Berikut adalah tulisan dari Teguh Dartanto tahun 2005 tentang BBM, subsidi, dan kemiskinan. Tulisan ini tampaknya masih relevan dalam perdebatan BBM belakangan ini. Teguh adalah peneliti LPEM-FEUI yang saat ini kuliah di Hitotsubashi University. Tulisan ini dimuat di Inovasi Online, media komunikasi PPI Jepang.
BBM, Kebijakan Energi, Subsidi, dan Kemiskinan di Indonesia
Oleh Teguh Dartanto
Kenaikan harga minyak yang mencapai 60.63 US$/Barel memberikan masalah tersendiri bagi negara-negara pengimpor minyak. Kenaikan harga minyak secara langsung akan meningkatkan biaya produksi barang dan jasa dan beban hidup masyarakat dan pada akhirnya akan memperlemah pertumbuhan ekonomi dunia. Terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi kenaikan harga minyak secara tajam. Pertama, invasi Amerika Serikat ke Irak: invasi ini menyebabkan ladang minyak di Irak tidak dapat berproduksi secara optimal sehingga supply minyak mengalami penurunan. Kedua, permintaan minyak yang cukup besar dari India dan Cina. Ketiga, badai Katrina dan Rita yang melanda Amerika Serikat dan merusak kegiatan produksi minyak di Teluk Meksiko. Keempat, ketidakmampuan dari OPEC untuk menstabilkan harga minyak dunia.
....
Kenaikan harga minyak menjadi petaka tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Pada kenyataannya Indonesia yang saat ini dikenal sebagai salah satu penghasil minyak dunia sekarang merupakan salah satu negara pengimpor minyak. Kenaikan ini akan meningkatkan beban anggaran pos subsidi BBM dan pada akhirnya akan meningkatkan defisit APBN dari sekitar 0.7% Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 1.3% PDB. Upaya pemerintah untuk menutupi defisit APBN adalah menaikkan BBM pada bulan Maret 2005 sebesar 29% dan disusul kenaikan yang tidak wajar dibulan Oktober 2005 sebesar lebih dari 100%. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu menimbulkan pro-kontra dikalangan masyarakat dan banyak opini/pendapat muncul tanpa diikuti oleh data-data yang akurat sehingga membingungkan masyarakat.
Selanjutnya baca di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar