696 x ICP

Dari persamaan tersebut bisa kita peroleh angka perkiraan berikut:

  • MOPS Premium = 127.78  
  • MOPS Mitan = 147.99  
  • MOPS Solar = 148.15  
  • CP Aramco = 925.39

Besaran-besaran lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya subsidi diberikan dalam APBN dan RAPBN-P, saya gabungkan dengan perkiraan MOPS dalam tabel berikut

Tabel 1

Simulasi

Dengan hanya menggunakan tiga rumus yang saya berikan di akhir catatan ini, kita bisa menghitung besarnya subsidi BBM dan LPG untuk skenario-skenario di atas. Berikut hasil perhitungan tersebut

Tabel 2

Hasil simulasi menunjukkan bahwa jika ICP rata-rata sepanjang 2012 meroket jadi $120/bbl maka besarnya subsidi BBM akan melonjak menjadi Rp. 226.8 triliun atau bertambah lebih dari Rp. 100 triliun dibanding APBN 2012. Bahkan jika pemerintah menaikkan harga BBM menjadi Rp. 6000 subsidi tetap membengkak menjadi Rp. 172 triliun. Jauh lebih besar dari perkiraan RAPBN-P yang kandas di sidang paripurna DPR. Jika dengan asumsi ICP 105 saja jika harga BBM tidak dinaikan anggaran sudah defisit melampaui 3% apalagi ketika ICP mencapai $120 

Pertanyaan berikutnya, seberapa besar kemungkinan bahwa harga minyak akan mencapai rata-rata $120. Meramal harga minyak adalah meramal sesuatu dengan tingkat ketidkpastian yang tinggi. Namun menurut Short Term Energy Outlook 2012 terbitan EIA , diperkirakan harga minyak mentah WTI akan bertengger di tingkat $106/barel selama 2012-2013. Sudah setahun ini rata-rata ICP $18/bbl lebih tinggi dari WTI. Jadi jika ramalan WTI benar, maka besar kemungkinan rerata ICP akan melampaui $120/bbl di tahun 2012.Simulasi ini kemungkinan besar underestimate pengeluran subsidi yg sesungguhnya karena mengabaikan meningkatkatnya subsidi listrik, dan perkiraan konsumsi BBM bisa mencapai 47 juta kilo liter tahun ini

Selamatkan anggaran, selamatkan ekonomi Indonesia

***

Rumus-rumus untuk menghitung subsidi BBM

Rumus untuk subsidi Premium dan Solar
 S = (MOPS*Er/158.9+Alpha-Pb/(1+tn+tb))*Qb/1000.000 --(1)

Rumus untuk subsidi Minyak tanah
S = (MOPS*Er/158.9+Alpha-Pb/(1+tn))*Qb/1000.000 --(2)
  • MOPS = Harga patokan (satuan $US/barel) 
  • Er = Kurs Rupiah (satuan Rp/$US)
  • Alpha = berbagai biaya distribusi dan margin usaha (satuan Rp/liter)
  • Pb = Harga BBM bersubsidi (satuan Rp/liter)
  • tn = pajak pertambahan nilai (10 %)
  • tb = pajak bahan bakar (5 %)
  • Qb = Konsumsi BBM bersubsidi (satuan ribu kilo liter)
Rumus untuk subsidi LPG 3 kg
S =(((1+bm)*CpA+fc)*Er/1000+md-Pb/(1+tn+tb))*Ql/10^6 --(3)
  • CpA = Cp Aramaco = harga patokan untuk LPG ($US/MT)
  • bm = bea masuk import = 1.88%
  • fc = biaya angkutan laut yang besarnya = $US 68.64/MT
  • md = marjin distribusi yang besarnya = Rp 1750/kg
  • Ql = konsumsi LPG yang besarnya
[bersambung di perkiraan penerimaan minyak negara]

Inter-generasi BBM - Aswicahyono dan Yudo


Problem Inter-generasi BBM
Haryo Aswicahyono dan Teguh Yudo

  1. Ini bukan ide baru. Soal BBM bisa dilihat sabagai masalah antar generasi & waktu. Katakan ada 3 generasi: gen 1 (tua), gen 2 (muda) & gen. 3 (anak2)
  2. Bagi2 'adil' BBM kira2 masing2 dapat 1/3 dari total. Tapi ada problem tiap generasi: Lupa bahwa ada generasi lain sesudahnya.
  3. Gen. 2 & gen 3 masing2 harusnya dapat 1/4 . Tapi problem tiap generasi selalu ada: Maksimalkan porsi.
  4. Gen. 2 sekarang protes, harga bbm mahal, karena tinggal 1/2. Pilihn yg ada: 1) tagih balik apa yg diambil gen 1, atau 2) ambil porsi gen ke 3.
  5. Opsi 1 gak mungkin dilakukan. Yang diambil opsi ke 2. Gen 2 pasti menang, karena cuma Gen.2 yang punya Partai & Suara. Gen 3 belum bisa milih.
  6. Jadi policy cabut subsidi akan selalu lemah, karena yg pro cabut subsidi hanya Gen 3 yg belum punya partai
  7. Tapi pas tiba saat voting soal bbm gak ada gunanya lagi, ketika BBM=0 & Gen.3 gak bisa tagih yg diambil di generasi 1 & 2
  8. Jadi trade-offnya bukan cuma soal subsidi BBM vs rumah sakit. Tapi juga antar generasi

sumber:
Proved Reserved: http://1.usa.gov/8YqrwI
Consumption: http://1.usa.gov/Bu5h9
Population: http://1.usa.gov/89CCH



31 Maret 2012

Pidato di Mimpi Saya - AAP

"Pidato" di bawah ini adalah pidato imajiner. Ia terinspirasi oleh sepotong twit @andidio yang berbunyi "Mimpi: SBY datangi ribuan pengunjuk rasa di dpn istana. Naik ke panggung, jelaskan dgn gamblang knp bbm hrs naik. Minta maaf atas dampaknya". Dengan maaf kepada Pak Presiden, mohon ijin bermimpi. - AAP.


Saudara-saudara sekalian,

Saya berdiri di hadapan saudara-saudara untuk meminta maaf. Saya terpaksa harus menaikkan harga BBM. Saya mohon maaf karena isu ini sudah berkembang cukup lama dan telah menyebabkan ketegangan di masyarakat. Saya memahami bahwa banyak pihak, termasuk mahasiswa, yang tidak setuju dengan langkah ini. Tapi ijinkan saya menjelaskan alasannya.

Pertama-tama, saya harus mengingatkan sebuah fakta yang kurang menggembirakan. Kita bukan lagi negara kaya minyak. Kita bahkan harus keluar dari OPEC beberapa tahun lalu, karena kita bukan lagi negara pengekspor minyak neto: lebih banyak yang diimpor ketimbang yang dieskpor. Cadangan minyak kita ada sekitar 4 milyar barel – namun yang terbukti tidak sebanyak itu. Kapasitas kita menyedot minyak mentah per hari tidak sampai 1 juta barel – itu pun tidak semuanya siap dikonsumsi. Karena teknologi dan produksi yang terbatas, kita ekspor minyak mintah dan mengimpor hasil olahannya.  Pada saat bersamaan, konsumsi kita terus meningkat – sekarang hampir mencapai 1,5 juta barel per hari. Dan ini akan terus bertambah, karena jumlah penduduk usia muda kita sangat besar, dan cenderung bertambah besar; kebutuhan energi total pun meningkat pesat. Jika kita tidak melakukan sesuatu untuk mengurangi ketergantungan kita pada BBM bebasis fosil tak terbarukan itu, kita tidak perbaiki insentif bagi peningkatan teknologi, maka kita akan gerogoti cadangan itu, hingga ia habis 12 tahun lagi. Akan bagus jika pada saat itu energi alternatif telah tersedia. Tapi sulit membayangkan ada upaya pengembangan energi terbarukan saat ini, jika harga produknya takkan pernah bisa menyaingi harga BBM bersubsidi. Jika anda pengusaha, apakah anda mau investasi pada sebuah industri yang harga produknya diperkirakan akan kalah jauh dengan produk yang sudah ada? Singkatnya, saudara-saudara sekalian, jika kita tidak melakukan penyesuaian pada harga BBM saat ini, kita sesungguhnya sedang membuka pintu bagi krisis energi. Sekali lagi, kita sudah tidak bisa bangga sebagai negara kaya minyak. Masa-masa itu sudah lewat.

Saudara-saudara yang saya hormati,

Saya paham bahwa di antara saudara-saudara telah terjadi debat sengit seputar angka-angka dan alokasi APBN. Saya berterima kasih kepada Saudara Kwik Kian Gie dan lain-lain yang telah kembali mengangkat isu ini. Saya hargai juga upaya menteri-menteri dan staf saya di pemerintahan yang telah merespon dan melakukan klarifikasi atas semua ini. Saya pun menerima dengan tangan terbuka kritik para mahasiswa dan aktivis.

Tapi, saudara-saudara, saya ingin menekankan bahwa isu defisit atau surplus anggaran bukan satu-satunya aspek dari subsidi BBM ini. Tentu bagus untuk selalu transparan dalam rincian anggaran dan untuk selalu melakukan verifikasi yang akuntabel. Untuk itu, saya sangat hargai masukan yang tajam dari ICW dan organisasi lain. Saya juga minta kepada jajaran staf saya untuk memeriksa semuanya kembali dan melaporkan semua kepada publik secara setransparan mungkin. Namun, dengan rendah hati, saya ingin mengajak semua pihak untuk melihat gambar besar dari persoalan kita. Terlepas dari debat defisit maupun surplus, kita sedang menghadapi tiga masalah yang krusial: tidak memadainya infrastruktur, distribusi subsidi yang kurang tepat, serta semakin terancamnya lingkungan hidup tempat kita tinggal.

Pertama, mari kita lihat infrastruktur. Banyak yang mengeluh bahwa di Jakarta, harga jeruk dari Pontianak ternyata jauh lebih mahal daripada jeruk impor dari Cina. Mengapa? Karena biaya pengangkutan barang dengan transportasi darat di negara kita 50% lebih mahal daripada rata-rata negara ASEAN. Karena akses yang sulit, kita juga tahu  bahwa harga semen dan bahkan kebutuhan pokok menjadi luar biasa mahal ketika mencapai daerah terpencil seperti Yahukimo dan Paniai. Orang luar sering menduga: karena Indonesia adalah negara kepulauan, tentu lebih murah mengirim barang lewar air ketimbang darat. Ternyata, biayanya bahkan lebih mahal, sekitar 150% di atas rata-rata ASEAN tadi. Kenapa? Karena pelabuhan-pelabuhan kita masih tidak efisien. Ironis sesunggunya, bahwa sebuah negara dengan ribuan pulau tidak mempunyai pelabuhan sekelas yang ada di Singapura dan Hongkong. Kita juga dengar keluhan dari para eksportir kita. Ketika mereka mengirim produk mereka ke pasar internasional, truk mereka harus bersaing dengan mobil dan motor pribadi. Saat berhasil masuk jalan tol, di sana pun macet. Dan masalah logistik ini berlanjut di pelabuhan. Beberapa pengusaha bisa menggeser beban biaya ekonomi tinggi ini ke konsumen. Bagaimana caranya? Dengan terpaksa menaikkan harga produk mereka. Inilah salah satu alasan kenapa produk kita menjadi kurang kompetitif di pasar internasional. Karena itu, kita harus memperbaiki infrastruktur dan sistem logistik kita. Mungkin saudara-saudara telah melihat bagaimana pemerintah sangat menekankan isu ini di dalam dokumen-dokumen perencanaan seperti RPJM/P dan MP3EI. Tapi tentu semuanya membutuhkan pembiayaan. Anggaran pemerintah hanya bisa membiayai 30% dari kebutuhan infrastruktur ini. Kita berharap partisipasi dari swasta. Tapi sangat wajar jika swasta baru mau terlibat jika mereka melihat ada imbalan yang layak atas investasi mereka. Nah, saudara-saudara, pada saat bersamaan, kita ternyata tetap mengalokasikan lebih banyak uang untuk subsidi konsumsi energi ketimbang untuk membangun infrastruktur. Saya kira ini tidak produktif.

Kedua, saya rasa kita sepakat bahwa subsidi seharusnya untuk membantu mereka yang miskin. Sayangnya, kita sekarang menyadari bahwa sebagian besar subsidi BBM ternyata dinikmati oleh mereka yang bukan termiskin. Bahkan, hampir setengahnya dinikmati oleh golongan berpendapatan tinggi; hanya kurang dari 2% sampai ke 10% terbawah. Kita tentu tidak menginginkan kebijakan yang regresif seperti ini. Lebih buruk lagi, kesenjangan harga yang tercipta di antara BBM bersubsidi dan bahan bakar lain menjadi sasaran empuk bagi penyelundup. Atau tukang oplos.  Saudara-saudara mungkin sudah membaca di media massa, bahwa pemerintah akan menghukum mereka yang menimbun atau mengoplos bahan bakar untuk mencari keuntungan. Dalam kondisi lain, praktik ini mungkin bisa dilihat sebagai wujud kewirausahaan yang kreatif. Tapi kita tidak sedang dalam kondisi ideal. Kita sedang membicarakan akses kepada energi, sebuah barang kebutuhan pokok, yang stoknya sedang menipis tajam di tengah absennya alternatif.

Pertimbangan saya yang ketiga, namun tak kalah pentingnya adalah tentang lingkungan. Perubahan iklim sedang terjadi, saudara-saudara. Walaupun betul bahwa perdebatan tentang derajat dan risikonya masih terus berlangsung, namun saya kira para pakar sepakat: perubahan iklim memang berlangsung. Nah, kita adalah salah satu penghasil emisi terbesar. Deforestasi menjadi penyebab utama. Namun, peran sektor energi yang meliputi transportasi juga semakin menguatirkan. Ini karena sumber energi kita masih didominasi bahan bakar fosil yang berpolutan tinggi itu. Dan celakanya, konsumsi energi berbasis fosil inilah yang terus kita subsidi. Dengan kata lain, kita sebenarnya mendorong polusi yang lebih tinggi dari hari ke hari. Seperti sudah saya katakana, energi yang lebih bersih sendiri “tidak tertarik” masuk selagi “saingannya”, BBM itu masih lebih menarik di mata konsumen.

Saudara-saudara yang saya cintai,

Jika ketiga faktor tersebut – infrastruktru, kemiskinan, dan lingkungan – kita perhitungkan, saya harap kita dapat melihat “gambar besar”, tidak sekedar isu defisit kecil atau besar. Dengan memperbaiki sistem subsidi saat ini, kita berharap dapat meingkatkan infrastruktur, memperbaiki program pengentasan orang miskin, dan membantu melestarikan lingkungan. Saya sangat sadar bahwa keputusan mengurangi subsidi BBM – dengan akibat kenaikan pada harga – tentu menimbulkan guncangan ekonomi, terutama kepada rakyat miskin. Maafkan saya, tapi saya berharap guncangan ini tidak akan berlangsung lama – sebagaimana pengalaman kita beberapa kali sebelumnya. Pemerintah juga telah menyiapkan kompensasi sementara bagi saudara-saudara di lapisan bawah.

Saudara-saudara sekalian,

Saya telah berbicara terlalu panjang. Tapi ijinkan saya tutup dengan sedikit kilas balik. Saya mengerti bahwa seharusnya saya sudah melakukan penyesuain harga tahun lalu. Saya menurunkan harga BBM dua kali tahun 2008 dan sekali awal tahun 2009, ketika harga dunia jatuh signifikan. Alasan saya adalah untuk mengikuti kecenderungan harga dunia – sama sperti ketika saya harus menaikkan harga pada tahun 2005 di tengah meroketnya harga minyak bumi dunia. Maka, ketika harga dunia naik lagi tahun 2010, dan terutama tahun 2011, saya semestinya konsisten dengan ikut menaikkan harga BBM. Saya tidak melakukannya. Dan kali ini, tahun 2012, saya berharap saya mengambil keputusan yang lebih baik. Mohon saya selalu diingatkan. Dan setelah keputusan ini efektif, jika ternyata saya tidak dapat membuat perbaikan dalam hal infrastruktur misalnya, silakan saudara-saudara menuntut janji saya.

Terima kasih.

* versi awal ada di cafesalemba.blogspot.com (English)



Konsumsi Energi - Wikarya, Azar, Revindo

Berikut adalah beberapa slide yang disusun oleh Uka Wikarya, Shauqie Azar, dan M. Dian Revindo. Semoga bermanfaat.











BBM: ICW vs Pemerintah (3) - Haryo Aswicahyono


Setelah saya berikan rumus-rumus untuk menghitung subsidi BBM dan LPG di bawah mari kita tampilkan dan diskusikan lagi perbandingan perhitungan subsidi BBM dan LPG antara ICW dan Depkeu

Tabel 1.

Dari penulusuran cara penghitungan subsidi BBM dalam PPT ICW (bisa diunduh di sini) saya tidak menemukan kesalahan methodologis yang serius. Bahkan dengan menggunakan asumsi MOPS yang diberikan ICW, saya mendapatkan hasil yang sama persis dengan hasil hitungan ICW.  Jadi tidak benar statement Wamen ESDM: "ICW itu kalau nggak salah, dia salah ngitung MOPS, tapi alfanya lupa, jadi harga BBM-nya murah" (Wamen ESDM: Pemerintah Itu Pintar, Tak Mungkin Salah Hitung Subsidi BBM). ICW tidak melupakan alfa dan secara eksplisit membahasnya dalam presentasinya.

Perbedaan hasil perhitungan justru karena perbedaan MOPS. Untuk Premium, Depkeu menetapkan MOPS yang sedikit lebih tinggi.¹ Sementara untuk Solar, ICW mengambil asumsi MOPS yang lebih tinggi. Minyak tanah volumenya sudah kecil dalam konsumsi BBM karena itu perbedaannya tidak terlalu nyata. Jika tiga jenis BBM itu ditotal, selisih perhitungan ICW dan Depkeu "hanya" sekitar 2.7 triliun

Perbedaan terbesar justru muncul dalam perhitungan subsidi LPG. Sepertinya Depkeu menetapkan Cp Aramco yang lebih tinggi sekitar US$239 dibanding asumsi ICW. Akibatnya perhitungan subsidi LPG estimasi Depkeu 7.7 triliun lebih tinggi dibanding perhitungan subsidi ICW

Berbeda dengan ketika memberikan perhitungan BBM, ICW tidak secara detail memberikan cara menghitung harga keekonomian LPG dalam PPTnya. ICW hanya menyebutkan secara selintas bahwa untuk subsidi LPG digunakan realisasi harga rerata CP Aramco tiga tahun sebelumnya dikaitkan dengan harga minyak mentah.

Saya juga tidak punya dokumen methodologi dan asumsi yang digunakan Depkeu. Jadi saya tidak bisa menjawab mengapa Depkeu menetapkan (implied) Cp Aramco yang begitu tinggi. Apakah karena 2 bulan terakhir Cp Aramco melonjak?

***

Berulang kali ICW membenturkan hasil hitungannya dengan hasil hitungan pemerintah seperti ini:

"... jika harga BBM premium dan solar tidak naik, dalam arti tetap di harga Rp 4.500 perliter, maka total beban subsidi BBM dan LPG hanya Rp 148 triliun. Ini berbeda dengan versi pemerintah yang menyebut jika BBM tidak naik maka, beban subsidi BBM bisa mencapai Rp 178 triliun." (ICW Adukan Mark-Up Subsidi BBM ke Fraksi PDIP)

Padahal seperti terlihat di tabel di atas, untuk BBM dan LPG perbedaan estimasi antara ICW dan Depkeu "hanya" sekitar 10 trilun. Lantas faktor apa lagi yang membedakan hasil hitungan ICW dan pemerintah.

Yang mengherankan saya, dari PPT yang saya peroleh, ICW sudah menyebutkan beberapa item tambahan subsidi berikut:
  • Kekurangan bayar subsidi BBM & LPG 2011: 0.7 triliun
  • Kekurangan bayar subsidi 2011: 3.5 triliun
  • Subsidi LGV: 0.05 triliun
Namun ini selalu diabaikan oleh ICW dalam perhitungan akhir dan satatemen-statementnya di media masa. ICW juga "menghilangkan" satu item yang cukup besar jumlahnya, yaitu 10% PPN penjualan BBM yang menjadi hak Pertamina. Di tabel 1, dapat dilihat bahwa total subsidi BBM adalah 158.5 triliun, berarti ada tambahan lagi 10% PPN dari 158.5 triliun yaitu 15.85 triliun.

Berikut adalah perbedaan lengkap antara perhitungan subsidi ICW dan  Depkeu:

Tabel 2.

Silang sengkarut semacam ini sebetulnya bisa dihindarkan jika Depkeu mempublikasikan secara lebih detail dasar-dasar asumsi perhitungan MOPS dan Cp Aramco yang (mungkin) diturunkan dari asumsi ICP. Ditambah lagi tidak semua orang punya akses terhadap data MOPS. Demi transparansi publik kiranya Depkeu perlu mempublikasikan metoda perhitungan APBN dalam bentuk buku panduan yang lengkap. Kalau perlu, masyarakat bisa menghitungnya secara online.

Di lain pihak, ICW juga seharusnya tidak menyembunyikan fakta-fakta pengeluaran subsidi lain yang menyebabkan perbedaan sangat besar tersebut. Perbandingannya harus "persik to persik"

***

¹angka-angka MOPS Depkeu dan CP Aramco untuk ICW dan Depkeu adalah implied MOPS dan implied CP Aramco. Bukan data mentah yg diberikan Depkeu. Jadi itu merupakan hasil hitungan mundur berapa MOPS yang konsisten thd besaran subsidi. methodologinya saya berikan di sini

BBM: ICW vs Pemerintah (2) - Haryo Aswicahyono


Dalam tulisan sebelumnya kita bisa menghitung besarnya Subsidi dengan mengetahui harga acuan MOPS dan Cp Aramco. Sebaliknya dengan mengetahui besarnya subsidi, kita bisa menghitung mundur asumsi besaran MOPS dan Cp Aramco. Langsung saja rumusnya adalah sebagai berikut:

Untuk Premium dan Solar
MOPS=(S*1000000/Qb-Alfa+Pb/(1+tn+tb))*158.9/Er

Untuk Minyak Tanah
MOPS=(S*1000000/Qb-Alfa+Pb/(1+tn))*158.9/Er

Untuk LPG
Cp Aramco =(Pl/(1+tn+tb)+S/Ql*1000000-md-fc*Er/1000)/(1+bm)/Er*1000

Jika data-data yang diberikan sebelumnya dimasukkan ke dalam 3 rumus tersebut akan kita peroleh perbandingan hitungan ICW dan Depkeu sebagai berikut (sila latihan menghitung sendiri :))


Bisa dilihat di tabel tidak ada perbedaan yang terlalu nyata untuk asumsi besaran MOPS premium, minyak tanah dan solar namun asumsi Cp Aramco versi Depkeu jauh lebih tinggi dari versi ICW. Mengapa?

Nah sekarang kita sudah tahu asumsi MOPS dan CP Aramco versi Depkeu. Sekarang dengan menggunakan rumus-rumus yang saya berikan sebelumnya anda bisa menghitung ulang besarnya subsidi RAPBN-P 2012 versi Depkeu dengan asumsi harga Premium dan Solar Rp. 6000/liter. Selamat berhitung :)

BBM: ICW vs Pemerintah (1) - Haryo Aswicahyono


ICW mencurigai ketidakwajaran perhitungan pemerintah dan DPR dan menduga ada markup, terkait rencana kenaikan harga BBM 2012 ( http://www.antikorupsi.org/new/download/subsidibbm2012icw.pdf ) agar semua bisa mengevaluasi hitungan ICW maupun Pemerintah, saya turunkan rumus satu baris yang bisa digunakan siapa saja untuk menghitung subsidi BBM

Subsidi BBM

Rumus untuk subsidi Premium dan Solar
S = (MOPS*Er/158.9+Alpha-Pb/(1+tn+tb))*Qb/1000.000 --(1)

Rumus untuk subsidi Minyak tanah
S = (MOPS*Er/158.9+Alpha-Pb/(1+tn))*Qb/1000.000 --(2)
  • MOPS = Harga patokan (satuan $US/barel) 
  • Er = Kurs Rupiah (satuan Rp/$US)
  • Alpha = berbagai biaya distribusi dan margin usaha (satuan Rp/liter)
  • Pb = Harga BBM bersubsidi (satuan Rp/liter)
  • tn = pajak pertambahan nilai (satuan %)
  • tb = pajak bahan bakar (satuan %)
  • Qb = Konsumsi BBM bersubsidi (satuan ribu kilo liter)
Semua data di atas kecuali MOPS ada dalam dokumen pemerintah.

Berikut data dan parameter untuk menghitung besarnya subsidi jika harga BBM tetap, tidak berubah, sementara harga minyak mentah, nilai tukar dan besaran Alpha telah naik, menurut versi ICW
  • ER = 9000
  • Alpha = 641.9
  • Pb = 4500 untuk bensin, 2500 untuk minyak tanah, dan 4500 untuk solar
  • tn = 10%
  • tb = 5%
  • Qb = 24,411 untuk Premium. 1,700 untuk minyak tanah dan 13,889 untuk solar

ICW menggunakan rata-rata MOPS 3 tahun terakhir sebesar
  • 109.754 untuk premium,
  • 115.781 untuk minyak tanah dan
  • 116.713 untuk solar
Mari kita coba hitung besarnya subsidi untuk premium, jika data-data di atas dimasukkan ke persamaan (1), maka akan didapat

S =(109.754*9000/158.9+641.9-4500/(1+0.1+0.05))*24411/1000000

Copy saja rumus di atas dari ujung kanan sampai dengan "=" ke salah satu cell di microsoft excel, akan langsung keluar hasilnya 71.8 trilyun

Untuk Minyak Tanah kita gunakan rumus (2)
S =(115.781*9000/158.9+641.9-2500/(1+0.1))*1700/1000000
hasilnya subsidi untuk minyak tanah = 8.4 trilyun

Untuk Solar, kembali kita gunakan persamaan (1)
S =(116.713*9000/158.9+641.9-4500/(1+0.1+0.05))*13889/1000000
hasilnya subsidi untuk solar = 46.4 trilyun

Subsidi LPG 3 kg

Rumus untuk subsidi LPG 3 kg

S =(((1+bm)*CpA+fc)*Er/1000+md-Pb/(1+tn+tb))*Ql/10^6 --(3)

  • CpA = Cp Aramaco = harga patokan untuk LPG ($US/MT)
  • bm = bea masuk import = 1.88%
  • fc = biaya angkutan laut yang besarnya = $US 68.64/MT
  • md = marjin distribusi yang besarnya = Rp 1750/kg
  • Ql = konsumsi LPG yang besarnya = 3606 juta kg

Kembali di sini data Cp Aramco tidak mudah diperoleh, ICW juga tidak memberikan asumsi Cp Aramco dalam kalkulasinya.

Berikut tabel perbandingan asumsi dan besarnya subsidi hasil hitungan ICW dan Depkeu:


Kesimpulan sementara hasil verifikasi di atas, tidak ada kesalahan berarti dalam hitungan ICW. Hitungan di atas tidak berbeda dengan hitungan ICW

[Bersambung, dengan mengetahui besarnya total subsidi dan data-data di atas, kita bisa menghitung mundur asumsi MOPS dan Cp Aramco versi Depkeu dan ICW]

30 Maret 2012

BBM versus BBT - AAP

Mungkin banyak yang setuju bahwa pola konsumsi bahan bakar minyak berbasis fosil (BBM) seperti sekarang ini tidak berkesinambungan, dan justru berbahaya bagi lingkungan. Mengapa? Karena kadar polusinya besar, dan juga, BBM adalah sumber daya alam yang tak terbarukan. Karena itu, kebijakan ketahanan energi mengamanatkan agar diupayakan bauran energi yang makin lama makin ditandai dengan berkurangnya ketergantungan pada BBM, dan sebaliknya mulai beralih kepada bahan bakar terbarukan (BBT) seperti panas bumi, dan lain-lain.

Pada gambar di samping ini saya coba tunjukkan kondisi BBM vs BBT ini dari perspektif ekonomi. Di keempat panel ini, sumbu tegak adalah harga, dan sumbu mendatar adalah kuantitas. Panel A adalah kondisi di pasar BBM, sementara ketiga panel lain (B, C, D) adalah kondisi di pasar BBT. Tentu ini adalah penyederhanaan yang kasar (struktur pasarnya pun belum tentu sesempurna model ini - tapi saya kira simplifikasi ini tidak mendistorsi argumen keseluruhan). Panel A menggambarkan kondisi saat ini di mana harga pasar BBM (tanpa subsidi) adalah garis biru. Namun pemerintah menahan harga di garis merah. Maka wilayah antara garis biru dan garis merah itu adalah jumlah subsidi yang harus ditanggung APBN.

Panel B adalah kondisi hipotetikal di mana harga pasar BBT (garis hijau) sedikit di atas harga pasar BBM (perhatikan, kita pinjam garis biru-nya BBM dari Panel A, pindahkan ke Panel B, untuk tujuan perbandingan harga saja). Jika kondisinya seperti ini, maka BBT belum mampu bersaing dengan BBM - konsumen akan memilih BBM yang lebih murah. Namun, jika pemerintah peduli dengan lingkungan, dan bertekad mengurangi ketergantungan pada BBM, maka pemerintah menghapus subsidi BBM, dan menggunakan sebagian atau seluruhnya untuk mensubsidi BBT, sedemikian rupa sehingga harga BBT yang dibayar oleh konsumen sama dengan jika ia membeli BBM. Akibatnya, konsumen menjadi "indifferen" antara BBM dan BBT - secara ekonomi. Namun, mereka yang "sadar lingkungan" kemungkinan besar akan membeli BBT. (Catatan: pada Panel B ini, sengaja saya gambarkan selisih harga yang tidak terlalu jauh antara garis hijau dan biru. Ini untuk merefleksikan dugaan saya bahwa harga ekonomi BBT seharusnya tidak terlalu jauh berbeda dengan harga ekonomi BBM tanpa subsidi).

Panel C adalah situasi di mana ternyata harga pasar atau harga ekonomi BBM sudah lebih tinggi daripada harga ekonomi BBT. Ini skenario paling ideal - jika kita ingin beralih ke energi terbarukan. Kenapa? Karena tanpa subsidi pun, orang akan lebih tertarik membeli BBT ketimbang BBM. Uang yang tidak jadi diberikan untuk subsidi bisa digunakan untuk keperluan lain, seperti infrastruktur, pengentasan orang miskin, dll.

Jika Panel C ideal, Panel D adalah musibah. Perhatikan, di sini harga pasar BBT masih di atas harga pasar BBM. Pemerintah tidak mau mengganggu subsidi BBM (kita pinjam juga garis merah, bawa ke sini). Tapi di lain pihak, pemerintah juga ingin dilihat sebagai pro-lingkungan. Karena itu, BBT pun disubsidi. Akibatnya, total subsidi membengkak: untuk menutupi selisih antara garis biru dan merah PLUS selisih antara garis hijau dan merah. Jika ini terjadi, apa yang bisa kita lakukan untuk urusan-urusan pembangunan yang lain? Uang APBN tersedot untuk subsidi BBM dan BBT. Mau pinjam, didemo. Mau cetak duit, inflasi. Semoga daun bisa jadi duit.

Gambar sederhana di atas menunjukkan bahwa selama harga BBM masih disubsidi dan berada jauh di bawah harga pasar BBT, maka dunia usaha tidak akan tertarik mengembangkan energi terbarukan. Karena mereka tahu, pembeli takkan tertarik. Jika mengharapkan pemerintah yang melakukan semuanya, selamat datang Panel D.

29 Januari 2009

Memahami Asumsi Makro dan APBN 2009-MCB

Berikut tulisan saya di Bisnis Indonesia, tanggal 29 januari 2009, hal 1


Memahami asumsi makro dan APBN 2009

oleh : Muhammad Chatib Basri (Direktur LPEM-FEUI)


"Jika indikator kinerja makroekonomi baik, kinerja secara mikro juga mestinya baik. Namun, nyatanya kinerja makro baik, di tingkat mikro kita masih babak belur. Apa indikator makro masih ada gunanya?" Inilah pertanyaan yang saya terima dalam face book. Tak salah. Selengkapnya

12 Januari 2009

Keynes dan Stimulus Ekonomi-MCB

Berikut tulisan saya di Kompas, 12 Januari 2009, hal 1


ANALISIS EKONOMI

KEYNES DAN STIMULUS EKONOMI


M Chatib Basri

Di musim dingin yang basah, 13 Desember 1935, ekonom John Maynard Keynes menulis pada pengantar buku The General Theory of Employment, Interest and Money, yang paling sulit bukanlah melahirkan ide baru, tetapi bagaimana meninggalkan ide lama, yang telah menguasai setiap sudut benak kita.

Kalimat yang ditulis lebih dari 70 tahun lalu itu masih terasa kebenarannya hari ini ketika dunia yang cemas bicara mengenai krisis keuangan global. Ekonom—anggota kelompok Bloomsbury yang amat mencintai sastra dan lukisan ini—kembali dirujuk. Robert Skidelsky—penulis biografi Keynes yang termasyhur—bahkan menulis risalah ”Why John Maynard Keynes is the Man of the Year” dalam majalah New York Times, Desember 2008.

Krisis keuangan global membawa kembali ingatan ke depresi besar pada 1930-an. Dan, menurut Keynes, yang harus dilakukan adalah kebijakan yang bersifat kontrasiklus. Di banyak negara, termasuk Indonesia, bank sentral mulai menurunkan tingkat bunga dan pemerintah berbicara tentang stimulus fiskal. Selengkapnya

19 November 2008

Dari Pertemuan G-20 - MCB

Berikut tulisan saya di Harian Bisnis Indonesia, Rabu 20 November, 2008,
hal 1

Angin segar dari pertemuan G-20

National Building Museum, Washington DC, 15 2008. Di gedung yang dibangun pada 1882-1887 ini dilangsungkan pertemuan kepala negara dari G-20. Sebuah perhelatan yang ditunggu oleh banyak pihak. Banyak yang memiliki ekspektasi tinggi terhadap hasil pertemuan ini. Tak sepenuhnya salah. Dunia saat ini membutuhkan jawaban. Berbagai pernyataan dan pandangan muncul. Selengkapnya

20 Oktober 2008

Mengurangi Multiplier Kecemasan-MCB

Berikut adalah tulisan saya di Harian Kompas, tanggal 20 Oktober 2008, hal 1

Mengurangi "Multiplier" Kecemasan

M Chatib Basri

Amerika Serikat hari ini adalah negeri yang cemas dan panik. Gejolak keuangan telah membawa akibat bangkrutnya banyak lembaga keuangan di sana. Akibatnya, neraca (balance sheet) berbagai lembaga keuangan mengalami tekanan. Perbankan membutuhkan injeksi modal untuk rekapitalisasi.

Kecemasan ini saya rasakan awal Oktober di Brookings Institution di Washington DC, AS, ketika duduk bersama sejumlah ekonom di dalam Asian Economic Panel. Dalam sesi yang dipimpin Jeffrey Sachs itu dijelaskan betapa muramnya situasi di AS. Martin Bailey, penasihat ekonomi Presiden Clinton, berbicara: AS akan mengalami pertumbuhan negatif sampai dengan paruh kedua 2009. Tak berhenti di sana, AS juga ”mengekspor” kecemasan, kepanikan, dan kerugian ke seluruh dunia. Selengkapnya

19 Oktober 2008

Mengkaji 5 jurus antisipasi krisis-MCB

Nerikut tulisan saya di Bisnis Indonesia, Hari Jumat, 17 Oktober 2008


Mengkaji 5 jurus antisipasi krisis
oleh : Muhammad Chatib Basri (Direktur LPEM-FEUI)

Cetak Kirim ke Teman Komentar
Mereka yang pesimistis mengatakan ekonomi dunia saat ini dalam situasi yang paling sulit. Penilaian ini tidak sepenuhnya salah.

Di Indonesia, orang mulai bertanya-tanya apakah krisis 1997-1998 akan terulang? Situasinya saya kira berbeda.

Diversifikasi risiko, misalnya, saat ini lebih baik. Sebelum krisis 1997-1998, kita terbiasa dengan nilai tukar mengambang terkendali. Tidak ada gunanya melakukan hedging, karena toh rupiah secara teratur hanya terdepresiasi 5% setahun.

Saat ini, nilai tukar bergerak bebas, pelaku ekonomi praktis mulai membiasakan diri untuk menempatkan asetnya dalam berbagai bentuk, termasuk mata uang asing dan berbagai instrumen lain.

Jadi, jika terjadi kejutan dalam nilai tukar, kepanikan tidak akan sebesar pada 1997, di mana aset hanya terkonsentrasi dalam nilai rupiah. Selain itu, ada perbedaan yang mendasar antara krisis ekonomi pada 1997-1998 dan situasi saat ini.

Krisis ekonomi pada 1997-1998 adalah home grown but not home alone, ia tumbuh dan berkembang karena persoalan domestik, walaupun kita tidak sendiri. Sementara itu, gejolak saat ini sepenuhnya disebabkan oleh faktor eksternal yang terjadi di AS.

Oleh karena itu, dalam situasi saat ini betapapun kuatnya fundamental suatu negara, ia tidak akan sepenuhnya immune terhadap krisis keuangan di AS. Akibat krisis keuangan itu, balance sheet perbankan di AS mengalami tekanan dan membutuhkan dana yang besar untuk rekapitalisasi. Selengkapnya