Sebagai penonton, saya sebenarnya menunggu ekspolrasi opsi-opsi yang diajukan drajat wibowo. Sayang itu tidak muncul di dialog. Saya setuju subsidi BBM dihapuskan karena justru tidak tepat sasaran. Namun, harusnya pengurangan subsidi harus dilakukan perlahan jadi tidak menimbulkan gejolak. Saya tidak setuju BLT. Jika terencana dengan baik seharusnya subsidi bisa dialihkan ke pendidikan, atau work for food seperti yang dikatakan Aco...
Saya tidak setuju BBM dinaikkan sebelum sektor transportasi umum diperbaiki. Saya terpaksa naik mobil kok, habis transportasi umum kagak nyaman. Trus, itu mobil-mobil pejabat semuanya ber-cc besar tentu boros bensin. Dibilang banyak penyelundup bensin tapi kok kagak ada yang tertangkap. Good Governance di Pertamina udah optimal belum. BLT itu alasan pemerintah aja karena tidak mampu memberantas kemiskinan. Kok bantu orang miskin saat bensin dinaikin aja. Logikanya jelas kagak benar. Belum lagi pelaksanaannya di daerah-daerah banyak yang kagak bener.(saya pernah safari ke daerah Indonesia timur melihat Aduh susah deh kalau terlalu banyak tahu...
the tracer : komentar anda menunjukan kalau pendapat anda subjektif,cuma karena transportasi tidak nyaman anda makan subsidi besar? apa bedanya dengan pejabat ber-cc besar?.
Bantu orang miskin hanya bisa dengan dana, dana nya anda bakar tiap hari di jalan, sekarang siapa yang salah?
wah dah sering safari ya? pake BBM bersubsidi dong? smoga gak ber-cc besar ya mobilnya.
saran saya, kalau memang mau kontra, lebih baik seperti drajad wibowo, setidaknya ngasih solusi,nggak ngomel doang.
Bung Rajawali, mikirnya lebih dalam dan jernihnya. Siapa bilang enak naik mobil di Jakarta. Macet dan habisin energi. Waktu saya masih jadi pekerja kantor, kalau naik mobil dari rumah ke kantor itu minimal 2 jam. Pulang balik , minimal 4 jam. Coba berapa uang dan waktu saya habis hanya di karena buruknya transpotasi umum. Belum lagi capek. Sekarang mau naik lagi dengan alasan subsidi salah sasaran. Yang benar aja? Kasih saya data tentang orang kaya yang mempergunakan premium. Baru kita berdebat lagi. Saya kira yang naik mobil bukan karena kaya tetapi keadaan yang memaksa. Dan saya tahu banyak yang seperti saya. Safari saya itu waktu itu untuk meliput pelaksanaan BLT. Saya lihat itu banyak orang miskin perlu dibantu. Tidak hanya dengan BLT yang sesaat aja. Tetapi harus kontinyu dengan program misal dana bergulir. Belum lagi pelaksanaannya yang ...kagak usah diomongin deh. Malu. Solusi sudah saya berikan (baca dong) 1. Perbaiki transpotasi umum 2. Berantas penyelundupan minyak 3. Perbaiki Goof Corporate Governance Di Pertamina. Yang lainnya nanti saya tulis di blog saya. Saya kabarin nanti. Gitu bung Rajawali. Jangan cepat nuduh yang macem-macem.
[1] Untuk pajak progresif dan dimensi waktu, saya kira, pajak macam ini - meski bagus menurut Anda - akan tetap terus menjadi kebijakan jangka menengah selama tidak pernah dimulai untuk diintroduksi. (Subsidi BBM sendiri kan bukan baru kali mau dicabut). Selain itu, pajak ini tidak bisa dipadankan dengan opsi-opsi jangka menengah yang disebut Anda; mereka adalah hal yang berbeda. Instrumen pajak punya fungsi dan kapasitas membiayai produksi sosial lebih besar dibanding opsi-opsi yang Anda tawarkan, yang relatif temporer.
[2] BLT tetap diperlukan. Saya setuju dengan Anda. Orang miskin yang lapar, harus diberi makan. Tuhan mereka cuma makan, kata Gunawan Muhamad. Orang miskin yang lapar mudah digiring ke fasisme, apapun idiologinya. Tapi dimensi ini tidak masuk dalam kalkulus kita, para ekonom. Saya juga tidak tahu berapa besar biaya transaksi fasisme, jadi tidak bisa membuat komparasi :) Daron Acemoglu dan James Robinson (Economic Origins of Dicatorship and Democracy, 2006) menggunakan beberapa model sogokan/konsesi (pajak, mungkin juga BLT, instrumen redistributif, dll) untuk menjelaskan, bagaimana meredam gejolak sosial. Acemoglu adalah pemenang John Bates Clark Medal, yang sering diperoleh para penerima Nobel ekonomi di masa mudanya.
