02 Januari 2008

Faktor non-ekonomi (menanggapi MCB dan ARS) - Ari A. Perdana

Dede (MCB) dan Rizal (ARS) membahas sebuah isu yang cukup klasik: bagaimana harusnya 'faktor non-ekonomi' diperlakukan dalam analisis ekonomi? Ada dua pesan penting dari mereka. Pertama, jangan terburu-buru mengakhiri sebuah analisis dengan membuang hal-hal yang belum bisa dibahas ke dalam keranjang 'faktor non-ekonomi.' Kedua, kembalilah ke analisis tentang pilihan, juga demand dan supply. Maka apa yang disebut sebagai 'faktor non-ekonomi' itu tetap masih bisa dijelaskan dalam kerangka analisis ekonomi.

Di posting ini, saya akan memberikan catatan tambahan bagi kedua posting terdahulu. Ada sejumlah studi yang saya kira relevan untuk disebutkan sebagai contoh bagaimana 'faktor non-ekonomi' menjadi fokus pembahasan dalam sebuah studi ekonomi. Studi-studi itu juga menunjukkan, 'faktor non-ekonomi' bukan hanya sebatas membantu menjelaskan menjelaskan preferensi atau pilihan produksi, seperti dikatakan ARS. Ada dua kerangka berpikir lain yang akan saya tuliskan di sini.

Faktor non-ekonomi sebagai penjelasan atas preferensi individu/masyarakat

ARS menulis bagaimana Becker mendapat Nobel sekaligus dibenci oleh akademisi dari disiplin lain atas karya-karyanya yang memasukkan aspek politik, sosiologi, krimonologi atau antropologi dalam analisis ekonomi. Sebenarnya, Becker cukup rendah hati dengan mengatakan "ilmu sosial lain punya banyak pertanyaan menarik, ekonomi punya metodologi yang solid untuk menganalisisnya."

Kebanyakan artikel Becker berupa model atau penjelasan teoretis. Tapi banyak juga studi-studi ekonomi empiris yang memasukkan 'faktor-faktor non-ekonomi' untuk menjelaskan berbagai fenomena ekonomi. Contohnya adalah sejumlah studi mengenai household decision making. Duncan Thomas menulis sejumlah paper mengenai hal ini, termasuk beberapa tentang Indonesia. Fumio Hayashi (1995) pernah melihat apakah pola kekeluargaan di Jepang dan banyak negara Asia, dimana orang tua lanjut usia tinggal bersama anak mereka yang sudah dewasa, ada kaitannya dengan pola konsumsi. Contoh lain adalah studi Andrew Foster dan Mark Rozensweig (1996) yang menunjukkan bahwa pola perkawinan patrilocal exogamy di beberapa daerah di India ada kaitannya dengan manajamen risiko.

Analisis soal preferensi dan ketimpangan gender juga sebuah topik yang menjadi persimpangan antara ekonomi dan sosiologi atau antropologi. Pertanyaan utamanya adalah mengapa di banyak negara berkembang perempuan berada dalam posisi marginal dibandingkan laki-laki. Apakah ini adalah sesuatu yang alami, atau karena adanya perbedaan perlakuan terhadap perempuan? Dan kalau memang ada perbedaan perlakuan terhadap perempuan, apakah itu bisa dirunut hingga ke aspek preferensi: bahwa masyarakat memang lebih suka punya anak laki-laki dibanding perempuan? Beberapa memperkuat dugaan bahwa memang sejumlah masyarakat punya preferensi tertentu terhadap anak laki-laki. Ini berdampak pada perbedaan alokasi sumber daya rumah tangga terhadap anak laki-laki dan perempuan, dan ujungnya adalah perbedaan endowment yang dimiliki kedua gender (Monica DasGupta 1997, Lena Edlund 1999, serta sebuah paper Robert Jensen yang masih dalam proses tentang kaitan antara preferensi gender, perilaku fertilitas dan alokasi sumber daya rumah tangga di India).

Tahun 1990, Amartya Sen pernah menulis sebuah paper tentang 'perempuan-perempuan yang hilang' (the missing women). Pertanyaan penting dalam paper itu adalah mengapa di banyak negara berkembang tingkat mortalitas lebih tinggi di kalangan perempuan. Menurut Sen, hal ini lebih banyak disebabkan oleh faktor sosial alias preferensi terhadap perempuan ketimbang faktor alamiah. Paper Sen ini disusul oleh sejumlah studi lain yang terkait. Salah satunya, Emily Oster menunjukkan bahwa hampir separuh dari perempuan yang hilang versi Sen bisa dijelaskan secara medis: Hepatitis B. Sekedar catatan, paper Oster juga sempat mengalami kritik dan penolakan oleh kalangan ahli kesehatan dan kedokteran yang tidak menganggap serius pendekatan ekonometrik dalam menganalisis penyakit menular (informasi dari rekan Firman Witoelar).

Faktor non-ekonomi sebagai kendala yang mengikat

Ekonom biasanya berpikir dalam kerangka 'maksimisasi sesuatu dengan kendala tertentu.' Jika kita menganggap bahwa proses pembangunan adalah upaya memaksimalkan sebuah variabel hasil (pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja dll). Dalam mencapai tujuan itu, seringkali kita terbentur pada kendala. Faktor non-ekonomi bisa -- seringkali -- menjadi kendala yang mengikat (binding constrain) atas proses pembangunan, baik secara umum atau pada intervensi-intervensi spesifik.

Satu contoh anekdotal yang cukup klasik adalah penolakan kelompok agama terhadap program Keluarga Berencana (terlepas dari apakah kita menganggap program Keluarga Berencana adalah sesuatu yang perlu), upaya pencegahan HIV/AIDS dan penyakit hubungan seksual lainnya, atau diadopsinya sebuah teknologi baru. Sejumlah inisiatif kredit mikro tidak berjalan efektif karena tidak mempertimbangkan karakteristik sosial budaya masyarakat penerima (menganggap jika sebuah inisiatif berhasil di satu tempat akan berhasil juga di tempat lain). Bantuan bagi masyarakat terbelakang sering tidak mencapai sasaran karena menempatkan kepala keluarga (laki-laki) sebagai penerima, sementara perempuan lebih peka terhadap kebutuhan-kebutuhan spesifik terkait kesejahteraan anggota keluarga.

MCB secara spesifik menulis tentang korupsi dan latar belakang budaya. MCB benar -- soal budaya memang tidak bisa menjelaskan mengapa ada korupsi, atau mengapa korupsi di satu tempat lebih tinggi dari yang lain. Tapi ia tidak sedang berbicara dalam konteks budaya sebagai kendala yang mengikat dalam pemberantasan korupsi. Mungkin memang benar, pemberantasan korupsi di Korea dan Jepang bisa lebih efektif karena latar belakang budaya di sana membuat pelaku korupsi lebih memilih untuk dihukum dibandingkan 'malu.' Dan itu yang mungkin tidak ada dalam konteks Indonesia.

Satu catatan, meski benar budaya adalah kendala mengikat, pada akhirnya solusi yang ditawarkan oleh ekonomi (lewat mekanisme insentif, hukuman, hadiah atau semacamnya) tetap menjadi sebuah pilihan terbaik. Namun pemahaman lebih baik mengenai apa yang menjadi kendala spesifik untuk satu negara dan satu kasus membantu kita menemukan solusi yang paling efektif dari sejumlah alternatif yang ada.

Faktor non-ekonomi sebagai variabel eksogen bagi perbedaan kinerja ekonomi

Bergeser dari analisis mikro (individu) ke makro (antarnegara). Pertanyaan yang sering terlontar adalah: mengapa ada negara kaya dan negara miskin? Menurut teori pertumbuhan standar seperti Solow dan berbagai variasinya, kemungkinan penyebabnya adalah perbedaan dalam akumulasi modal fisik, tingkat pendidikan, pertumbuhan penduduk, keterbukaan ekonomi, dan dalam jangka panjang teknologi. Kelemahan terbesar dari teori pertumbuhan standar adalah variabel-variabel yang dianggap mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah endogen. Apakah sebuah negara menjadi kaya karena perdagangan, investasi dan pendidikan, atau sebaliknya? Bahkan teknologi pun tidak sepenuhnya eksogen.

Belakangan, banyak ekonom mencari jawaban lewat pendekatan sejarah. Adakah hal-hal di luar variabel ekonomi yang menjelaskan perbedaan kinerja ekonomi tiap negara ratusan, bahkan ribuan, tahun lalu? Saya pernah menulis sebuah posting mengenai hal ini di blog Ruang 413. Saya akan mengulangi sedikit di sini.

Menurut Jared Diamond dalam Guns, Germs and Steel, jawabannya adalah geografi (catatan: saya pernah menyinggung bagaimana Diamond secara eksplisit menunjukkan bahwa nenek moyang kita juga seorang ekonom). Jeffrey Sachs juga menunjuk geografi untuk menjelaskan mengapa Afrika begitu terbelakang, meski saya tidak terlalu sepakat pada solusinya yang ia tulis dalam bukunya. Tapi Menurut David Landes dalam The Wealth and Poverty of Nations, penjelasannya adalah budaya. Spesifiknya, menurut Landes, adalah budaya yang mendukung sekularisasi dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Itu yang menjelaskan mengapa sejarah ekonomi modern ditulis oleh Eropa, bukannya Cina atau dunia Islam. Terkait soal budaya, Glaeser dan kawan-kawan mengatakan bahwa tingkat fraksionalisasi bahasa, budaya dan agama suatu negara menjelaskan mengapa ada negara yang berhasil maju sementara yang lain mengalami hambatan.

Menurut pandangan lain, perbedaan kinerja ekonomi tidak bisa lepas dari perbedaan kualitas institusi antarnegara. Kalau kita ingat, Milton Friedman selalu mengangkat pentingnya property rights dalam mekanisme pasar. Institusi suatu negara menentukan bagaimana property rights didefinisikan, dibuktikan, dilindungi dan ditegakkan. Argumen institusi dikemukanan oleh, antara lain, Douglass North dalam bukunya tahun 1990. Pertanyaan selanjutnya, apa yang menjelaskan kualitas institusi sebuah negara? Interaksi antara kondisi geografi dan strategi kolonialisme menyebabkan perbedaan dalam kualitas institusi tiap negara, demikian tulis Acemoglu, Johnson dan Robinson dalam paper mereka tahun 2001. Sebelumnya La Porta, Lopez, Schleifer dan Vishny (1998) juga menunjukkan bahwa perbedaan sistem hukum yang dianut sebuah negara akan berpengaruh pada perlindungan hak kepemilikan.

Moga-moga ini bisa menunjukkan betapa dinamisnya ilmu ekonomi dan bagaimana ekonom punya ketertarikan dan antusiasme dalam melihat variabel-variabel non-ekonomi.

** Ari A. Perdana adalah dosen FEUI, peneliti CSIS, dan anggota Cafe Salemba.

Tidak ada komentar: