Menurut Sukardi Rinakit (Kompas, 4/12/07) kaum muda Indonesia, --entah kaum muda yang mana--, sedang dihantui mimpi buruk; didatangi arwah Soekarno, Hatta, dan Sjahrir yang meminta warisannya, Republik ini, dijaga. Salah satu caranya adalah dengan mengamalkan kembali ajaran lama, yang kemudian diterjemahkan dalam sebuah istilah Ekonomi Pasar Sosial (Epasos) ala Indonesia. Saya tidak tahu apa jadinya kalau yang datang arwah Tan Malaka.
Susahnya model Epasos ala Indonesia ini tidak lazim, Model ini tidak sama dengan interpretasi Sonny Mumbunan (Kompas, 21/11/07) yang dengan jernih menguraikan asal muasal istilah Epasos, yang lahir di Jerman selepas Perang Dunia kedua. Menurut Sonny, secara singkat, Epasos ala Jerman adalah kapitalisme dengan wajah yang diusahakan humanis.
Sementara itu, definisi Epasos ala Indonesia menurut Sukardi, --supaya tidak salah interpretasi, saya kutip utuh-- adalah sebagai berikut:
“...Secara filosofis, apa yang saya bayangkan dari epasos model Indonesia adalah menempatkan keluarga sebagai unsur dominan dalam paradigma pembangunan berdampingan dengan negara. Negara-negara kesejahteraan Eropa selama ini menempatkan keluarga dalam kotak marjinal bersama dengan pasar. Adapun negara mempunyai peran dominan. Sebaliknya, negara-negara penganut neoliberal, seperti Amerika Serikat, menempatkan pasar dalam kotak dominan. Sementara itu, peran negara dan keluarga adalah marjinal...”
Dari satu paragraf ini kita akan membahas beberapa kerancuan berpikir yang terjadi dalam membayangkan sebuah konsep sistem perekonomian.
Model Epasos ala Indonesia memasukkan agen baru, yaitu keluarga. Saya kira keluarga dalam hal ini bukanlah terjemahan dari household (rumah tangga) yang lazim didapati dalam model circular flow interaksi perekonomian antara perusahaan, rumah tangga, dan negara, yang selalu diajarkan dalam kuliah pertama Pengantar Ekonomi. Keluarga dalam hal ini lebih mirip entitas sosiologis, sebuah sistem kekerabatan.
Persoalan akan muncul dalam upaya memasukkan sistem kekerabatan sebagai kategori sosiologis dalam sebuah sistem perekonomian, Tapi sebelumnya ada baiknya, kita perlebar perspektif kita tentang kategorisasi berbagai sistem perekonomian dalam kajian ekonomi politik, yang sebagian telah disinggung dalam kutipan di atas.
Kita mulai dari sistem pasar bebas. Dalam sistem ini, sumberdaya dimiliki oleh individu atau swasta. Alokasi sumberdaya tersebut, dalam mengatasi persoalan kelangkaan, dilakukan melalui mekanisme pasar, atau perdagangan. Harga, dalam mekanisme tersebut, berfungsi sebagai sumber informasi bagi para pelaku pasar (individu) dalam melakukan kegiatan ekonomi (produksi, konsumsi, perdagangan) dan menentukan arah pergerakan sumberdaya (alokasi) menuju efisiensi.
Bergerak ke kiri, di sisi lain, dalam sosialisme dan ekonomi terpimpin (planned economy), sumberdaya hampir semuanya dimiliki oleh negara. Alokasi sumberdaya juga dilakukan oleh negara melalui aparatus perencanaan, produksi, dan distribusi. Informasi pasar dikumpulkan dalam sebuah biro perencanaan yang serba tahu.
Tentu pada prakteknya, negara-negara di dunia berada di antara dua kutub tersebut. Seberapa besar peran pemerintah vis-a-vis swasta adalah soal derajat. Welfare states, atau negara kesejahteraan, adalah salah satu variannya. Di sini, hak milik pribadi sangat dominan dan ditegakkan, tetapi negara mengatur alokasi sumberdaya di bidang-bidang kesejahteraan sosial, terutama kesehatan, pendidikan, dan juga kesempatan kerja. Cara pembiayaan untuk subsidi dan tunjangan bidang kesejahteraan sosial tersebut adalah melalui perpajakan yang relatif tinggi.
Dalam model sosialisme, pasar bebas, dan welfare states, memang tidak pernah ada elemen sistem kekerabatan, atau keluarga. Jadi bagaimana mungkin yang tidak ada kemudian ditaruh dalam kotak marjinal, sebagiamana dilansir dalam kutipan di atas?
Menolak sistem pasar bebas sekaligus welfare states, sembari memasukkan elemen baru bernama keluarga, kemudian membawa dua pokok dalam sistem perekonomian: Apakah sumberdaya dimiliki oleh sistem kekerabatan? Bagaimana alokasi sumberdaya dilakukan dalam sistem kekeluargaan tersebut?
Sejarah kepemilikan sumber daya bergerak dari sistem komunalisme menuju ke sistem kepemilikan pribadi. Apakah kemudian kembali ke sistem kekeluargaan berarti semacam nasionalisasi, tapi kali ini dilakukan atas nama sistem kekerabatan?
Yang lebih krusial adalah soal bagaimana kemudian sumberdaya dialokasikan secara efisien dalam sistem kekeluargaan. Bagaimana informasi soal kelangkaan di satu tempat disampaikan ke tempat yang mengalami kelebihan? Bagaimana caranya anggota-anggota sistem kekerabatan menentukan berapa yang hendak diproduksi, dikonsumsi, dan dipertukarkan?
Soal-soal ini pernah dicoba dijawab dengan gagah berani melalui sistem ekonomi perencanaan, atau sosialisme. Tapi saya kira aman kalau kita bilang ekonomi sosialisme adalah proyek yang hanya berhasil menghasilkan diktator. Reproduksi model tersebut, dengan mengganti kata negara menjadi keluarga, saya kira adalah resep menuju kegagalan yang kemungkinan besar lebih dalam. Secara konseptual bahkan Epasos ala Indonesia tersebut lebih lemah ketimbang ekonomi terpimpin yang gagal tersebut.
*** Akhmad Rizal Shidiq
Fairfax, Virginia, 6 Desember 2007.
Catatan: Artikel ini telah dikirimkan ke redaksi opini Kompas sejak Desember 2007, tanpa memperoleh tanggapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar