03 Oktober 2007

Burukkah impor? - MCB



Ada satu kepercayaan bahwa impor itu buruk. Karena itu dalam sebagian besar diskusi, orang selalu bicara dengan nada tinggi tentang bahaya impor. Keberhasilan juga kerap dinilai kalau kita mengurangi impor. Logikanya, kalau banyak impor, kita tergantung negara lain, devisa akan keluar, ekonomi tak bisa bersaing, akhirnya pertumbuhan ekonomi mandek. Menarik, mitos ini hidup dan selalu di elus-elus setiap waktu.



Disisi lain kita juga kuatir dengan impor karena argumen konsumerisme.
Sayangnya data empiris tak mendukung mitos ini, atau kepercayaan yang dianut mayoritas ini. Lihat saja grafik-grafik disebelah kiri. Ada pola yang sama antara pertumbuhan ekonomi dan impor dalam senjang satu triwulan. Tentu mereka yang belajar ekonomi ditingkat dasar akan bicara: impor tergantung pendapatan. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, semakin tinggi pula impor. Namun jika kita melihat hubungan impor dan pertumbuhan ekonomi atau investasi, seperti pada grafik-grafik disebelah kiri, maka kita akan mendapatkan bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan investasi selalu didahului oleh kenaikan impor. Disini impor berlaku seperti leading indicator. Artinya kalau impor naik, maka satu atau dua triwulan setelah itu investasi akan naik dan PDB juga akan naik.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Mudah saja: sekitar 90% dari impor kita terdiri dari barang modal dan bahan baku. Kalau impor barang modal dan bahan baku naik, itu artinya perusahaan sudah mulai melakukan produksi atau melakukan ekspansi produksi. Tak akan ada perusahaan yang akan mengimpor barang modal dan bahan baku, kalau hanya akan ditumpuk jadi stok. Peningkatan impor barang berarti ekspansi produksi Akibatnya investasi naik, output juga naik.
Karena itu impor tak selamanya buruk seperti bayangan kita. Malah buat negara seperti Indonesia --dalam situasi pertumbuhan tinggi -- yang seharusnya terjadi adalah defisit dalam neraca transaksi berjalan. Defisit dalam transaksi berjalan menunjukkan kondisi tabungan yang lebih kecil dibanding investasi. Defisit dalam transaksi berjalan konsisten dengan kebutuhan investasi yang tinggi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kondisi saat ini, dimana transaksi berjalan surplus, justru menunjukkan keengganan orang untuk berinvestasi. Implikasinya: tabungan lebih besar dibanding investasi.

Itu sebabnya beberapa studi tentang Jepang dan negara Asia lain , malah percaya dengan istilah import led growth atau impor mendorong pertumbuhan.

Ternyata impor tak seburuk yang kita bayangkan. Kalau benar argumentasi itu, maka sebenarnya tak perlu kekuatiran yang berlebihan soal masuknya impor atau liberalisasi perdagangan. Menarik: bukti empiris memang kerap mengganggu mitos dan mempertanyakan berbagai keluhan yang selama ini dianggap benar. Mungkin karena itu fakta empiris kerap merisaukan dan tak menyenangkan banyak pihak yang ingin selalu dilindungi dari impor, atau mereka yang selalu berteriak dengan nada was-was: AWAS IMPOR

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Bang Dede:
Oura (IMF, 2006) pernah mencoba mengidentifikasi economic indicators untuk Indonesia dengan menggunakan time-series econometrics.
Berikut some highlights untuk kaitan antara impor dan investasi:
1. Capital good imports menjelaskan sekitar 70% variasi dari pertumbuhan investasi dengan korelasi statistik yang kuat. Jadi seiring bertumbuhnya impor barang modal, investasi juga meningkat (capital good imports sebagai coincident indicator).
2. Leading indicators untuk Jepang dan US secara statistik memiliki korelasi yang kuat dengan investasi cycle di Indonesia (composite leading indicators utk Jepang dan US sebagai leading indicator). Menandakan bahwa investasi Indonesia terkait dengan negara2 maju. Note: Leading indicators adalah untuk 2-quarters ahead.

Satu lagi studi empiris yang mendukung argumen Bang Dede.

-Edo-

dede mengatakan...

Thanks Edo