11 Januari 2008

Ketika insentif tidak cukup -- Ari A. Perdana

Seperti halnya MCB, saya sangat menikmati serial diskusi tentang faktor non-ekonomi di blog ini. Saya, dan tentunya juga rekan-rekan ekonom di sini, belajar banyak dari perspektif yang ditawarkan melalui komentar rekan-rekan.

Dari berbagai tanggapan, satu isu menarik dilontarkan oleh Tirta. Ia bertanya, dalam kasus apa pendekatan insentif tidak cocok, atau kurang powerful, sebagai pisau analisis? Reaksi spontan saya dan Aco adalah "tidak ada." Dalam pemikiran saya, pertanyaan yang lebih relevan adalah insentif macam apa, tapi semua hal terkait dengan pilihan dan keputusan individu (atau agent) tetap bisa dijelaskan dalam kerangka insentif.

Harus saya akui, tanggapan-tanggapan lanjutan dari Tirta dan juga Roby membuat saya (setidaknya saya, tidak tahu bagaimana dengan Aco) terus berpikir ulang. Dalam komentar lanjutan, saya sempat mengatakan bahwa pendekatan insentif tidak cocok untuk kasus agent yang mengambil keputusan secara random -- artinya, tidak ada motivasi atau 'fungsi utility' yang mendasari keputusan yang diambil. Ada dua kondisi lain yang saya rasa tidak bisa didekati lewat kerangka insentif, meski tidak sekuat kondisi yang saya ajukan pertama kali:
  • Kondisi dimana agent tidak memiliki kendala yang mengikat, baik itu kendala biaya, waktu, spasial dan apapun yang menjadi kendala. Saya tidak bisa memikirkan contoh yang realistis untuk kondisi ini, selain tokoh Q dalam serial Star Trek: The Next Generations.
  • Kondisi dimana agent tidak memiliki kehendak bebas. Dalam kondisi ini, agent tidak memiliki fungsi utility pribadi, melainkan bergerak atas dasar utility atau motivasi yang murni eksternal. Contohnya adalah komunitas Borg dalam, lagi-lagi, serial Star Trek.

Yang menarik adalah beberapa kasus yang terletak dalam wilayah abu-abu. Maksudnya, kasus dimana kita tidak bisa menyimpulkan apakah pendekatan insentif bisa/cocok menjelaskan perilaku agent. Atau, kalaupun bisa, pendekatan insentif hanya mampu menjelaskan sebagian (kecil). Contohnya adalah ilustrasi yang diajukan Tirta tentang seorang anak yang memutuskan membaca buku karena melihat kembarannya membaca buku.

Seperti halnya Aco, saya setuju bahwa teori ekonomi -- dalam hal ini pendekatan insentif -- tidak bisa menjelaskan hal itu. Mungkin saja perilaku si anak murni copycat kembarannya, dan ini membutuhkan teori psikologi atau neuroscience untuk menjelaskannya. Tapi bukan berarti pendekatan insentif jadi tidak punya tempat. Mungkin saja si anak punya motivasi, misalnya keinginan untuk menjadi mirip, dan berlaku mirip, dengan kembarannya.

Kalau penjelasan ini terdengar lemah, mungkin kita bisa membandingkan dengan fenomena tawuran. Kita banyak mendengar cerita tentang pelaku tawuran yang kalau tidak bersama rekan-rekannya adalah seorang pendiam dan berperilaku baik. Begitu ia ada bersama rekan-rekannya, ia menjaid beringas. Ini sedikit banyak terkait dengan apa yang dilontarkan Roby soal diskrepansi antara perilaku individu dan agregat/sosial. Banyak penelitian psikologi dan sosiologi yang coba menjelaskan fenomena ini, setahu saya. Dan salah satu penjelasannya adalah adanya motivasi untuk tampil, diakui, atau mirip dengan yang lain. Dengan kata lain, ada insentif bagi si agent untuk tidak menjadi dirinya sehari-hari.

Mengapa orang ikut pemilu?

Kasus lain yang sudah cukup banyak menjadi objek studi adalah perilaku individu dalam pemilihan umum. Ada dua pertanyaan: a) mengapa seseorang memutuskan untuk memilih di hari pemilihan, dan b) mengapa ia menjatuhkan pilihan pada partai/kandidat tertentu?

Dalam kerangka insentif, atau sering disebut juga dengan model 'pilihan rasional,' jawaban untuk (a) adalah cost si individu untuk datang ke tempat pemilihan lebih kecil dari benefitnya. Pertanyaannya, apakah benefit dari ikut pemilu? Secara sederhana, jawabannya adalah memastikan bahwa kandidat yang didukung menang. Di sini timbul paradoks. Dalam pemilu yang diikuti oleh jutaan orang, maka suara satu individu menjadi tidak penting. Apakah si individu memutuskan ikut pemilu atau tidak, ia tidak punya kontrol atas benefit potensial yang akan ia terima. Kecuali kalau memang ada mekanisme koordinasi dimana ia bisa memastikan bahwa orang-orang lain yang akan memilih kandidat sama juga akan memilih (alasan lain adalah adanya penggalangan pemilih atau politik uang).

Bagaimana menjelaskan paradoks ini? Satu kemungkinan adalah si individu menganggap bahwa ada peluang sebesar x persen bahwa suaranya akan mempengaruhi hasil akhir. Ia akan memutuskan untuk datang ke tempat pemilihan hanya jika ia percaya bahwa x lebih besar dari nilai tertentu.

Kemungkinan lain adalah keputusan untuk memilih bukan didasarkan semata-mata atas cost vs. benefit dari pergi ke tempat pemilihan, melainkan sebagai bentuk ekspresi tertentu. Entah sebagai dukungan atau penolakan terhadap sebuah ideologi, isu yang diusung, platform atau figur partai atau kandidat yang bersangkutan. Artinya, bentuk utility si individu adalah 'menunjukkan ekspresi' itu sendiri.

Tapi seberapa jauh kita bisa mengatakan bahwa insentif atau kalkulasi cost-benefit tidak menjelaskan keputusan untuk memilih? Untuk itu, kita perlu menjawab pertanyaan (b). Kalau memang faktor cost-benefit tidak berperan dalam menjelaskan orang datang memilih, maka yang akan memilih di hari pemilihan (selain yang dibayar) adalah mereka yang i) benar-benar memutuskan secara random, atau ii) memilih karena kedekatan identitas dengan partai/kandidat.

Dari berbagai studi mengenai perilaku pemilih, (i) bisa kita tolak karena ada pola yang sistematis antara latar belakang pemilih dengan pilihannya. Spesifik untuk kasus Indonesia, Saiful Mujani, lewat beberapa studi empirisnya, menunjukkan bahwa (ii) masih menjadi alasan bagaimana seseorang menjatuhkan pilihan. Ini berlaku untuk 'massa tradisional,' misalnya yang memilih PDIP, PAN atau PKB karena keluarganya dari dulu memilih PNI. Muhammadiyyah atau NU. Tapi, menurut Saiful, hipotesis bahwa pemilih memutuskan berdasarkan kalkulasi rasional juga tidak bisa ditolak. Salah satunya, seperti ia tunjukkan di studi ini, adalah tidak signifikannya identitas agama, dan pentingnya variabel kepemimpinan, dalam menjelaskan pilihan. Lanjut Saiful, ada kecenderungan bahwa pemilih menggunakan pemilu sebagai mekanisme reward dan punishment, yang menunjukkan bahwa pemilih Indonesia memang punya ekspektasi terhadap hasil pemilihan, dan bukan semata-mata didorong atas faktor-faktor psikologis atau kedekatan identitas.

Kesimpulannya? Sebenarnya, saya tidak sedang berusaha menyimpulkan apapun. Saya hanya ingin, sekali lagi, menunjukkan beberapa kasus dimana pendekatan insentif dan lainnya selalu bisa saling melengkapi.

** Ari A. Perdana adalah dosen FEUI, peneliti CSIS, dan anggota Cafe Salemba.

13 komentar:

Anymatters mengatakan...

Saya tiba2 (random) berpikir mungkin ini (belum) bisa menjelaskan perilaku (kebijakan/ekonomi) Good Samaritan dimana agen yg seharusnya menghukum obyek malah menolong walaupun ada anonimiti & pertentangan umum di antara mereka.

Arya Gaduh mengatakan...

AP:
Apakah memilih berdasarkan kedekatan identitas dengan partai/kandidat (atau, lebih umum lagi, memilih menggunakan rule of thumb) berarti tidak melakukan kalkulasi cost dan benefit? Andai bukti empiris menunjukkan bahwa orang memilih berdasarkan rule of thumb seperti kedekatan identitas, apakah berarti argumen insentif tidak berlaku dalam analisis perilaku pemilih?

a.p. mengatakan...

Arya -- menurut saya, dalam beberapa/banyak kasus perilaku memilih berdasarkan proximity mungkin tetap bisa dijelaskan dengan kerangka cost-benefit. Ini mirip dengan penjelasan kenapa seorang siswa ikut tawuran.

Tapi saya belum tahu apakah ini bisa digeneralisasi untuk seluruh kasus. Mungkin saja ada pemilih yang perilakunya mirip seperti supporter sepakbola yang tetap mendukung tim kesayangannya meski tim itu under-performing.

Meski demikian, anggaplah sebuah kondisi benchmark bahwa
perilaku pemilih Indonesia tidak berdasarkan kalkulasi cost-benefit. Pemahaman saya atas studinya Saiful Mujani adalah, situasi itu tidak terbukti. Artinya, meski penjelasan psikologis ada benarnya, tidak berarti bahwa pemilih Indonesia tidak melakukan kalkulasi cost-benefit atau menjadikan pemilu sebagai sarana untuk reward dan punishment kepada politisi.

Anonim mengatakan...

AP dengan cerdik telah mengajukan aspek saling melengkapi antara analisis Cost-Benefit dengan analisis non Cost-Benefit dalam menjelaskan soal partisipasi dalam pemilu.

Dengan anggapan semua orang adalah rasional, seperti yang lazim dikenal dalam "ilmu ekonomi", khususnya public choice, persoalan "penunggang gelap" ekonomi membuat pemilih tidak akan datang ke TPS dan mencoblos. Toh satu suara miliknya cuma sepersekian dari jutaan suara. (Sebaliknya, bila semua orang berpikir "rasional", dan semua tidak ikut nyoblos, maka menjadi "rasional" untuk pergi mencoblos, sebab - mengingat begitu sedikitnya orang yang pergi ke TPS - suara kita menjadi sangat berpengaruh).

Alasan lain yang disebut AP dalam posting tersebut, yang menjelaskan mengapa pemilih tetap pergi memilih, jelas bukan alasan yang sepadan dengan model pilihan rasional.

Sangat menarik, sebab AP terbuka atas kemungkinan penjelasan dari berbagai perspektif.

Untuk tetap menunjukkan bahwa analisis Cost-Benefit masih tetap bisa diterapkan, AP mengajukan pertanyaan lain: mengapa pemilih mencoblos partai tertentu, sebagai cermin dari (maksimisasi) kepentingan dirinya?

Ada dua hal disini. Terkait konsepsi pilihan rasional dalam (1) dan terkait maksimisasi utilitas dalam (2).

Bagaimana, kira-kira, AP memperluas analisa menarik ini? Di satu sisi, menolak model pilihan rasional - karena tidak berkemampuan menjawab contoh dalam (1) dan di lain sisi, menerima pokok maksimisasi utilitas, yang dengan relatif baik menjelaskan contoh (2).

Arya Gaduh mengatakan...

AP:
Bagi saya, istilah "orang merespons insentif" berarti "orang melakukan hal yang membuat dia senang, dan menghindari hal yang membuat dia susah". Bahkan ketika seseorang mendukung tim favorit dia yang underperforming pun, dia merespons insentif. Begitu pula, ketika orang menggunakan rule of thumb dalam mengambil keputusan, ini mungkin karena biaya dari cara alternatifnya lebih besar.

Dalam konteks ini, saya kira tugas ilmu ekonomi mencari bukti empiris dan generalisasi (sebisa mungkin) tentang insentif mana yang relevan bagi kebanyakan orang. Dan untuk pencarian inilah masukan dari segala bentuk disiplin ilmu sosial (pula psikologi dan biologi) diperlukan.

Anonim mengatakan...

arya -- binatang bersel satupun melakukan hal yang membuat dia senang (mendekati mangsa) dan menghindari hal yang membuat dia susah (menghindari bahaya). demikian pula dengan batu yang dilepas dari ketinggian, yang jauh lebih senang untuk jatuh ke bawah dibanding sulit-sulit naik ke atas.

apakah arya lalu akan mengatakan bahwa binatang bersel satu merespon insentif? atau apakah batu memiliki insentif untuk jatuh ke bawah?

Arya Gaduh mengatakan...

Tirta:
Binatang (termasuk binatang bersel satu) jelas merespon insentif. Dalam upaya menjinakkan binatang, pemahaman akan insentif inilah yang digunakan untuk memprediksi respons perilaku binatang tersebut.

Ide di balik adagium "orang merespons insentif" adalah bahwa orang memaksimalkan utilitas dia. Masalahnya, dalam kasus manusia, utilitas (atau sumber 'kebahagiaan' yang memotivasi tindakan dia) tidak sedemikian mudah didefinisikan. Dalam kebanyakan kasus kesejahteraan material individu adalah proxy yang cukup akurat untuk utilitas.

Namun, seperti yang ditunjukkan AP, ada kasus-kasus di mana mungkin bukan insentif ini yang paling efektif. Dalam proses memahami perilaku agregat, ini sebenarnya yang ingin coba diidentifikasi oleh ilmu ekonomi beserta refinements-nya.

Anonim mengatakan...

arya -- adagium landsburg itu saya pikir memiliki asumsi implisit: bahwa orang merespon insentif SECARA RASIONAL. disinilah masuk berbagai asumsi model formal ekonomi akan perilaku manusia, dan inilah kelebihan ilmu ekonomi dengan model-modelnya yang elegan dan presisi.

namun binatang bersel satu, pohon dan batu, tidak memiliki otak -- sehingga tidak dapat memilih dengan rasional. per kuliah nobel daniel kahneman (2002), manusia pun terkadang tidak menggunakan modul otak rasionalnya (kahneman merujuk ini dengan istilah sistem 1 yang bersifat intuitif, dikontraskan dengan sistem 2 yang bersifat rasional).

seperti saya katakan sebelumnya, segala sesuatu bisa saja direduksi menjadi insentif -- jika definisi insentif demikian longgar. konsep-konsep seperti emosi, kepribadian, intuisi, dan insting, semua bisa 'diturunkan' menjadi sekedar insentif.

pertanyaannya, tepatkah? tepatkah menganalisa (1) reaksi lutut saya yang otomatis menendang, ketika dipukul, (2) reaksi saya memilih kandidat dengan rule-of-thumb, dan (3) reaksi saya menjual saham, ketika harganya saya ketahui naik, ketiganya dengan kerangka pikir insentif?

kembali ke distingsi kahneman, saya pikir ekonomi sejatinya berdomain sistem 2. manusia sehari-hari dihadapkan pada berbagai situasi dimana ia harus memilih secara rasional, dan analisa insentif tepat digunakan disini. diluar itu, tidak ada salahnya kita menggunakan pendekatan lain yang lebih tepat, sans insentif.

Arya Gaduh mengatakan...

Tirta:
Ah, maaf -- jadi yang dipermasalahkan di sini adalah soal kemampuan memilih. Jika itu masalahnya, coba lihat lagi re-definisi saya tentang adagium tersebut: "hal yang membuat dia senang..." -- sebuah proses reflektif. Entah, apakah binatang bersel satu atau batu bisa dikatakan melakukan proses reflektif menilai pilihan yang membuat dia senang?

Ekonomi mulai dari premis bahwa pilihan orang itu rasional dengan tujuan memaksimalkan utilitas. Namun ekonomi tidak mendefinisikan secara gamblang arti "utilitas" maupun sumbernya. Seperti yang saya tulis sebelumnya, utilitas kerap di-proxy dengan uang. Namun, dalam banyak hal, ini bukan proxy yang tepat.

Untuk ketiga kasus yang ditanyakan di atas, selain untuk kasus nomor satu (reaksi lutut yang secara refleks melonjak ketika dipukul), bagi saya problem tersebut masih bisa dimodelkan dalam kerangka insentif. Namun untuk melakukan itu, perlu pemahaman (dan uji empiris) tentang sumber utilitas ketika seseorang membuat keputusan.

Arya Gaduh mengatakan...

Tirta:
Cara formulasi insentif yang Tirta anggap "longgar" ini sebenarnya banyak dipakai dalam analisis ekonomi. Dari artikel ini, misalnya:

"The Cosby explanation—that there is simply a culture of consumption among black Americans—doesn't quite cut it for economists. We prefer to account for differences in behavior by looking to see if there are differing incentives."

Insentif yang dimaksud?

"To consume is to flaunt our financial success; it's how we keep score in life.

Economists refer to items that we purchase in order to reveal our prosperity to others as
wealth signals."

Dalam kerangka yang saya pikir Tirta asumsikan tentang rasionalitas, mungkin perilaku "konsumsi untuk nyombong di hadapan tetangga" tidak "rasional". Ide tentang pentingnya status sosial ini pun ide yang umumnya muncul dari sosiologi atau antropologi (dan biologi).

Tapi lewat studi empiris, ekonom mencoba menguji pentingnya hipotesis ini dalam perilaku konsumsi seseorang. Ternyata, ada indikasi bahwa kebutuhan status sosial ini penting dalam keputusan konsumsi.

Ini saya kira pesan MCB yang disalahmengerti: Jawaban "faktor non-ekonomi" seringkali digunakan sebagai discussion stopper. Namun seharusnya kita melangkah lebih jauh: Jika pun benar ada faktor non-ekonomi, mari sebisa mungkin kita buktikan secara empiris faktor non-ekonomi yang mana yang dominan memotivasi perilaku tertentu secara agregat.

Anonim mengatakan...

arya -- saya tidak ada masalah dengan pendekatan ekonomi terkait artikel slate yang dirujuk. dan saya setuju dengan nafas pesan mcb secara umum.

yang jadi masalah adalah ketika konsep-konsep kognitif yang lain, seperti intuisi, insting, dan emosi, serta-merta 'diturunkan' menjadi analisa biaya-manfaat.

kata 'utilitas' memang mencakup banyak hal (tidak hanya uang dan materi), dan psikologi setuju dengan ini. namun definisi 'rasional' saya pikir memiliki asumsi implisit, bahwa orang memilih secara sadar sesuai insentif terbaik yang ada. reflektif, seperti kata arya.

inilah mengapa batu, bakteri, lutut, dan psikopat tidak 'bisa' berlaku rasional dan reflektif, walaupun memiliki utilitas dan insentif untuk jatuh ke bawah, mendekati cahaya, menendang spontan, dan membunuh sporadis. bangunan dasar kognitif mereka lain, atau bahkan tidak ada.

kembali ke kuliah kahneman, ada saat dimana manusia berpikir dengan sistem 1 yang rasional (memutuskan secara sadar untuk nyombong ke tetangga karena insentif status sosial), namun ada pula saat dimana manusia tidak berpikir dan langsung bertindak atas dasar sistem 2 yang intuitif (impulsif membeli barang mewah karena sedang emosional, sans berpikir, sehingga secara tidak langsung nyombong ke tetangga).

kedua tindakan ini terlihat serupa, jika hanya diamati melalui lensa revealed preference, namun jelas berbeda dasar kognitifnya. realitas kognitif ini yang menurut saya mesti ditangkap dan dibedakan.

Anonim mengatakan...

mungkin saya terlalu terlambat memberikan komentar dan mungkin juga agak redundant dengan Arya dan Ap

menurut saya, konsep utility dan rasionalitas tetap berlaku dalam pilihan2 yang terlihat sepintas emosional (misalnya contoh tawuran dan pemilu). hanya saja, kita perlu mempertimbangkan apakah definisi rasionalitas dan utility tiap orang berbeda.

dasar bahwa tiap orang rasional adalah tiap orang akan berusaha mengoptimalkan utilitasnya dengan mempertimbangkan asas biaya-manfaat, hanya saja tentu asas biaya dan manfaatnya dan utilitasnya berbeda tiap kelompok.


contoh tawuran misalnya, utilitas anak sekolah menengah adalah untuk "survive" di tengah tekanan kelompoknya (peer group pressure) dan mungkin untuk itu, luka2 dan ditangkap polisi adalah suatu biaya yang masih dapat dikompensasi oleh manfaat yang dia terima...

suporter bola yang under-performing, sekali lagi, selera adalah sesuatu belum bisa dijelaskan dengan konsep dan biaya... tapi pemuasan selera (seburuk apapun itu dari sisi orang lain) tidak dapat dipungkiri dapat dianalisa dengan konsep CnB


kalau konsep batu jatuh ke tanah dan reaksi spontan dari lutut yang dipukul, hmmm... apa ya kira2 insentifnya??? selera? peer pressure? physics? gak ada insentifnya kayaknya... dan saya juga tidak mengikuti dari awal apakah konsep rasionalitas itu dapat diterapkan pada hewan??

Pak Anwar Nasution pernah bilang : "apakah karena ayam berkokok lantas matahari terbit?"

merespon insentif karena rasional atau rasional karena merespon insentif???

Roby mengatakan...

Saya pikir kritik terhadap teori ekonomi neoklasik ini muncul dari dua sisi.

Pertama, sisi psikologis dimana perdebatannya adalah mengenai the nature of man. Buat saya jelas pemenangnya adalah psikologi karena psikolog melakukan eksperimen dan ekonom hanya membuat asumsi. Tentu saya lebih percaya hasil eksperimen daripada asumsi.

Kritik kedua adalah sampai sejauh mana asumsi neoklasik mampu menjelaskan hasil agregat.

Disini kita berpindah level, dari individu ke agregat.

Schelling menunjukkan bahwa ketika kita mengamati ada daerah yang tersegragasi dimana orang kulit putih berkumpul dengan kulit putih dan kulit hitam dengan kulit hitam.

Kita tidak bisa otomatis mengatakan bahwa orang kulit putih lebih suka tinggal dengan kulit putih dan hitam dengan hitam.

Hasil agregat yang berupa segregasi dapat dicapai meskipun orang kulit putih ingin tinggal dengan kulit hitam.

Poin penting disini adalah bukan berarti insentif tidak berlaku. Tetapi, hasil agregat dipengaruhi banyak oleh interaksi antar individu yang memiliki insentif beragam.

Jadi kita bukan hanya perlu tahu insentif individu, tapi juga tahu pola interaksi individu untuk menjelaskan hasil agregat.

Contoh praktis, kita bisa tetap pakai game theory.

Misalnya, setiap individu memiliki pay off matrix tertentu yang diambil dari sebuah distribusi. Jadi individu memiliki insentif yang heterogen.

Lalu kumpulkan 1000 individu dan definisikan interaksi antar mereka.

Jadi kita sekarang melakukan game theory pada sebuah jejaring.

Disini, untuk menjelaskan hasil agregat, kita tidak cukup mengetahui pay off matrix saja, tapi juga struktur jejaring dimana permainan tersebut dijalankan.

Ini sebuah contoh saja. Meskipun contoh yang kompleks. Ekonom Matthew Jackson di Stanford salah satu pelopor bidang ini dan Arya sedang mempelajarinya.

Btw, ini ada paper, yang ditulis ekonom tentang batas2 teori neoklasik dalam menjelaskan hasil agregat (tanpa jejaring yang dimodelkan secara eksplisit, hanya dinamika nonlinear dari sebuah variasi Prisoners' Dilemma)