21 Januari 2008

Mana yang lebih baik: subdisi BBM atau makanan?-MCB

Aco punya tulisan yang menarik soal kedele. Dalam sebuah diskusi informal, kita coba melihat langkah apa yang bisa dlakukan untuk mengatasi soal kedelai ini.
Pertama, mungkin baik untuk memahami persoalannya: harga internasional naik sangat tinggi dan kemudian dampaknya dirasakan pada harga domestik (pass-through effect). Disisi lain, produksi domestik terus menurun, sedangkan konsumsinya terus naik. Akibatnya dapat diduga: harga melambung. Yang perlu diperhatikan, fenomena ini terjadi bukan hanya pada kedelai, tetapi juga bahan makanan lain. Kita lihat pola yang mirip untuk beras sebenarnya, juga untuk terigu. Tampaknya, dampak dari perubahan iklim sedikit banyak menganggu panen dibanyak negara di dunia. Selain itu subsititusi dari makanan ke bio-fuel juga menganggu peningkatan produksi. Karena itu fenomena kedelai, adalah fenomena yang mirip dengan jenis komoditi pertanian lain.
Kedua, kalau memang soalnya adalah pass through effect, maka penambahan impor tak akan membuat harga domestik lebih rendah dari harga internasional. Namun, penambahan impor setidaknya akan menjamin harga domestik comparable dengan harga internasional. Dalam kasus dimana stok kurang, karena produksi menurun dan konsumsi naik, dan impor dihambat, maka dalam jangka pendek Indonesia pasti akan merasakan kenaikan harga. Langkah yang bisa dilakukan adalah menambah supply. Persoalannya, dengan suppply domestik yang terbatas, maka penambahan pasokan hanya bisa dilakukan melalui impor. Sayangnya hanya 4 perusahaan yang berani melakukan impor. Secara formal tidak ada larangan impor, karena importir kedelai termasuk kategori importir umum (IU) --siapa saja boleh impor. Namun, dalam praktek, karena resiko dari fluktuasi harga yang begitu tinggi, praktis tak besar insentif bagi perusahaan melakukan impor. Akibatnya terjadilah natural oligopoli. Implikasinya: impor pun terbatas. Langkah pemerintah menurunkan bea masuk menjadi 0% memang solusi jangka pendek. Namun perlu dicatat bahwa impor pun membutuhkan waktu. Selain itu, jika yang melakukan impor hanya 4 perusahaan, maka jumlah yang bisa diimpor juga akan terbatas. Karena itu seperti yang ditulis Aco, saya kira upaya penambahan impor bisa dilakukan dengan meminta Bulog untuk melakukan impor.
Ketiga, perlu dicatat solusi jangka pendek ini, maksimal hanya akan mampu membuat harga domestik hampir sama dengan harga internasional (harga kedelai+biaya transpor). Tapi dia tidak akan mampu menurunkan harga kedelai seperti sebelum kenaikan harga di pasar internasional. Implikasinya, harga masih akan tetap relatif mahal.
Ketiga, jika pemerintah menginginkan harga kedelai atau bahan makanan lain menjadi relatif murah, maka alternatifnya adalah memberikan subsidi. Persoalannya adalah kalau semua komoditi harus disubsidi termasuk juga BBM, maka pertanyaanya adalah uanganya dari mana? APBN jelas tak akan sanggup mensubsidi semuanya. Karena itu pemerintah harus menentukan prioritasnya. Porsi makanan termasuk kedelai dalam porsi pengeluaran atau konsumsi jelas lebih besar dibanding porsi konsumsi bensin, apalagi bagi penduduk miskin. Karena itu jika subsidi BBM dialukan sebagian (tetap pertahankan minyak tanah) dan kemudian dialokasikan kepada subsidi makanan, maka dampak dari transfer pendapatannya akan lebih besar dibandingkan subsidi BBM. Itu sebabnya subsidi makanan jelas akan lebih bermanfaat dibanding subsidi BBM. Lagi pula mengapa harus mensubsidi bensin yang dinikmati oleh kelompok menengah atas. Dari sisi ini saya kira lebih adil bila subsidi dialokasikan pada makanan termasuk kedelai, ketimbang premium.
Keempat, solusi subsidi jelas bukan first best solution. Sayangnya kita memang hidup bukan pada dunia first best, kita hidup pada dunia second best, karena itu mungkin subsidi harus diterima sebagai kompensasi dalam jangka pendek. Secara politik juga lebih baik mensubsidi makanan yang terkait langsung dengan kebutuhan pokok orang ketimbang premium. Dalam jangka menengah panjang, solusi yang harus dilakukan adalah meningkatkan produkftitas. Disini kita bicara tentang perlunya perbaikan irigasi, infrastruktur, bibit, teknologi, akses pasar. Dan juga mungkin penting jika Presiden memanggil bupati, gubernur untuk memastikan bahwa daerah-daerah meningkatkan produksi pertaniannya. Kasus kedelai, adalah contoh kesalahan kita bagaimana masalah produktifitas yang rendah selama ini diatasi dengan solusi kebijakan perdagangan dengan melarang impor atau memberikan bea masuk tinggi. Akibatnya tak ada kompetisi yang memaksa pertanian domestik untuk memperbaiki dirinya. Kita terlena karena toh, tanpa meningkatkan produkifitas, kita tetap aman karena impor kita hambat. Ini mirip seorang anak yang tak pernah dewasa karena si orang tua selalu melindunginya. Dan pada saat sang anak harus berinteraksi langsung dengan dunia, ia menjadi terkejut karena kenyataan tak seindah perlindungan orang tua. Itu sebabnya solusi jangka menengah panjang adalah peningkatan produktifitas. Sayangnya produktifitas tak bisa naik dalam waktu sekejap, maka solusi menambah impor adalah langkah yang tepat. Selain itu mengapa tidak mengaloksikan subsidi BBM kepada subsidi makanan? Toh, jika kita ingin melindungi, yang perlu dilindungi adalah mereka yang miskin bukan kelas menengah atas

14 komentar:

Anonim mengatakan...

Sukamu Kolopot:

Saya sepakat bahwa subdisi makanan jauh lebih tepat ketimbang subsidi BBM yang lebih banyak dinikmati oleh penduduk berpenghasilan menengah ke atas. Dengan perilaku boros energi dan konsumtif yang selama ini dengan riangnya membakar duit subdisi, para pengendara kendaraan bermotor sungguh egois. Lebih senang macet dan menerima kebodohannya dengan keadaan macet yang tak pernah berubah. Belum lagi hak akan udara segar tak bisa dipenuhi karena di negara yang rambunctious ini, orang dengan seenaknya mempolusikan udara.

Selain itu, ada baiknya generasi pemerintahan sekarang belajar dari Pak Harto dalam menjaga stabilitas ketahanan pangan. Waktu itu, hingga tingkat Bupati dikontrol untuk memberikan laporan produktivitas pertanian e.g. beras setiap bulan. Masih segar dalam ingatan kita, seusai Laporan Khusus TVRI mengenai Sidang Kabinet, Harmoko menyampaikan semua hal termasuk harga cabe keriting. Berbeda dengan sekarang, demokratisasi dikejar, lupa bahwa makanan harus tetap dijaga stabilitasnya. Mana ada pembangunan waduk, dam, dan irigasi serta PPL dan Kelompencapir pasca reformasi? Ada hal baik yang mestinya diteruskan oleh bangsa ini dari keberhasilan Pak Harto di masa lampau.

Arya Gaduh mengatakan...

Dede:
Saya sedikit tidak jelas bentuk subsidi komoditi makanan yang dimaksud. Subsidi komoditi makanan yang mana dan macam apa? Subsidi produsen? Konsumen?

Jika subsidi konsumen, apakah memang akan lebih tidak bocor daripada subsidi BBM mengingat bahwa kebanyakan komoditi itu adalah barang normal dan kerap merupakan input untuk luxury goods?

Selain itu, saya pikir alternatif yang tidak Dede sebutkan adalah subsidi orang miskin langsung. Apapun yang kita lakukan, harga pangan dunia toh akan terus berfluktuasi. Saya kira, alih-alih terus melindungi semua pelaku ekonomi dari fluktuasi, mereka yang mampu baiknya dibiarkan saja belajar beradaptasi dengan fluktuasi.

Anonim mengatakan...

Saya merasakan adanya pancaran hati nurani rakyat pada kalimat terakhir. Mari bergabung bersama kami Pak.

Anonim mengatakan...

Sukamu Kolopot berkata-kata:

Ya...mbok Keynesian dikitlah Bung Arya, jangan biarkan beradaptasi dan dilepas begitu saja hingga mati terkapar di jalan. Ini bukan Darwinisme survival of the fittest dimana yang mampu berdaptasi saja yang bisa hidup.

Buat Hanura, kami bosan dengan tameng dan menggunakan orang miskin hanya sebagai komoditas politik dan terlupakan beitu saja setelah anda-anda running the office. Lebih baik buktikan saja dengan memberikan uang anda bagi orang miskin secara langsung. Coba lihat sekarang ini, mana ada kepala daerah yang mampu menghilangkan orang agar tak menjdai joki three in one hingga bayi-bayi pun terpaksa berjibaku di jalanan dengan polusi liar yang juga tak mereka atur dan biarkan begitu saja. Yang penting bagi mereka adalah fasilitas jabatan dan kemewahan hidup bukan untuk memikirkan rakyat. So, please do not offer any political campaign in this honourable blog Hanura (or his faker)

Anonim mengatakan...

Diskusi persoalan kedele makin ramai dan menarik.

Pertama, sebab-sebab persolan itu dipahami disebabkan oleh beragam hal. Dari perubahan iklim, pengaruh pasar luar negeri atas pasar dalam negeri (seperti dalam analisa Dede dan Aco), serta kondisi kelembagaan pertanian di desa (seperti tulisan A. Erani Yustika di Kompas). Analisa-analisa ekonomi semacam ini, yang melihat beragam sumber persoalan, tentunya adalah hal yang menggembirakan.

Kedua, yang tak kurang menarik, adalah bagaimana para ekonom memperlakukan pokok subsidi. Sebagai solusi second-best, dan jangka pendek, subsidi dianjurkan oleh Dede dan Aco. Menjadi menarik, karena, dalam teori, subsidi - apalagi yang tidak spesifik - bukanlah jalan keluar atau bahkan bagian dari persoalan di bawah alokasi pasar.

Di ujung analisa mereka, Dede dan Aco juga melangkah sedikit lebih jauh dengan menyisipkan hal keadilan.

Bagi mereka, subsidi BBM tidak adil karena relatif menguntungkan kaum berpunya, kelas menengah. Sementara, faedah subsidi makanan dicecap kaum miskin. Argumentasi seperti ini pula yang muncul setiap kali terjadi debat pro-kontra pencabutan subsidi BBM lalu-lalu.

Saya punya dua pertanyaan berikut. Keduanya berkaitan.

Pertama, tepatkah apabila instrumen subsidi dikaitkan dengan pemenuhan keadilan distributif, seperti terselip dibalik usul pengalihan subsidi dari kaum berpunya (via subsidi BBM) kepada kaum papa (via subsidi makanan)?

Kedua, mengapa instrumen seperti, katakanlah, earned income tax credit (EITC) di AS, atau instrumen fiskal seperti pajak yang mengikuti fungsi progresif dari pendapatan, tidak (atau jarang sekali) dikemukakan sebagai usul kebijakan, apabila kita sungguhan sedang mempersoalkan keadilan distributif?

dede mengatakan...

Arya: Bentuk dan mekanisme subsidinya bisa berbagai macam. Satu pilihan adalah model raskin. Pilihan lain adalah persis seperti yang anda bilang dengan cash transfer. Yang harus di eksplorasi adalah kemungkinan menggunakan conditional cash transfer.
Mengenai penyelundupan, pasti terjadi. Itu sebabnya saya menyebut subsidi bukan sebagai first best solution. First best solutionnya adalah peningkatan produktifitas. Tapi ini memakan waktu lama. Maka kita harus masuk pada second best, dimana harga yang harus dibayar adalah efektifitas yang lebih rendah dan juga penyelundupan. Yang bisa dilakukan adalah meminimalisir besarnya penyelundupan dengan cara tak membuat harga kedele jauh dibawah harga internasionalnya, tapi masih bisa dijangkau.

Sonny: anda bisa mengaitkan issue subsidi ini dengan issue keadilan. Teknisnya, anda bisa hitung gini coeficient untuk setiap susbidi komoditi atau pendidikan dengan menggunakan data susenas. Dari sana anda bisa lihat, bagaimana BBM bias kota dan menengah atas, begitu juga dengan subsidi pendidikan untuk perguruan tinggi
Soal earned income tax dan pajak progresif, tentu saja bisa dilakukan. Pertanyaanya apakah ini menyelesaikan soal jangka pendek?
Hal yang sering dilupakan ekonom seperti kita dalam memberikan rekomendasi adalah soal waktu. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk merubah sistem pajak, mengumpulkan pajak dan transfernya? Proses parlemennya dsb. Pengubahan subsidi lebih cepat dalam proses parlemen. Kalau kita mau ubah pajak, kita harus ubah undang-undang nya. Sekarang saja undang-undang pajak sudah memakan waktu hampir 2 tahun dan belum selesai di parlemen. Karena itu solusi ini hanya mungkin dalam jangka panjang.Masalahnya masyarakat tidak bisa disuruh menunggu untuk tak makan selama 2 tahun. Keynes bilang in the long run we are all dead. Dalam jangka panjang, alternatifnya banyak (dan ekonom cenderung memberikan rekomendasi jangka panjang, dimana institusi bisa diubah, good governance terjadi, kebocoran dikurangi, produktifitas bisa dinaikkan dsb), sayangnya persoalan kebijakan kerapkali masalah jangka pendek, ketika sebuah ekuilibrium berubah dan belum mencapai ekuilibrium baru dan institusi given.

Letjes mengatakan...

pak dede, anda menulis spt ini "Kita terlena karena toh, tanpa meningkatkan produkifitas, kita tetap aman karena impor kita hambat."

maaf klo sy agk miss (br bc dikit ttg soal kedelai). bukannya akhirnya 60% kebutuhan nasional berasal dari impor. jd klo dibilang impor kita hambat, kok sy sedikit tidak setuju.

lalu sy bc jg,bila ditarik ke belakang, selama ini harga kedelai impor (yg diambil dr AS) lebih rendah ketimbang kedelai domestik, meski telah ada pajak impor. knp bisa lebih rendah, krn ktnya adanya subsidi yg diberikan pemerintah AS ke petani kedelai. artinya harga sebenarnya pasti lebih tinggi.

melihat itu, bisakah sy berpendapat, sekeras mungkin petani kita berusaha untuk meningkatkan produktivitas( apalagi ditambah faktor ketertinggalan tekhnologi,dll), harga kedelai domestik tidak akan semurah kedelai impor.tanpa adanya subsidi ke petani, hal itu menyebabkan insentif petani berkurang dan mereka beralih ke produksi pertanian lain atau pekerjaan lain, sehingga produksi turun.

ini ditunjukkan oleh data deptan sejak 2005 hingga 2007, produktivitas kedelai tidak banyak berubah: 1,33; 1,28; 1,31 (ton/ha). nah yang terus berkurang adalah luas lahan panen: dari 621,54; 580,53; menjadi 464,43 ribu ha. (bahkan sebelumnya di tahun 1992, luas panen kedelai lokal mencapai 1665,70 ribu ha)

poin yg sy utarakan, masalah produktivitas tidak sepenuhnya bisa disalahkan. ada penyebab lain knp produksi lokal terus turun.

Anonim mengatakan...

Bang Dede terima kasih untuk tanggapannya.

Instrumen pajak memang tidak bisa dieksekusi dalam jangkap pendek. Transaction cost-nya relatif lebih besar dibanding usul pengalihan subsidi. Dengan argumentasi serupa, yakni soal waktu, bukankah persoalan kedelai pun bukan baru kali ini terjadi?

Artinya, bukankah argumentasi waktu menjadi "kurang relevan" mengingat perubahan ekulibrium juga berlangsung repetitif?

Kalau dibaca "terbalik", dengan argumentasi persoalan kebijakan seringnya adalah soal rekomendasi dalam rentang waktu jangka pendek, kapan kira-kira transfer sosial dengan instrumen fiskal (untuk mencapai keadilan distributif) bisa dikenalkan di Indonesia? Atau, bukankah ini malah tidak mungkin dikenalkan, terlepas usul semacam ini baik atau tidak?


Satu lagi off-topic.

Bang, dimana saya bisa mendapatkan riset LPEM UI yang menggunakan model INDOCEEM? Saya tertarik untuk melihat detail mekanika model CGE-nya. (Termasuk kalibrasi dan fungsi permintaan di dalam model tersebut).

Terima kasih sebelumnya.

Arya Gaduh mengatakan...

Dede:
Apakah yang Dede maksud dengan conditional cash transfer dalam arti bahwa cash transfer itu harus dibelikan makanan [alias food stamp]? Jika tujuannya memang untuk menopang kesejahteraan orang miskin dalam jangka pendek, saya kira unconditional cash transfer lebih efisien (lihat link artikel di dua paragraf di bawah).

Tentang kebocoran, tadinya saya pikir Dede mengusulkan blanket subsidy bukannya subsidi orang miskin saja, sehingga 'bocor'-nya sama seperti subsidi BBM itu 'bocor' ke orang miskin.

Jika subsidi orang miskin saja, dari segi praktis maupun teori, saya tidak terlalu melihat keuntungan pendekatan subsidi makanan (apalagi jika spesifik komoditas) dibandingkan transfer tunai (bisa lihat di artikel ini untuk analisisnya).

Terakhir, tentang impor dan pertanian, saya agak setuju dengan Letjes: Hipotesis saya, pertanian di dunia modern ini industri di mana economies of scale bisa punya peran penting, terutama karena urusan besarnya fluktuasi risiko dari cuaca dan pentingnya teknologi. Liberalisasi perdagangan komoditas pertanian kemungkinan hanya akan mempercepat kematian banyak komoditas di sektor ini.

(Tentu saja sebagai ekonom, ini belum tentu buruk. Mungkin pertanian memang bukan comparative advantage kita.)

Ex-post, produktivitas tentu meningkat (karena hanya sektor-sektor yang super-produktif saja yang bertahan). Tapi, jangan-jangan sektor-sektor yang bertahan bukan yang oleh para politisi dianggap penting bagi agenda "ketahanan pangan" -- sehingga, tetap saja kita akan berhadapan dengan problem (politik) macam harga kedelai ini.

Anonim mengatakan...

kalau bicara subsidi sekarang, perlu juga bicara retribusi nanti jika harga sudah membaik dan berada di bawah harga pasar internasional.

Anonim mengatakan...

(maaf kalau salah)

Pak, bukannya kalau subsidi bbm dicabut dampaknya akan lebih berbahaya dibanding dengan kenaikan harga pangan sekarang ini?

Setahu saya kenaikan harga bbm akan memberi dampak inflasi yang sangat luas bagi komoditas lainnya; sedangkan komoditas pangan relatif tidak demikian.

Untuk saya pribadi penanganan jangka pendek untuk kenaikan harga kedelai memang adalah impor. Akan tetapi, untuk jangka panjang sebaiknya kita harus membuat harga kedelai domestik menjadi lebih menarik bagi petani. Lalu, untuk mengurangi ongkos petani, sebaiknya pemerintah harus memulai untuk memperbolehkan penggunaan kedelai transgenik. Juga, tampaknya masyarakat kita harus dibudayakan kembali untuk mendiversifikasi makananannya. Sekarang ini kita kelimpungan kalau beras langka karena seluruh Indonesia sudah terbiasa makan beras. Padahal, dulu masyarakat kita punya keragaman makanan pokok sendiri2. Oleh karena itu perlu sosialisasi budaya lagi.

Thx.

icha mengatakan...

2nd EBS SUMMIT SEMINAR
February 28th, 2008
Auditorium Soemitro, FEUI
8.00 am - 4.00 pm

ASEAN INTEGRATION:
Euphoria or Utopia?


Opening Remarks
Prof. DR. der. Soz, Gumilar R. Somantri, President of University of Indonesia

Keynote Speaker
Dr. N. Hassan Wirajuda, Minister of Foreign Affairs


Session I: Achieving Economic Integration
[i] Are We Ready for Economic Integration?
(S. Puspanathan Ph.D, ASEAN Secretariat)

[ii] ASEAN Charter Comprehension.
(Dian Triansjah Djani, Director General of ASEAN Cooperation, Ministry of Foreign Affairs)

[iii] European Union Experiences
(Juan Casla, Program Manager of Economic Cooperation, European Commission to Indonesia)



Session II: The Next Attainable Steps
[i] Adjustment of Economic Policies
(Anggito Abimanyu, Ph.D, Head of Fiscal Analysis, Ministry of Finance)

[ii] From AFTA to ASEAN Economic Community
(Marie Elka Pangestu, Minister of Trade/ Sjamsu Rahardja, Economist of World Bank)*

[iii] The Role of the Youth: Towards the new labor-mobility system
(Prof. May Ling Oey-Gardiner, Ph.D, Senior Consultant in Insan Hitawasana Sejahtera)




LUNCH, SNACK, COFFEE BREAK, CERTIFICATE, DOOR PRIZES!

Students IDR 20, 000
Public IDR 50, 000

FOR REGISTRATION:
SHIRIN +6221 925 911 55
RISTA +6221 935 541 24

COME TO OUR CORNER @ LOBBY A FEUI OR CONTACT US!

Anonim mengatakan...

Dari judul di atas saja saya kurang sepakat. Solusi kongkrit dari saya!
1. Anda semua jangan masuk pemerintahanan. Kalo tidak kepingin rakyat menjadi korban anda,
2. Semangati orang2 sekitar anda untuk lebih produktif. Termasuk anda sendiri.
3. Batasi keinginan2 anda pribadi. Belajarlah dari Lao Tzu.
4. Dan yang terakhir, lupakan saja subsidi....jangan khawatir, rakyat itu sudah cerdas...kalau ada dari mereka yang belum beruntung, bisa jadi mereka memang belum bisa belajar....
Sekali lagi, manusia itu unik. Kata orang jawa: "kalo dipangku dia mati, kalau diinjak dia malah hidup": itulah manusia!

Selamat Berkarya!
Salam Giy

sewa pick up mengatakan...

semoga tidak ada kesulitan...