[3] Tentang anggaran negara kita, seperti Anda, saya turut pula prihatin. Cuma, saya agak kesulitan membayangkan analogi anda bahwa subsidi BBM sebagai kegiatan pelesir. Anda benar, pilihannya cuma dua: (1) menaikkan pendapatan; (2) mengurangi pengeluaran. Untuk yang pertama, korupsi dan bayar utang luar negeri adalah antara lain solusi. Untuk yang kedua, cabut subsidi yang tidak produktif. Saya tidak punya data, berapa anggaran kita untuk bayar utang. Sementara, untuk subsidi yang tidak produktif, ada beberapa, saya kira. Dari BLBI sampai, seperti menurut anda, subsidi BBM. Semua pilihan dalam set kebijakan ini adalah dilematis. Semuanya punya biaya transaksi, dengan kadar berbeda-beda. Tapi, mengapa cuma cabut subsidi BBM (plus targeted subsidy) yang mengemuka, saya kurang tahu.
Sebagai ekonom, apa yang kita sebut "logis" biasanya merujuk pada, misalnya, biaya peluang dalam penggunaan sumberdaya. Uang untuk subsidi BBM, mungkin bisa untuk biaya sekolah orang miskin, dst. Bagaimana bila pemilih (voter) menginginkan keduanya? Tidak dalam konsepsi biaya peluang tersebut? atau, kalaupun demikian, memilih memperbesar budget set (misalnya dengan pajak progresif)?
Apakah, dengan demikian, warga Skandinavia penganut welfare states dapat kita sebut tidak lebih rasional dibanding pendukung John McCain di AS yang pro minimal state?
[4] Soal ekspektasi pasar, saya tidak banyak tahu. Termasuk kaitannya dengan "APBN yang tidak kredibel", serta efek-efek ikutan dalam konteks ekonomi makro.
[5]Saya setuju dengan Anda soal insentif untuk beralih pada energi alternatif. Walaupun, seperti pengalaman Eropa, penyediaan sarana transportasi publik yang masal, bermutu dan bisa diakses luas, juga adalah insentif penting. Termasuk mempermahal penggunaan mobil pribadi.
[6] Saya kesulitan untuk bisa memberi komentar (lebih) tentang "panik dan kerusuhan tidak akan terjadi kalau masyarakat bisa disadarkan" dan bahwa "bila benar mahasiswa, tidak akan ada unsur anarkis dan merusak,(contoh : mahasiswa di universitas2 makasar)mana intelektualitas mereka?"
Saya pernah membaca literatur tentang pemberontakan mahasiswa di Paris atau di Jerman saat menentang perang Vietnam, tahun 60an. Mereka anarkisnya bukan main. Saya juga membaca sumbangan mereka pada berbagai kebijakan terkait pengorganisasian masyarakat modern Eropa ataupun sumbangan mereka bagi kemajuan teori ilmu sosial secara umum. Jadi, saya memilih reserved deh untuk memberi komentar seperti Anda.
Menurut saya masalah pangan dan energi ini sederhana asal kita mau mengembalikan akar masalahnya pada pada UUD45, bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Nah, yang terjadi saat ini dengan apa yang ada di UUD tersebut sangat jauh berbeda. Bumi dan air di komersilkan, dan parahnya kekayaan alam kita di berikan begitu saja ke asing.
Padahal bangsa ini kurang apa? tanah subur, kita negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia dan kita juga memiliki cadangan minyak bumi yang besar. Solusinya sebernarnya ada di tangan SBY. Apakah SBY berani mengambil alih sumur-sumur minyak dari tangan korporasi asing? jika berani maka selesai sudah permasalahan krisis energi nasional kita, sederhanakan…..
Sebelum, saya mohon maaf, saya tidak tepat mencantumkan URL saya.
Tulisan saya mengenai topik BBM ini sudah selesai. Tetapi jangan lah dianggap saya menyaingi keintelektual semua yang berdiri dibalik Blog ini. Saya hanyalah praktisi audit dan bisnis yang mau dan sedang belajar ekonomi.
Pak Patunru (Aco) pernah mengajarkankan mata kuliah perencanaan pembangunan kepada saya.
Tracer yang baik, terima kasih atas partisipasinya. Tentu saja semua solusi yang Tracer sarankan itu betul. Masalahnya kita sedang berpacu dengan waktu, dan semua saran Tracer yang bagus-bagus itu juga butuh sumber pembiayaan. Perbaikan transportasi umum butuh waktu dan biaya besar, demikian juga pemberantasan penyelundupan dan pelaksanaan GCG. Semuanya harus dilakukan, tapi ada yang bisa dilakukan sekarang, ada yang gradual. Dan ada yang bisa dilakukan sekaligus membantu yang lain: mis. pendekatan harga domestik ke harga pasar/internasional pasti akan mengurangi penyelundupan.
Pak Aco yang baik, KAta-kata berpacu dgn waktu itu, yang sering muncul dan digunakan juga ketika acara debat di SCTV kemarin, OK...mungkin dengan pertimbangan waktu itu saat ini masuk akallah pencabutan subsidi itu. Satu hal yang saya ingat kata-kata MCB menanggapi Budiman Sujatmiko, bahwa tanda-tanda bahwa APBN sudah tidak mampu lagi menanggung beban subsidi itu sudah sejak dahulu, bahkan sejak jaman Megawati. Disini ini justru masalahnya, kalo menurut pendapat saya BIG PROBLEM-nya saya yakin para ekonom UI especially yg di LPEM itu pasti udah lebih tahu tentang beban yg ditanggung APBN sejak dahulu. kenapa opsi-opsi perbaikan selain pencabutan subsidi tidak DIGENCARKAN ke pemerintah sejak dahulu juga, sama GENCARnya ketika para ekonom (MCB,dkk) menganjurkan pencabutan subsidi BBM. Bahkan saya ingat ketika itu sampai harus ada semacam surat pernyataan bersama di KOMPAS satu halaman penuh untuk mendukung pencabutan subsidi, yg ditandatangani oleh tokoh2 muda, semacam Syaiful Mujani, Rizal Malarangeng dll. Kenapa mereka tidak menggencarkan kepada pemerintah (sekalian bikin iklan satu halaman penuh juga di KOMPAS) untuk meminta pemerintah menghemat, patuhi GCG, tegas dgn koruptor, tegas dgn penjarah sumber daya alam indonesia....agar APBN bisa lebih mensejahterakan, toh GOAL akhir dari ilmu ekonomi yang kita pelajari adalah KESEJAHTERAAN.
Ini yg saya kira kurang berimbang (kurang gebcar) ditawarkan para ekonom aliran mainstream (kalo boleh dibilang), dan sering terjebak untuk defensif dgn argumentasi dibalik simulasi model dampak kenaikan harga terhadap kemiskinan. Ini menurut saya bisa menjadi bumerang. isu ini kan pada akhirnya menjadi bola liar secara politis, dan itu bisa kita lihat di hari-hari mendatang.
Saya mah nggak setuju kalo cuman mengurangi subsidi, mana mengurangi penyelundupan, yg main khan orangnya itu2x juga. Biar beda cuman seperak kalo di kali beribu2x kenanya enak juga. Selain itu orang miskin juga perlu ke pasar, perlu naik bis, perlu beli garem, yg harganya juga bakal naik. Yg perlu itu pengawasan lebih kenceng di tempat2x bocor spt pertamina, cost recovery, kebijakan jual-beli minyak dll. Bikin aja model KPK khusus utk pemberantasan penyelundupan/penyalahguanaan BBM.
Saya ingin meminta tanggapan mengenai pendapat ttg "sebenarnya tidak ada subsidi BBM" (filenya bisa didownload di sini http://infoindonesia.wordpress.com/2008/05/12/download-file-presentasi-tak-ada-subsidi-bbm-gratis/
Mohon tanggapannya, karena saya sangat tertarik dengan ekonomi makro, walaupun latar belakang saya teknik.
Mas Aco, Saya tidak setuju klo anda menyebutkan bahwa spekulasi, dalam hal ini di harga minyak, disebabkan karena perbedaan harga. Adanya perbedaan harga, lebih mengacu kepada perilaku arbitrage, dan bukan spekulasi. Arbitrage dan spekulasi adalah dua hal yang sangat2 berbeda.
Untuk pendapat mas drajat, soal windfall profit tax untuk KPS-KPS, menurut pendapat saya pun juga tidak akan terlalu memberikan efek yang signifikan, terutama karena mereka bisa memindahkan basis Head Office mereka ke negara-negara tax heaven. Saya dulu pernah mengaudit satu KPS di Indonesia, dan mereka memindahkan head office atas KPS mereka di Indo demi melakukan efisiensi pajak.
Mas Anonim, terima kasih atas penjelasannya. Mungkin definisi saya salah. Tapi bukankah "risk-arbitrage" sering digolongkan sebagai aksi spekulasi dalam literatur finansial? Bisa dijelaskan apa perbedaan utama "arbitrase" (baik risk-free ataupun risk arbitrage) dengan "spekulasi" menurut Anda? Terima kasih sebelumnya.
Sebenarnya, dalam dalam literatur finance, arbitrage merupakan strategi investasi yang bisa menghasilkan profit dengan resiko yang relatif sangat kecil (riskless). Prinsip utamanya adalah mengeksploitasi perbedaan antara harga fundamental dengan harga saat ini (seperti dalam kasus Long Term Capital Management) atau yang paling sederhana dengan memanfaatkan perbedaan harga suatu instrumen investasi di dua pasar yang berbeda. Terus terang masih banyak lagi tipe2 strategi arbitrage yang lainnya. Pada kenyataannya, arbitrage yang benar-benar riskless sangat jarang. sehingga munculah istilah risk arbitrage. Dalam hedge fund strategies, risk arbitrage sering disebut pula dengan merger arbitrage, meskipun ada dua tipe strategi investasi yang lain yang bisa disebut dengan risk arbitrage. Dalam merger arbitrage, investor yang mengetahui informasi bahwa akan terjadi akuisisi atau merger, bisa melakukan short atas saham perusahaan yang mengakuisisi, dan buy saham perusahaan yang diakuisisi. Ketika rencana akuisisi atau merger resmi diumumkan oleh pihak-pihak yang terkait, merger arbitrage bisa menghasilkan keuntungan yang menggiurkan. Namun strategi ini tidaklah riskfree, karena klo informasi yang diterima ternyata salah, strategi yang diambil justru akan menghasilkan kerugian. Sedangkan spekulasi, lebih mengacu kepada aktivitas investasi dengan tingkat resiko yang lebih besar dibandingkan tingkat investasi tradisional, dengan tujuan untuk menghasilkan profit yang lebih besar pula. Spekulasi pun juga harus dibedakan dengan judi, karena spekulator memiliki informasi yang menjadi basis keputusan investasinya. lalu apa perbedaan spekulasi dan risk arbitrage..? Menurut saya dalam risk-arbitrage ada guaranteed profit yang bisa anda kalkulasikan sebelumnya ketika memang event yang menimbulkan potensi arbitrage benar2 terjadi. Sedangkan dalam spekulasi, tidak ada guaranteed profit meskipun informasi yang anda terima sebelumnya benar2 akurat. Dalam kasus perbedaan harga BBM di indonesia dengan harga international, hal itu cenderung menimbulkan risk arbitrage, dan bukan spekulasi. Karena ada guaranteed profit yang bisa anda terima, ketika anda berhasil melewati pengawasan polisi (risk!). Untuk spekulasi, bisa mengambil contoh para spekulan minyak, yang membeli kontrak derivative atas minyak karena mendapatkan informasi bahwa akan terjadi depresiasi dollar dalam waktu dekat. Apakah ketika dollar benar2 terdepresiasi harga minyak akan seketika naik...? Menurut saya belum tentu, karena ada faktor lain seperti geopolitik yang bisa mempengaruhi harga tersebut. Semoga penjelasan saya cukup baik.
kayaknya lebih baik Indonesia balik ke jaman bheula aja deh..jamannya perang kemerdekaan, gak ada yg mikirin bbm..semua sukarela berjuang jiwa raga buat Indonesia, gak minta imbalan lagi.
Buat Anonim, yang mau dijajah lagi. Walau sama-sama anonim, saya tidak segebleg anda, kalau cuma mau dijajah lagi mah nggak usah nunggu, karena kita saat ini juga masih terjajah, cuma ganti oknum saja. Terjajah oleh kebodohan dan kerakusan kita sendiri. Makanya rajin-rajin ibadah ya...
22 komentar:
Sebagai penonton, saya sebenarnya menunggu ekspolrasi opsi-opsi yang diajukan drajat wibowo. Sayang itu tidak muncul di dialog. Saya setuju subsidi BBM dihapuskan karena justru tidak tepat sasaran. Namun, harusnya pengurangan subsidi harus dilakukan perlahan jadi tidak menimbulkan gejolak. Saya tidak setuju BLT. Jika terencana dengan baik seharusnya subsidi bisa dialihkan ke pendidikan, atau work for food seperti yang dikatakan Aco...
Saya tidak setuju BBM dinaikkan sebelum sektor transportasi umum diperbaiki. Saya terpaksa naik mobil kok, habis transportasi umum kagak nyaman. Trus, itu mobil-mobil pejabat semuanya ber-cc besar tentu boros bensin. Dibilang banyak penyelundup bensin tapi kok kagak ada yang tertangkap. Good Governance di Pertamina udah optimal belum.
BLT itu alasan pemerintah aja karena tidak mampu memberantas kemiskinan. Kok bantu orang miskin saat bensin dinaikin aja. Logikanya jelas kagak benar. Belum lagi pelaksanaannya di daerah-daerah banyak yang kagak bener.(saya pernah safari ke daerah Indonesia timur melihat Aduh susah deh kalau terlalu banyak tahu...
the tracer : komentar anda menunjukan kalau pendapat anda subjektif,cuma karena transportasi tidak nyaman anda makan subsidi besar? apa bedanya dengan pejabat ber-cc besar?.
Bantu orang miskin hanya bisa dengan dana, dana nya anda bakar tiap hari di jalan, sekarang siapa yang salah?
wah dah sering safari ya? pake BBM bersubsidi dong? smoga gak ber-cc besar ya mobilnya.
saran saya, kalau memang mau kontra, lebih baik seperti drajad wibowo, setidaknya ngasih solusi,nggak ngomel doang.
Bung Rajawali, mikirnya lebih dalam dan jernihnya. Siapa bilang enak naik mobil di Jakarta. Macet dan habisin energi. Waktu saya masih jadi pekerja kantor, kalau naik mobil dari rumah ke kantor itu minimal 2 jam. Pulang balik , minimal 4 jam. Coba berapa uang dan waktu saya habis hanya di karena buruknya transpotasi umum. Belum lagi capek. Sekarang mau naik lagi dengan alasan subsidi salah sasaran. Yang benar aja? Kasih saya data tentang orang kaya yang mempergunakan premium. Baru kita berdebat lagi. Saya kira yang naik mobil bukan karena kaya tetapi keadaan yang memaksa. Dan saya tahu banyak yang seperti saya.
Safari saya itu waktu itu untuk meliput pelaksanaan BLT. Saya lihat itu banyak orang miskin perlu dibantu. Tidak hanya dengan BLT yang sesaat aja. Tetapi harus kontinyu dengan program misal dana bergulir. Belum lagi pelaksanaannya yang ...kagak usah diomongin deh. Malu.
Solusi sudah saya berikan (baca dong)
1. Perbaiki transpotasi umum
2. Berantas penyelundupan minyak
3. Perbaiki Goof Corporate Governance Di Pertamina.
Yang lainnya nanti saya tulis di blog saya. Saya kabarin nanti.
Gitu bung Rajawali. Jangan cepat nuduh yang macem-macem.
Terima kasih Rizal Adi Prima untuk tanggapannya.
Saya akan memberi catatan untuk beberapa hal.
[1] Untuk pajak progresif dan dimensi waktu, saya kira, pajak macam ini - meski bagus menurut Anda - akan tetap terus menjadi kebijakan jangka menengah selama tidak pernah dimulai untuk diintroduksi. (Subsidi BBM sendiri kan bukan baru kali mau dicabut). Selain itu, pajak ini tidak bisa dipadankan dengan opsi-opsi jangka menengah yang disebut Anda; mereka adalah hal yang berbeda. Instrumen pajak punya fungsi dan kapasitas membiayai produksi sosial lebih besar dibanding opsi-opsi yang Anda tawarkan, yang relatif temporer.
[2] BLT tetap diperlukan. Saya setuju dengan Anda. Orang miskin yang lapar, harus diberi makan. Tuhan mereka cuma makan, kata Gunawan Muhamad. Orang miskin yang lapar mudah digiring ke fasisme, apapun idiologinya. Tapi dimensi ini tidak masuk dalam kalkulus kita, para ekonom. Saya juga tidak tahu berapa besar biaya transaksi fasisme, jadi tidak bisa membuat komparasi :) Daron Acemoglu dan James Robinson (Economic Origins of Dicatorship and Democracy, 2006) menggunakan beberapa model sogokan/konsesi (pajak, mungkin juga BLT, instrumen redistributif, dll) untuk menjelaskan, bagaimana meredam gejolak sosial. Acemoglu adalah pemenang John Bates Clark Medal, yang sering diperoleh para penerima Nobel ekonomi di masa mudanya.
[3] Tentang anggaran negara kita, seperti Anda, saya turut pula prihatin. Cuma, saya agak kesulitan membayangkan analogi anda bahwa subsidi BBM sebagai kegiatan pelesir. Anda benar, pilihannya cuma dua: (1) menaikkan pendapatan; (2) mengurangi pengeluaran. Untuk yang pertama, korupsi dan bayar utang luar negeri adalah antara lain solusi. Untuk yang kedua, cabut subsidi yang tidak produktif. Saya tidak punya data, berapa anggaran kita untuk bayar utang. Sementara, untuk subsidi yang tidak produktif, ada beberapa, saya kira. Dari BLBI sampai, seperti menurut anda, subsidi BBM. Semua pilihan dalam set kebijakan ini adalah dilematis. Semuanya punya biaya transaksi, dengan kadar berbeda-beda. Tapi, mengapa cuma cabut subsidi BBM (plus targeted subsidy) yang mengemuka, saya kurang tahu.
Sebagai ekonom, apa yang kita sebut "logis" biasanya merujuk pada, misalnya, biaya peluang dalam penggunaan sumberdaya. Uang untuk subsidi BBM, mungkin bisa untuk biaya sekolah orang miskin, dst. Bagaimana bila pemilih (voter) menginginkan keduanya? Tidak dalam konsepsi biaya peluang tersebut? atau, kalaupun demikian, memilih memperbesar budget set (misalnya dengan pajak progresif)?
Apakah, dengan demikian, warga Skandinavia penganut welfare states dapat kita sebut tidak lebih rasional dibanding pendukung John McCain di AS yang pro minimal state?
[4] Soal ekspektasi pasar, saya tidak banyak tahu. Termasuk kaitannya dengan "APBN yang tidak kredibel", serta efek-efek ikutan dalam konteks ekonomi makro.
[5]Saya setuju dengan Anda soal insentif untuk beralih pada energi alternatif. Walaupun, seperti pengalaman Eropa, penyediaan sarana transportasi publik yang masal, bermutu dan bisa diakses luas, juga adalah insentif penting. Termasuk mempermahal penggunaan mobil pribadi.
[6] Saya kesulitan untuk bisa memberi komentar (lebih) tentang "panik dan kerusuhan tidak akan terjadi kalau masyarakat bisa disadarkan" dan bahwa "bila benar mahasiswa, tidak akan ada unsur anarkis dan merusak,(contoh : mahasiswa di universitas2 makasar)mana intelektualitas mereka?"
Saya pernah membaca literatur tentang pemberontakan mahasiswa di Paris atau di Jerman saat menentang perang Vietnam, tahun 60an. Mereka anarkisnya bukan main. Saya juga membaca sumbangan mereka pada berbagai kebijakan terkait pengorganisasian masyarakat modern Eropa ataupun sumbangan mereka bagi kemajuan teori ilmu sosial secara umum. Jadi, saya memilih reserved deh untuk memberi komentar seperti Anda.
Senang berdiskusi dengan Anda.
Salam,
- S
bung sonny,tanggapannya kok masuk ke blog lain? :D
Menurut saya masalah pangan dan energi ini sederhana asal kita mau mengembalikan akar masalahnya pada pada UUD45, bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Nah, yang terjadi saat ini dengan apa yang ada di UUD tersebut sangat jauh berbeda. Bumi dan air di komersilkan, dan parahnya kekayaan alam kita di berikan begitu saja ke asing.
Padahal bangsa ini kurang apa? tanah subur, kita negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia dan kita juga memiliki cadangan minyak bumi yang besar. Solusinya sebernarnya ada di tangan SBY. Apakah SBY berani mengambil alih sumur-sumur minyak dari tangan korporasi asing? jika berani maka selesai sudah permasalahan krisis energi nasional kita, sederhanakan…..
Sebelum, saya mohon maaf, saya tidak tepat mencantumkan URL saya.
Tulisan saya mengenai topik BBM ini sudah selesai. Tetapi jangan lah dianggap saya menyaingi keintelektual semua yang berdiri dibalik Blog ini. Saya hanyalah praktisi audit dan bisnis yang mau dan sedang belajar ekonomi.
Pak Patunru (Aco) pernah mengajarkankan mata kuliah perencanaan pembangunan kepada saya.
Salam
Tracer yang baik, terima kasih atas partisipasinya. Tentu saja semua solusi yang Tracer sarankan itu betul. Masalahnya kita sedang berpacu dengan waktu, dan semua saran Tracer yang bagus-bagus itu juga butuh sumber pembiayaan. Perbaikan transportasi umum butuh waktu dan biaya besar, demikian juga pemberantasan penyelundupan dan pelaksanaan GCG. Semuanya harus dilakukan, tapi ada yang bisa dilakukan sekarang, ada yang gradual. Dan ada yang bisa dilakukan sekaligus membantu yang lain: mis. pendekatan harga domestik ke harga pasar/internasional pasti akan mengurangi penyelundupan.
Pak Aco yang baik,
KAta-kata berpacu dgn waktu itu, yang sering muncul dan digunakan juga ketika acara debat di SCTV kemarin, OK...mungkin dengan pertimbangan waktu itu saat ini masuk akallah pencabutan subsidi itu. Satu hal yang saya ingat kata-kata MCB menanggapi Budiman Sujatmiko, bahwa tanda-tanda bahwa APBN sudah tidak mampu lagi menanggung beban subsidi itu sudah sejak dahulu, bahkan sejak jaman Megawati. Disini ini justru masalahnya, kalo menurut pendapat saya BIG PROBLEM-nya saya yakin para ekonom UI especially yg di LPEM itu pasti udah lebih tahu tentang beban yg ditanggung APBN sejak dahulu. kenapa opsi-opsi perbaikan selain pencabutan subsidi tidak DIGENCARKAN ke pemerintah sejak dahulu juga, sama GENCARnya ketika para ekonom (MCB,dkk) menganjurkan pencabutan subsidi BBM. Bahkan saya ingat ketika itu sampai harus ada semacam surat pernyataan bersama di KOMPAS satu halaman penuh untuk mendukung pencabutan subsidi, yg ditandatangani oleh tokoh2 muda, semacam Syaiful Mujani, Rizal Malarangeng dll.
Kenapa mereka tidak menggencarkan kepada pemerintah (sekalian bikin iklan satu halaman penuh juga di KOMPAS) untuk meminta pemerintah menghemat, patuhi GCG, tegas dgn koruptor, tegas dgn penjarah sumber daya alam indonesia....agar APBN bisa lebih mensejahterakan, toh GOAL akhir dari ilmu ekonomi yang kita pelajari adalah KESEJAHTERAAN.
Ini yg saya kira kurang berimbang (kurang gebcar) ditawarkan para ekonom aliran mainstream (kalo boleh dibilang), dan sering terjebak untuk defensif dgn argumentasi dibalik simulasi model dampak kenaikan harga terhadap kemiskinan. Ini menurut saya bisa menjadi bumerang. isu ini kan pada akhirnya menjadi bola liar secara politis, dan itu bisa kita lihat di hari-hari mendatang.
Saya mah nggak setuju kalo cuman mengurangi subsidi, mana mengurangi penyelundupan, yg main khan orangnya itu2x juga. Biar beda cuman seperak kalo di kali beribu2x kenanya enak juga.
Selain itu orang miskin juga perlu ke pasar, perlu naik bis, perlu beli garem, yg harganya juga bakal naik. Yg perlu itu pengawasan lebih kenceng di tempat2x bocor spt pertamina, cost recovery, kebijakan jual-beli minyak dll. Bikin aja model KPK khusus utk pemberantasan penyelundupan/penyalahguanaan BBM.
Dear Pak Aco, Pak, MCB, Pak AAP, dan yang lain...
Saya ingin meminta tanggapan mengenai pendapat ttg "sebenarnya tidak ada subsidi BBM" (filenya bisa didownload di sini http://infoindonesia.wordpress.com/2008/05/12/download-file-presentasi-tak-ada-subsidi-bbm-gratis/
Mohon tanggapannya, karena saya sangat tertarik dengan ekonomi makro, walaupun latar belakang saya teknik.
Regards,
Yesalover
broken_hearted@telkom.net
Yesalover, silakan baca tulisan Teguh, staf peneliti LPEM, di sini. Thanks.
Mas Aco,
Saya tidak setuju klo anda menyebutkan bahwa spekulasi, dalam hal ini di harga minyak, disebabkan karena perbedaan harga. Adanya perbedaan harga, lebih mengacu kepada perilaku arbitrage, dan bukan spekulasi. Arbitrage dan spekulasi adalah dua hal yang sangat2 berbeda.
Untuk pendapat mas drajat, soal windfall profit tax untuk KPS-KPS, menurut pendapat saya pun juga tidak akan terlalu memberikan efek yang signifikan, terutama karena mereka bisa memindahkan basis Head Office mereka ke negara-negara tax heaven. Saya dulu pernah mengaudit satu KPS di Indonesia, dan mereka memindahkan head office atas KPS mereka di Indo demi melakukan efisiensi pajak.
Mas Anonim, terima kasih atas penjelasannya. Mungkin definisi saya salah. Tapi bukankah "risk-arbitrage" sering digolongkan sebagai aksi spekulasi dalam literatur finansial? Bisa dijelaskan apa perbedaan utama "arbitrase" (baik risk-free ataupun risk arbitrage) dengan "spekulasi" menurut Anda? Terima kasih sebelumnya.
Sebenarnya, dalam dalam literatur finance, arbitrage merupakan strategi investasi yang bisa menghasilkan profit dengan resiko yang relatif sangat kecil (riskless). Prinsip utamanya adalah mengeksploitasi perbedaan antara harga fundamental dengan harga saat ini (seperti dalam kasus Long Term Capital Management) atau yang paling sederhana dengan memanfaatkan perbedaan harga suatu instrumen investasi di dua pasar yang berbeda. Terus terang masih banyak lagi tipe2 strategi arbitrage yang lainnya.
Pada kenyataannya, arbitrage yang benar-benar riskless sangat jarang. sehingga munculah istilah risk arbitrage. Dalam hedge fund strategies, risk arbitrage sering disebut pula dengan merger arbitrage, meskipun ada dua tipe strategi investasi yang lain yang bisa disebut dengan risk arbitrage. Dalam merger arbitrage, investor yang mengetahui informasi bahwa akan terjadi akuisisi atau merger, bisa melakukan short atas saham perusahaan yang mengakuisisi, dan buy saham perusahaan yang diakuisisi. Ketika rencana akuisisi atau merger resmi diumumkan oleh pihak-pihak yang terkait, merger arbitrage bisa menghasilkan keuntungan yang menggiurkan. Namun strategi ini tidaklah riskfree, karena klo informasi yang diterima ternyata salah, strategi yang diambil justru akan menghasilkan kerugian.
Sedangkan spekulasi, lebih mengacu kepada aktivitas investasi dengan tingkat resiko yang lebih besar dibandingkan tingkat investasi tradisional, dengan tujuan untuk menghasilkan profit yang lebih besar pula. Spekulasi pun juga harus dibedakan dengan judi, karena spekulator memiliki informasi yang menjadi basis keputusan investasinya.
lalu apa perbedaan spekulasi dan risk arbitrage..? Menurut saya dalam risk-arbitrage ada guaranteed profit yang bisa anda kalkulasikan sebelumnya ketika memang event yang menimbulkan potensi arbitrage benar2 terjadi. Sedangkan dalam spekulasi, tidak ada guaranteed profit meskipun informasi yang anda terima sebelumnya benar2 akurat.
Dalam kasus perbedaan harga BBM di indonesia dengan harga international, hal itu cenderung menimbulkan risk arbitrage, dan bukan spekulasi. Karena ada guaranteed profit yang bisa anda terima, ketika anda berhasil melewati pengawasan polisi (risk!). Untuk spekulasi, bisa mengambil contoh para spekulan minyak, yang membeli kontrak derivative atas minyak karena mendapatkan informasi bahwa akan terjadi depresiasi dollar dalam waktu dekat. Apakah ketika dollar benar2 terdepresiasi harga minyak akan seketika naik...? Menurut saya belum tentu, karena ada faktor lain seperti geopolitik yang bisa mempengaruhi harga tersebut.
Semoga penjelasan saya cukup baik.
Anonim, terima kasih atas penjelasannya. Very helpful
ribet ya klo mikirin duit.
kayaknya lebih baik Indonesia balik ke jaman bheula aja deh..jamannya perang kemerdekaan, gak ada yg mikirin bbm..semua sukarela berjuang jiwa raga buat Indonesia, gak minta imbalan lagi.
bagus juga klo Indonesia dijajah lagi kali ya.
Buat Anonim, yang mau dijajah lagi. Walau sama-sama anonim, saya tidak segebleg anda, kalau cuma mau dijajah lagi mah nggak usah nunggu, karena kita saat ini juga masih terjajah, cuma ganti oknum saja. Terjajah oleh kebodohan dan kerakusan kita sendiri. Makanya rajin-rajin ibadah ya...
Saya menunggu hasil yang terbaik nya saja deh
Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melaju ditunjang dengan infrastruktur yang baik dan memadai.
Artikel yang sangat bermanfaat untuk dibaca dan dibagikan kepada teman dan keluarga.
Posting Komentar