12 Mei 2008

Ekonomi Politik Beras (6) - AAP


Rekan saya Sonny Mumbunan mengomentari tulisan ini di blognya, Nomor Delapan. Komentar Sonny sangat informatif, silakan baca di sini.

Menurut Sonny, saya keliru menggunakan pendekatan Olson untuk menjelaskan interaksi agen-agen ekonomi dalam kasus beras di Indonesia. Sonny benar, bahwa kerangka Olson dapat digunakan pada agen-agen yang memiliki kepentingan yang beririsan. Dan setelah itu, baru bisa dipikirkan mekanisme insentif selektif untuk memecahkan masalah.

Saya mungkin kurang jelas sewaktu mendiskusikan interaksi antara kelompok produsen dan konsumen. Di dalam papernya sendiri (Basri dan Patunru, 2007, Why the Government Hurts the Poor, presentasi di Keio University, dalam revisi untuk sebuah jurnal), kami menggunakan ilustrasi game theory untuk menjelaskan interaksi pada level sub-kelompok, yaitu kelompok konsumen. Jadi ada kepentingan yang beririsan (common interest) di sini. Dengan logika yang sama, seharusnya ada interaksi yang paralel pada level sub-kelompok produsen. Bedanya, biaya koordinasi di dalam kelompok konsumen lebih besar daripada kelompok produsen. Di samping itu, manfaat total menjadi kecil per kapita di dalam kelompok pertama, relatif dibandingkan yang terjadi pada kelompok kedua.

Dalam gambar di atas (klik untuk memperbesar), saya mencoba menggambarkan interaksi antara konsumen dan konsumen (bukan antara konsumen dan produsen). Dengan kata lain, ini adalah interaksi pada level sub-kelompok. Memahami motif yang bertentangan (walaupun ada kepentingan yang sama: harga yang lebih rendah) di dalam kelompok konsumen diharapkan bisa memberi penjelasan mengapa konsumen (neto) beras di Indonesia "diam" saja walaupun mereka sebenarnya dirugikan. Cara ini sekaligus memberikan landasan untuk membayangkan apa yang terjadi pada kelompok produsen.

Kembali ke gambar. Misalkan ada dua sub-kelompok konsumen. Masing-masing akan memilih apakah "Fight" atau menyuarakan keberatan mereka terhadap proteksi yang menyebabkan harga naik, atau "Giveup", diam saja. Kita asumsikan bahwa biaya dan manfaat dari kedua "strategi" ini adalah seperti yang dicantumkan di dalam Tabel 3 (maaf penomoran ini mengikuti urutan aslinya dalam paper). Jika salah satunya memutuskan untuk "Fight" sendiri, maka sub-kelompok itu dan sub-kelompok lainnya akan memperoleh manfaat masing-masing sebesar b1 dengan biaya c1 yang hanya ditanggung oleh kelompok yang "Fight". Tapi jika kedua sub-kelompok tersebut bekerjasama untuk "Fight", maka manfaat untuk masing-masing adalah b2 dengan biaya masing-masing c2.

Berdasarkan anatomi biaya dan manfaat di atas, kita lalu membangun interaksi hipotetis dalam kerangka game theory seperti pada Tabel 4. Perhatikan bahwa jika kedua sub-kelompok memutuskan untuk "Giveup", masing-masing akan memperoleh manfaat sebesar d. Dalam konteks ini, d adalah biaya yang selama ini dibayarkan oleh konsumen beras rata-rata di Indonesia, sehubungan dengan proteksi yang diberlakukan (lihat juga posting Rizal di Cafe Salemba).

Ilustrasi interaksi di atas menunjukkan apa yang disebut sebagai situasi prisoners' dilemma, jika b1 > b2-c2, d > b1-c1, dan b2-c2 > d. Dalam kondisi seperti ini, tindakan paling rasional ("best response", BR) sebagai respon atas "Fight" adalah "Giveup", BR untuk "Giveup" adalah juga "Giveup". Juga dapat dilihat bahwa strategi bersama "Fight, Fight" (kedua sub-kelompok menyuarakan keberatannya dengan bersamaan) seharusnya memberikan manfaat lebih banyak kepada masing-masing sub-kelompok dibandingkan strategi "Giveup, Giveup". Seandainya, kedua sub-kelompok mau berkoordinasi dan bekerjasama, maka niscaya keseimbangannya adalah menentang bersama-sama, ketimbang masing-masing diam. Kita katakan, situasi akan optimal secara sosial, jika 2(b2 - c2) > 2b1 - c1. Namun apa daya, karena biaya koordinasi tampaknya mahal sekali, keseimbangan Nash justru terjadi pada "Giveup, Giveup": masing-masing memilih bungkam.

Dengan konstruksi yang sama, kita bisa membayangkan apa yang terjadi dalam kelompok produsen (yang mempunyai kepentingan berupa harga yang tinggi). Bedanya, ukuran kelompok ini jauh lebih kecil daripada kelompok konsumen. Akibatnya, mereka lebih mudah berkoordinasi. Dalam konteks Indonesia, tampaknya ada sub-kelompok dalam kelompok produsen yang sesuai dengan apa yang disebut Olson sebagai "privileged group" atau (sub)kelompok yang paling diuntungkan yang anggotanya bersedia membayar bahkan biaya keseluruhan untuk mencapai tujuan kelompok.

Terakhir, apa implikasi dari ilustrasi di atas? Kembali ke solusi Olsonian, ciptakan insentif selektif (lihat tulisan Sonny). Misalnya dengan jalur YLKI.

6 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah, kayaknya teori yang membingungkan ini kelihatanya masih menggunakan empirisme ekstrim---Maaf kalo saya seenaknya sendiri mendifinisikannya.

Penjelasan sederhana mengapa produsen (petani) tidak tahu kalo harga beras mereka merugi.
1. Masalah Biaya faktor produksi yang apabila dibandingkan dengan harga beras tidak sebanding. Dengan asumsi petani (jawa) indonesia memiliki 1ha sawah,saya pernah menghitung,Keuntungan mereka menjadi sangat tidak sebanding dengan kerja keras selama 4 bulan.
2. Hal itu disebabkan oleh, ongkos (kuli+Irigasi+Pupu2+Benih+dll) tiap saat selalu naik.
3. hal ini tidak diimbangi dengan kenaikan harga beras, karena tiap beras mengalami sedikit kenaikan harga untuk mengimbangi ongkos produksi, Para politisi dan intelektual gadungan menjerit untuk menstabilkan harga (biasanya dengan impor) dengan dalil membela orang miskin. Akibatnya, harga beras turun. Hal ini ditambah Bulog masih memonopoli harga gabah.
4.Jadi bagaimana petani bisa tahu kalo mereka dibunuh secara sistematis. karena pembunuhannya melalui sistem harga.

Wah masih banyak lagi fenomena yang tidak dapat hanya ditulis dalam kolom sempit ini.

Saran:
Sekali lagi, Paradigma keilmuan ekonom harus segera diubah, kalo tidak, maka akan sangat menunda dalam usaha menangkap realitas.

bahasa sederhana saya:
kegiatan ekonomi itu mirip sekali dengan hukum ekologi, seperti rantai. Dan yang paling berbahaya terhadap perusakan rantai ekologis ekonomi adalah: Campur tangan Pemerintah!

Salam
Giy

Aco mengatakan...

Giyanto, paradigma ekonomi seperti apa yang Anda tawarkan? Silakan di-share di sini. Thanks.

Anonim mengatakan...

Terima kasih Pak Aco telah memberi kesempatan saya untuk cerita.
Intinya kita harus beralih ke paradigma yang lebih manusiawi. Bukankah manusia itu unik. Semisal: pilihan, Prinsip, dan perubahan adalah hal2 yang tidak dapat dihindari manusia.
Saya kira Einstein telah menyihir kita terlalu jauh. Sehingga ilmu kajian manusia sekarang lebih menyerupai Matematika, fisika dan statistik. Ilmu tersebut jelas punya tempatnya masing2. Kalau kita mempelajari manusia, maka ya tidak boleh menghindar dari konsep2 manusia.
1.Dalam kehidupan sehari2 jelas kita tidak dapat menghindar dari keberadaan ruang dan waktu. Jadi anggap saja ruang dan waktu sebagai konsep yang pasti yang membatasi serta mempengaruhi pilihan-pilihan kita.
2.Selama ini ruang telah mampu ditaklukkan manusia, tapi masalah waktu, saya kira masih jauh atau barangkali tidak mungkin. Jadi kategori waktu tidak dapat dibantah.
3.Serta konsep-konsep yang lain seperti: tujuan, cara manusia meraih tujuan, keterbatasan manusia, tindakan, dsb.

Lebih ringkasnya (ini menurut kategori saya pribadi):
Pilihan : dibatasi waktu, keterbatasan sumber daya dsb
Perubahan : Sifat manusia untuk tumbuh dan berkembang
Prinsip (saya menyebutnya hukum alam): dalam hal ekonomi terkait hukum permintaan dan penawaran. Hukum tersebut tidak dapat dibantah. Karena jelas2 hukum tersebut merupakan implikasi pasti sebagai hasil tindakan manusia. Toh nyatanya sampai saat ini hukum tersebut belum dapat diruntuhkan.

Saat ini saya memang terbantu oleh, dengan tidak sengaja, konsep2 dari Mazhab Austria seperti dari Mises serta Rothbard (dan, permasalahan Mazhab2, saya kira, tidak perlu kita perdebatkan).

Dengan demikian, apabila kita selidiki (atau barangkali kita bayangkan) dalam hal ekonomi, interaksi antara produsen, distributor serta konsumen atau berbagai profesi spesialis lainnya, maka akan nampak seperti jaring laba2 kehidupan yang sangat rumit dan saling terkait. Hubungan tersebut merupakan interaksi bebas dari tindakan2 manusia. Yang dibatasi oleh hukum2 tertentu (termasuk hukum permintaan dan penawaran).

Jadi, segala bentuk ”rekayasa” yang sekarang dilakukan pemerintah, dalam pandangan saya, akan rentan menyederai salah satu agen yang membentuk jaring laba2 tersebut. Dan dalam masalah politik beras, bukti yg paling riil, adalah kondisi petani, termasuk Bapak saya.

Mengapa saya meyakini paradigma ini, ceritanya lumayan panjang. Sebuah pencarian serta petualangan. Hampir lebih dari setengah umur saya hidup dengan petani (orang2 yang paling produktif dan masa kecil saya kebanyakan tidur di sawah, jarang dirumah), terus enam tahun terakhir bergulat dengan teks (dan saya kira teorinya Nash itu lebih co2k kalo sekedar menjadi film laris dari Holywood, karena saya termasuk penggemar film Beatiful mind), dan dua tahun terakhir saya sedang belajar berdagang. Sehingga lengkaplah kejelasan bahwa ternyata kehidupan ekonomi itu seperti jaring laba2, dan saya menyebutnya ekologi ekonomi.

Masalah paradigma epistemologi yang lain, tulisan saya ada di akaldankehendak.com, yang menyisip di beberapa tulisan Bung Nad.

Salam
Giy

Anymatters mengatakan...

Aco, menyambung komentar di Nomor Delapan. Mudah2an hipotetikal pengelompokan itu mempertimbangkan kelompok konsumen beras Indonesia yg juga orang Indonesia tinggal di LN. Lebih dr 1 juta mungkin jumlahnya. Yg bingung antara Fight & Giveup, yg jelas giveup makan nasi. ;-)

Aco mengatakan...

Giyanto, terima kasih atas penjelasnnya. Tapi terus terang saya butuh waktu untuk menyerap apa yang Giyanto uraikan -- sekarang belum semuanya saya bisa mengerti dengan baik. Mungkin akan lebih baik kalau kapan-kapan kita ketemu dan berdiskusi. Saya juga pengagum Mises dan Rothbard, walaupun pengetahuan saya tentang Austrian school masih minim -- pasti jauh di bawah kawan saya Sukasah Syahdan, dan tentunya Anda sendiri.

Mungkin untuk saat ini saya hanya bisa mengomentari beberapa hal:
- Konsep manusia. Setuju, economics adalah ilmu tentang perilaku manusia.
- Konsep waktu. Jelas waktu adalah dimensi kunsi dalam analisis dan keputusan ekonomi. Kalau tidak, tingkat bunga menjadi tidak relevan. Demikian juga pertumbuhan dan inflasi. Implikasi ke kebijakannya, harus ada prioritisasi (kasus saat ini: BBM).
- Prinsip-prinsip. Yang Giyanto tawarkan jelas sudah menjadi prinsip dalam economics -- saya kira dalam "mazhab" apa pun.
- Jaring laba-laba atau ekologi ekonomi. Saya kira apa yang Giyanto paparkan sudah diakomodasi oleh Teori Keseimbangan Umum. Proses dinamiknya sendiri biasanya digambarkan oleh model jaring laba-laba saat harga mencari keseimbangan, lalu dihubungankan satu sama lain, dari pasar yang satu ke pasar yang lain. Kecuali kalau saya salah menginterperetasikan paparan Giyanto.

Jadi, saya tidak melihat perbedaan besar antara kita. Atau saya luput?

Anonim mengatakan...

Wah, Pak Aco ternyata orangnya open ya.
Masalahnya, saya sedih melihat simpang siur wacana yang sekarang ada, dan paling menyedihkan kadang diungkapkan oleh para ekonom.
Dan seandainya para ekonom mau kembali mengkaji risalah2 klasik barangkali kondisinya tidak seperti sekarang ini.
Saya juga tertatih2 dalam mengkaji pemikiran Rothbard dan Mises, walaupun dalam kategori karangan, sebenarnya mereka saya anggap yang paling jelas dalam mengungkapkan gagasan lewat tulisan.
Perbedaan dengan pandangan mainstream, jelas dalam metodologinya serta hasil kesimpulannya.
Dalam kesimpulan pemikiran Mises&Rothbard sangat menentang segala bentuk campur tangan pemerintah dan mereka yang paling konsisten mengembalikan sistem baku emas atau pasar bebas.
Contoh: sekarang pemerintah lagi rajin2nya mengeluarkan surat obligasi. tapi mengapa tidak/jarang ada ekonom yang sangat lantang menentang kebijakan tersebut.
Seandainya kita membaca risalah mises, maka sangat jelas obligasi itu sangat merugikan.
Dan banyak lagi contoh2 kasus, yang apabila diperjuangkan, maka para ekonom akan menjadi tokoh yang paling bersuara keras. tapi apa yang terjadi sekarang? sedikit sekali ekonom yang menjadi "pengkritik"/advokat rakyat dari kebijakan pemerintah yang sangat merugikan. Malah mereka lebih membela subsidi, padahal seharusnya semua kredit itu kan lebih baik untuk hal2 produktif, bukan ke konsumsi.
Dan barangkali, ini yang paling penting, sudah saatnya kita harus jelas dalam memilih pandangan tertentu. Bukan hanya bertugas merangkum berbagai gagasan!

Barangkali itu...