01 Januari 2008

Faktor non-ekonomi (menanggapi MCB) - Akhmad Rizal Shidiq

Catatan pendek ini tanggapan dari tulisan menarik MCB dengan judul Faktor Non Ekonomi. MCB menolak ketergesa-gesaan untuk menggunakan istilah faktor non-ekonomi, --misalnya faktor budaya--, dalam analisa, -- misalnya korupsi--, yang sebenarnya masih bisa menggunakan alat ukur standar biaya-manfaat.

Saya jadi ingat tulisan lama dari Gary Becker dari Chicago tahun 1974, The Economic Approach to Human Behavior , yang kemudian bersama dengan The Methodology of Positive Economics dari Milton Friedman menjadi semacam manifesto atau proklamasi dari apa yang sering disebut, dengan sinis, imperialisme ilmu ekonomi terhadap ilmu-ilmu sosial lainnya.

Becker menulis bahwa yang disebut pendekatan ala ilmu ekonomi itu terdiri dari tiga hal: Pertama, asumsi perilaku maksimisasi dari agen ekonomi. Kedua, adanya pasar yang dengan berbagai derajat efisiensi mengatur tindakan (action) dari agen ekonomi. Dan ketiga, adanya preferensi yang stabil terhadap berbagai bentuk-bentuk pilihan (objects of choice). Tiga hal inilah yang kemudian membedakan ekonomi dari ilmu sosial lainnya.

Soalnya kemudian begini: Jika misalnya terjadi situasi di mana ada peluang atau kesempatan yang tidak dieksploitasi agen-agen ekonomi (yang katanya maximizer) --misalnya ada duit seratus ribu tergeletak di pinggir jalan--; ilmu ekonomi tidak akan buru-buru menyatakannya sebagai faktor perbedaan budaya, atau pergeseran nilai (shift of value). Alih-alih ilmu ekonomi membuat semacam postulat: terdapat biaya-biaya yang menghalangi agen mengambil kesempatan tersebut, yang tidak dengan mudah dapat diamati pihak di luar transaksi.

Apakah postulat ini lazim dalam metodologi ilmiah? Ya. Fisika, biologi, kimia, lazim menggunakan postulat semacam ini untuk menggenapi sebuah sistem yang diamati. Soalnya adalah apakah hal ini bermanfaat dan bukan hanya sekedar menjadi semacam tautologi kosong? Ya, kata Becker. Sebab asumsi preferensi (values) yang stabil antar manusia dan antar waktu, memberikan landasan yang bermanfaat untuk memprediksi respon dari berbagai perubahan variabel, lanjutnya.

Bersama Stigler, Becker kemudian menulis De Gustibus Non est Disputandum tahun 1977, yang mendukung klaim soal preferensi (taste, value) yang stabil tersebut, sekaligus memperkenalkan variabel untuk menjembatani analisa maksimisasi, yang mereka sebut sebagai consumption capital. Dari sini muncul analisa-analisa ekonomi untuk hal-hal yang dulunya berada di luar domain ekonomi standar misalnya soal diskriminasi, fertilitas, keluarga, pernikahan, dan sebagainya, yang membawa Becker ke Swedia untuk hadiah Nobel, dan melahirkan generasi baru semacam Freakonomics Steve Levitt.

Juga ketidaknyamanan dari teman-teman dari ilmu-ilmu sosial non ekonomi.

Pertanyaan yang sering muncul dari teman-teman tersebut adalah di mana letaknya struktur (sosial) dalam pendekatan ekonomi. Becker menjawab singkat dalam satu kalimat: sistem pasar dan instrumen-instrumennya menjalankan fungsi-fungsi yang dilakukan oleh “struktur” dalam teori-teori sosiologi. Dengan pernyataan semacam ini, saya tidak heran reaksi seperti apa yang akan muncul di sana.

Lalu di mana kontribusi ilmu-ilmu yang lain, baik sosial maupun eksakta? Kata Becker lagi, itu letaknya pada pengaruhnya terhadap pemahaman terhadap choices dan production possibilities yang tersedia bagi agen ekonomi.

Katakanlah antropologi misalnya. Ilmu tersebut membantu ekonomi mengidentifikasi dengan lebih baik pilihan-pilihan (dan biaya-biayanya) --misalnya untuk korupsi--, yang kemudian dianalisa dengan prinsip maksimisasi biaya manfaat standar (jargon teknisnya: maksimisasi pada saat marginal benefit dari korupsi sama dengan marginal cost nya (misalnya tertangkap polisi, atau hukuman sosial).

Posisi semacam ini, bisa dimengerti, menyebalkan betul buat antropologi.

Tetapi saya kira ekonom juga tidak teramat menyebalkan. Tentu wajar bagi tiap profesi

untuk percaya bahwa profesinya tersebut bisa menyelesaikan suatu soal, dengan cara yang, pada derajat tertentu, lebih baik ketimbang profesi yang lain. Kalau tidak ada keyakinan semacam itu, buat apa kita memilih profesi kita saat ini, bukan?

Selepas Friedman, Becker, dan Chicago School, yang amat kuat pengaruhnya tidak hanya dalam akademis tetapi juga kebijakan, apakah kemudian agenda ilmiah mencari metodologi ekonomi yang pas berhenti di sini?

Tidak. Metodologi ilmu ekonomi terus berkembang. Setidaknya sampai sekarang, buat saya, tercatat beberapa perkembangan menarik. Yang pertama adalah soal bagaimana logika metodologi berbasis mikroekonomi seperti yang di atas berlaku untuk agregat? Thomas Schelling saya kira pionir di sini, sekaligus menandai masuknya analisa game theory dalam merekatkan perilaku antar individu menjadi perilaku agregat. Proyek ini berhasil masuk menjadi bagian integral metodologi ilmu ekonomi --dan membuat pusing para mahasiswa pascasarjana nya.

Kedua, soal pembentukan preferensi. Daniel Kahneman, dengan latar belakang psikologi adalah dedengkot garis depan untuk hal ini. Dan ketiga, dalam soal perilaku maksimisasi, experimental economics, dengan ernon Smith sebagai figur utamanya, saya kira menjanjikan kontribusi besar dalam metodologi ilmu ekonomi.

Menarik untuk ditunggu, apakah dua hal terakhir nantinya secara integral masuk ke dalam buku standar pengajaran ilmu ekonomi. Walaupun begitu, buat saya, sama seperti MCB, dengan metodologi yang ada sekarang pun, ilmu ekonomi berguna untuk memberikan jawaban pada banyak hal, tanpa perlu tergesa-gesa mengkambinghitamkan soal-soal semacam perbedaan budaya dan nilai.

Jadi kita tunggu saja.

** Akhmad Rizal Shidiq adalah dosen FEUI, peneliti LPEM, dan anggota Cafe Salemba. Rizal menulis dari George Mason University.


14 komentar:

dede mengatakan...

Rizal, ini posting yang bagus sekali. Dendi, Roby saya kira Rizal sudah memberikan jawaban yang cukup jelas mengenai issue-issue ini. Silhakan dilanjutkan diskusinya.

Zal,izinkah saya menggunakan "kesesatan logika" bahwa karena anda sekolah di George Mason maka cara berpikirnya "pasti" cara berpikir George Mason. Walau logika ini salah, tapi saya mau coba "memaksakan kesimpulan" bahwa cara pandang posting dan argumen posting ini memang menunjukkan warna George Mason, yang menurut saya selain University of Chicago sekarang mungkin merupakan tempat utama pemikiran-pemikiran ekonomi pasar.

Roby mengatakan...

Tentu tidak masalah setiap profesi merasa profesinya lebih baik dari yang lain. Juga saya sama sekali tidak menafikan manfaat dari analisis ekonomi (saya sangat hormat pada disiplin ilmu ekonomi karena pendiri disiplin bidang ilmu saya sekarang termasuk dua ekonom besar: Herbert Simon dan Thomas Schelling).

Ada dua yang saya ingin sampaikan.

Pertama, analisis budaya, nilai dan makna tidaklah "sebodoh" seperti ditulis di blog ini dimana analisa2 tersebut dikatakan sebagai "fantasi" dan identik dengan "mengkambing hitamkan".

Kedua, disini saya bukan sekedar memberikan pembelaan. Tapi saya melihat ada manfaat dari analisa diluar analisa tradisional ekonomi. Dan saya berkata demikian setelah bertemu dengan ekonom Alan Kirman yang mengeksplorasi situasi dimana preferensi individu tidak stabil.

Mengikuti tiga postulat yang disebut Rizal di atas tentu hal yang wajar, sah, dan berguna. Tapi menurut saya lebih menarik jika kita eksplorasi wilayah baru di luar postulat tsb dengan alasan semangat intelektualisme dan kecintaan terhadap sains untuk terus mendorong pengetahuan kita.

Tentu juga ini bukan hal baru, ekonom seperti misalnya Brian Arthur, Thomas Schelling, Matthew Jackson, Alan Kirman, Peyton Young sudah memulai eksplorasi ke arah ini.

Saya tidak bermaksud memulai "turf war"(karena saya tidak punya "turf"; meskipun saya ada di departemen sosiolog, mayoritas sosiolog menganggap pekerjaan saya bukan sosiologi).

Tapi saya kira cukup menyedihkan ketika ekonom sedikit membaca sosiologi, sejarah atau antropologi; ketika sosiolog menganggap asumsi rasionalitas dan konsep insentif adalah omong kosong; ketika antropolog menganggap "thin description" sbg lelucon; ketika sejarawan menganggap pendekan ilmiah kuantitatif terhadap sejarah adalah fiksi.

Praktisnya, ketika kita membahas sesuatu di luar bidang keilmuan kita (misal ekonom membahas faktor non-ekonomi, sosiolog membahas mekanisme market); sebaiknya dilakukan bukan dengan membuat karikatur tentang faktor eksternal tersebut dilihat dari posisi kita. Tapi dengan pemahaman matang tentang apa yang telah dikerjakan orang lain.

Dengan demikian debatnya bisa menuju akumulasi pengetahuan dan mengurangi "reinventing the wheel".

Kritik saya terhadap posting MCB dan ARS adalah karena, menurut saya, anda berdua menggunakan karikatur sebagai lawan anda.

Anonim mengatakan...

Gordon GEKKO:

You damn right Pak Roby. Buat MCB, greed is good, bisa jelaskan benefit dari greed over its costs? Rasanya-rasanya lebih banyak mudharatnya akibat keserakahan. Apakah selalu orang menemukan teknologi karena keserakahan? Pemikiran anda terlalu karikaturis dan penuh fantasi.

dede mengatakan...

Robby dan anonim, saya agak kuatir bahwa anda berdua salah mengerti dengan posting yang saya buat. Posting ini sebenarnya lebih merupakan kritik saya terhadap ekonom yang karena keterbatasan analisisnya kemudian mencari jawaban dengan mengkambing hitamkan faktor non-ekonomi. Karena ada kecenderungan ekonom untuk berlaku seperti ini. Bila ini terjadi, harapan Roby supaya akumulasi pengetahuan meningkat justru tidak terjadi, karena dari disiplin ilmu ekonomi, kita "mudah menyerah" dan menyerahkan jawabannya kepada hal diluar yang kita "tahu". Saya sangat menghargai disiplin diluar ekonomi. Kebetulan Disertasi saya adalah tentang Political Economy of Trade Protection. Bagaimana mungkin saya tidak "menghargai" faktor non-ekonomi, jika konsentrasi saya justru pada bidang in. Politik dan sosiologi adalah bidang yang saya harus pelajari dengan amat sungguh-sungguh ketika menyusun thesis. Kebetulan dalam kasus Indonesia saya punya teman diskusi dan berdebat yang sangat baik seperti Arief Budiman dan Ariel Heryanto dsb. Saya tidak ingin terjebak kedalam kesalah argumentum auctoritatis dengan menyebutkan bahwa kalau syaa bertanya kepada yang orang punya otoritas berarti argumen saya benar. Yang saya lakukan justru saya mencoba belajar dan mempertanyakan banyak hal kepada teman-teman diluar disiplin ekonomi. Karena itu tanggapan Roby dan anonim buat saya merupakan sesuatu yang bisa membantu saya membuat "model ekonomi politik" nya menjadi lebih baik. Inilah esensi diskusi, seperti yang disebut oleh Robby, untuk menghasilkan sesuatu yang lebih maju. Kawan-kawan non ekonom banyak sekali membantu saya memahami soal yang disebut non-ekonomi, dan dari sana saya kemudian mencoba dengan menggunakan disiplin saya untuk mencari penjelasan "model ekonomi nya". Pasti tidak sempurna, tapi dengan ini kita bisa mendorong ilmu ekonomi mencapai limitnya.

Anonim, maaf mungkin tulisan saya kurang jelas. Tetapi saya anjurkan anda baca posting saya dan belajar untuk membaca susbtansi dari satu argumen dengan baik, karena yang saya tulis justru kritik saya terhadap argumen "Greed is good". Terbalik total dari interpretasi anda. Saya bilang bahwa greed tidak bisa menjelaskan mengenai harga yang mahal dsb.

Rizal mengatakan...

MCB, saya kira dugaan tersebut tidak terlalu "sesat secara logika" :-), warna George Mason memang sangat ekonomi pasar, kalau tidak bisa dibilang libertarian. Tetapi, yang menarik, sepanjang pengamatan saya, di sini ada tiga pendekatan (centers) yang dipakai untuk mendukung warna tersebut: neoklasik ala Chicago school (terutama di public choice), Austrian economics (yang lebih kualitatif), dan experimental economics.

Roby, saya setuju tentang semangat sains yang eskploratif. Tetapi saya agak kurang mengerti soal kritik mengenai karikatur sebagai lawan. Seperti MCB, titik awal dari tulisan ini adalah dari sisi ekonom.

Tetapi baiklah, kalau saya coba pakai ide Roby soal ekonomi/ilmuwan sosial yang ideal, mana yang lebih karikaturis antara (1) membayangkan seorang ekonom yang pada saat yang sama antropolog dan sosiolog (super scientist), atau (2) seorang ekonom yang mencoba melihat soal non ekonomi sebaik-baiknya, dengan segala macam keterbatasan pendidikan, waktu dan sebagainya, dan kemudian memasukkan pengetahuan non ekonomi tersebut dalam alat analisanya, --disiplin yang selama ini dipelajarinya

Saya rasa hampir semua ekonom melalui rute yang kedua. Disertasi MCB dan Aco contohnya.

Ekonom yang baik membaca tidak hanya referensi ilmu-ilmu sosial yang lainnya, tetapi juga gosip artis dan hal-hal yang kelihatannya remeh. Tetapi ia tidak akan pernah menjadi sehebat antropolog dalam bidang antropologi, political scientist dalam ilmu politik, atau kritikus film.

Division of Labor dan pluralisme saya kira membuat dunia sains lebih menarik.

ki joko mengatakan...

Saya setuju sama Mas Roby nih banyak ekonom yg sedikit membaca sejarah, sosiologi, politik maupun antropologi, ya alasannya karena nggak ada job marketnya. Sedikit sekali job marketnya utk institutional, comparative ato austrian economics ato yg lainnya. Trend mktnya kyknya lebih ke economics & operation research.

Prof Boettke dari GMU punya diagram venn yg menarik dimana seharusnya ekonom berdiri, setidaknya dimana dia berdiri.

Roby mengatakan...

Rizal : tentu yang dimaksud bukan super scientist. Saya ambil contoh praktis. Tahun pertama kuliah di ITB, kita semua harus mengambil mata kuliah kalkulus, fisika, kima, dan biologi; ini berlaku untuk semua jurusan kecuali jurusan di seni rupa dan design. Saya yakin ini juga menjadi standar di universitas lain dimana yang belajar sains harus mengambil semua kuliah dasar tersebut.

Menurut saya, ilmu sosial akan lebih maju jika semua ilmuwan sosial menguasai dasar semua pendekatan yang ada di ilmu sosial.

Semua yang belajar sains tahu hukum genetika Mendel, mekanika Newton, persamaan diferensial, dan konsep ikatan antar molekul.

Saya pikir ada bagusnya kita berusaha jika semua yang mempelajari ilmu sosial, familiar dengan, misalnya, mikroekonomi, karya Simmel atau Geertz.

Tentu pada akhirnya semua memiliki spesialisasi.

Dede & Rizal: Poin saya adalah saya tidak setuju sikap anda berdua yang mengajak ekonom untuk tidak keluar dari analisis ekonomi tradisional (apalagi menyebut hal ini sbg kambing hitam dan fantasi). Karena ini akan menghambat kreatifitas dan bertentangan dengan semangat intelektualisme.

Seperti saya sebut sebelumnya, sbg contoh, ekonom Alan Kirman mempelajari apa yang terjadi jika preferensi individu tidak stabil; dan, menurut saya, menghasilkan sesuatu yang inovatif dan menarik.

Saya tidak meragukan kehebatan MCB, Aco dan ARS dalam melakukan analisis interdisiplin. Justru karena kalian orang hebat dan blog ini memiliki aura otoritas cukup kuat, saya khawatir ajakan untuk patuh pada analisis tradisional mengurangi semangat mahasiswa muda ekonomi brilian yang
berniat melakukan eksplorasi kreatif. Eskplorasi yang padahal sudah dilakukan beberapa ekonom juga.

Ada satu lagi ide kasar:

Memang sulit untuk mengerjakan sesuatu yang dianggap nyeleneh dari arus utama; karena sedikit insentif untuk itu: keharusan publikasi di jurnal top, mengejar tenure dll.

Tapi karena di Indonesia tidak ada sistem tenure (atau semua dosen sudah tenure). Mungkin justru ilmuwan sosial dan ekonom Indonesia yang memiliki kesempatan untuk melakukan eksplorasi yang beresiko tinggi. Mengerjakan proyek riset high risk, high reward.

Anonim mengatakan...

Robby,
Dari apa saya rasakan dan tangkap dari debat ini, kekhawatiran MCB dkk dipicu fenomena yang sering terjadi di Indonesia. Begitu mudahnya orang membuat analisis tentang ekonomi dan menjawab faktor non-ekonomi sebagai sebab. MCB memberi contoh tentang korupsi di Indonesia; Aco memberi contoh tentang kemiskinan di Indonesia.

Saya pikir kalo eksplorasi metodologi, eksplorasi ditataran teoritis dan analisis dengan memasukan unsur-unsur pemikiran-pemikiran teori-teori ilmu sosial lain tidak masalah, bukan?. Ini sudah dilakukan malah.

dede mengatakan...

Dendi, Roby dan Sonny, terima kasih untuk postingnya. Dendi, apa yang anda tulis dalam posting terakhir tepat sekali: saya kuatir pada ekonom di Indonesia yang melakukan analisis ekonomi dan menjawabnya dengan faktor non-ekonomi.
Roby, sebenarnya, dalam cara berpikir yang sama, saya juga punya kekuatiran terhadap kecenderungan ekonom untuk menyalahkan perangkat kuantitatif. (mudah-mudahan ini tidak memindahkan topik diskusi, karena ini hanya contoh), Dan mengatakan bahwa suatu issue tidak bisa dijelaskan secara kuantitatif. Mungkin saja benar begitu. Tapi ada dua kemungkinan disini. Pertama, memang belum ada teknik kuantitatif yang solid untuk menjelaskan issue itu, atau yang kedua --ini yang menguatirkan-- karena dia punya keterbatasan dalam perangkat kuantitatif kemudian mengatakan bahwa issue itu tidak bisa dijelaskan dengan metodologi kuantitatif. Ini mirip dengan orang yang tak mampu berdansa kemudian lantai disalahkan.
Saya teringat tahun 2007 lalu, saya mengundang Prof Andrew Rose dari UC Berkeley dan NBER untuk memberikan presentasi di Jakarta. Tema yang ia bawakan adalah bagaimana peran kedutaan dalam meningkatan ekspor. Yang menarik, dalam satu bagian papernya (saya kira sudah dipublish di salah satu journal), dengan analisa kuantitatif sederhana -- menggunakan instrumental variable-- ia menunjukkan bahwa pemilihan embassy atau konsulat ternyata tak selalu berhubungan dengan volume perdagangan. Ia menunjukkan bahwa ada kasus dimana konsulat dipilih karena kotanya indah, restaurantnya bagus dsb dna bukan karena volume trade nya. Ia mengambil contoh San Francisco dalam model ekonometrinya. Rose melakukan ini dengan perangkat kuantitatif. Dengan cara berpikir yang sama, kita menemukan adanya kecenderungan ekonom --mungkin karena keterbatasan perangkat analisis atau karena kemalasan melakukan eksplorasi-- memberikan jawaban faktor non-ekonomi untuk analisis ekonomi yang ia buat. Persis seperti yang ditulis Dendi.
Roby, mengenai kekuatiran soal tidak akan munculnya eksplorasi baru karena kukuh dengan pendekatan -- yang menurut anda-- tradisional, saya kira agak berlebihan. Mungkin baik, jika kita membaca Stevan Levitt. Saya kira sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa karya Levitt -- baik yang serius secara akademik, maupun dalam bentuk populer seperti Freakonomics-- bukan merupakan eksplorasi baru ( jika saya memberi contoh Levitt, jangan dibaca bahwa Levitt hanya satu-satunya, masih banyak ekonom lain. Ini hanya untuk memudahkan pembahasan dan for pedagogic reason)
Levitt bukan hanya melakukan ekplorasi untuk issue-issue baru, ia mengksplorasi potensi penjelasan kerangka insentif dengan lebih maksimal. Akhirnya yang kita baca adalah analisis-analisis yang memikat dengan peralatan yang sebenarnya sudah kita miliki. Saya kira Levitt adalah contoh bagaimana "optimisasi dari teori ekonomi". Given kendala dari perangkat yang ada, Levitt menjelaskan berbagai hal. Sedangkan mungkin ekonom-ekonom lain mengatakan perangkatnya tidak cukup. Ini berada iluar constraint kita. Kemudian, kita melanggar prinsip optimisasi dengan mengatakan: problem set nya salah. Kendalanya harus dihilangkan. Jika kita menghilangkan kendala, maka tidak ada lagi masalah optmisasi dan problema choice, dan semua bisa dijelaskan tanpa perlu disiplin metodologi.
Anda jangan kuatir bahwa ekonom-ekonom yang muda akan "terhalangi" untuk melakukan eksplorasi baru. Blog ini justru merupakan bagian dari upaya eksplorasi. Bagi kita kadang yang penting adalah eksplorasi dan bukan konklusi. Karena itu kita menyukai diskusi seperti ini, karena proses menjadi amat penting.
Selain itu saya tidak yakin bahwa blog ini punya pengaruh sedemikian luas:). Walau anda menyebut blog ini punya aura otoritas --terima kasih untuk itu-- saya kira jauh dan sulit sekali untuk menyimpulkan bahwa ia akan mempengaruhi apalagi menghalangi minat untuk soal-soal lain. Ambil contoh ketika Greg Mankiw ditanya mengenai dampak dari munculnya orang seperti Levitt bagi bahasan ekonomi yang dianggap "core" seperti moneter, trade, macroeocnomics dsb? Dan kemudian orang beramai-ramai masuk dalam arena yang diperkenalkan Chicago School dalam hal incentive. Mankiw menjawab: statistik rujukan paper menunjukkan --walau Levitt dianggap briliant dan dapat medal sebagai ekonom dibawah 40 tahun-- minat orang masih lebih banyak kepada area yang dianggap "core" seperti trade, monetary dsb. Yang paling banyak dirujuk tetap orang-orang seperti Joe Stiglitz, Bernanke, Andrew Rose dsb. Jika studi-studi yang kuat secara metodologi seperti Levitt saja tak bepengaruh, jangan terlalu overestimate terhadap blog ini:) Ok, silahkan dilanjutkan lagi diskusinya

ki joko mengatakan...

Mas Roby,
Kalo di AS sih mungkin, harus kebalikannya. Saran2x mbah2x professor itu kalo nggak salah utk melakukan yg nyleneh harus dapet kerjaan dulu. Kerjaan di academia kalo ekonomi ya mayoritas neo-classical, setelah dapet baru kalo mo ke institutional, hoet dll. Mungkin anda harus maen2x sama orang2x ekonomi diluar mainstream, spt orang2x AFEE (Association for Evolutionary Economics), HES, orang2x gmu, etc.

Kalo di prancis ato belanda mungkin baru bisa nyleneh langsung, wong lansung jadi pns.

Rizal mengatakan...

Roby, dalam konteks pendidikan ilmu ekonomi di Indonesia, situasinya mungkin lebih gawat: ilmu ekonomi yang standar pun barangkali belum diajarkan dengan layak (properly) di universitas-universitas di sini.

Kawan-kawan di sini punya segudang anekdot tentang mahasiswa ekonomi --terutama jika menguji--, yang bersumber dari kalau bukan ketidaktahuan tentang prinsip-prinsip dasar ilmu ekonomi, ya termakan populisme di media massa.

Roby mengatakan...

Ki Joko: saya maen2nya dengan ekonom yang berhubungan dengan Santa Fe Insititute Salah satu motivasi saya cerewet disini adalah siapa tau ada yang tertarik dengan ide yang saya lempar, sehingga jika saya pulang ke Indonesia nanti saya tetap punya teman ekonom untuk diskusi.

Rizal: Informasi menarik. Kalau mahasiswa seperti itu, mau analisis apapun juga ya masalah.

Dede: Levitt interdispiliner dalam arti dia mengambil hipotesis dari sosiologi dan psikologi dan menerapkan metoda optimasi.

Tapi interdisipliner maksud saya bukan seperti Levitt tapi lebih seperti Schelling. Jadi bukan analisi data kuantitatif tapi lebih ke pemodelan perilaku manusia dan aggregat nya.

Mungkin ekonom punya istilah khusus untuk membedakan dua pendekatan yang berbeda ini.

Anonim mengatakan...

Gekko Gekko berkata:

Saya ingat tulisan MCB dalam suatu pengantar Buku Kumpulan Tulisan Pak Thee Kian Wie, ekonom senior dari LIPI yang diterbitkan oleh Kompas. Di situ MCB mengatakan (entah ini hanya sekedar pujian saja) bahwa Pak Thee mampu menarik kesimpulan dalam menganalisis suatu isu ekonomi walau tanpa analisis kuantitatif. Lanjut MCB, kemampuan jam terbang yang tinggi yang dimiliki Pak Thee yang menyebabkan hal itu dan MCB bilang, kalau kesimpulannya sama, buat apa MCB berjibaku dengan Quantitative Analysis yang penuh dengan bahasa matematika itu, toh hasil kesimpulannya sama. Nah, terkit dengan statement MCB yang mengungkapkan kekhawatirannya akan ekonom yang tak menguasai quantitative tools in explaining an economic issue, agak kurang konsisten dengan ucapannya sendiri di pengantar buku itu. Bagaimana Bung Dede? Apa masih kesesengsem sama Stigler dan Memoirs of an Unregulated Economist-nya?

dede mengatakan...

Anonim, senang anda menyempatkan diri membaca kata pengantar saya untuk Guru saya Thee Kian Wie. Terus terang saya ungkapkan disini, dosen-dosen senior saya dulu itu "agak enggan" dengan metode kuantitatif. Mungkin karena memang dalam periode itu training economics berbeda dengan jaman sekarang. Saya percaya ekonom-ekonom yang lebih muda dari saya punya kapasitas kuantitatif yang lebih baik lagi dari saya karena kecenderungan ilmu ekonomi yang makin kuat dengan kuantitatif. Saya tidak sekedar memuji Pak Thee. Saya serius dengan soal itu. Selain Pak Thee, Prof Arsjad juga punya instink yang luar biasa. Persoalanny: tidak semua orang berbakat dan punya kesempatan untuk terlibat dalam policy. Hanya orang-orang yang punya jam terbang seperti Pak Thee dsb yang bisa punya previlege seperti itu. Tentu kita harus berbicara law of large number. Kalau anda sudah punya jam terbang seperti Pak Thee, maka mungkin analisis kuantitatif akan sama hasilnya dengan analisa kualitatif. Pertanyaannya adalah apakah kita harus menunggu jam terbang begitu panjang. Rodrik juga punya argumen yang sama, ketika dia menulis tentang Arthur Lewis, pemenang nobel. Saya kutip disini dari blog Rodrik:

The moral of the story is that if you are smart enough to be a Nobel-prize winning economist maybe you can do without the math, but the rest of us mere mortals cannot. We need the math to make sure that we think straight--to ensure that our conclusions follow from our premises and that we haven't left loose ends hanging in our argument.

In other words, we use math not because we are smart, but because we are not smart enough

Mudah-mudahan ini menjawab dan sekaligus menunjukkan penggunaan kuantitatif bukan untuk "gaya" tetapi memang membantu kita dalam menjaga konsistensi logika.
Mengenai buku Stigler, ya saya sangat menyenangi buku itu. Kalau anda tertarik dengan buku-buku sejenis ada buku terbitan baru yang mengenai Milton Friedman dan Chicago School, terbitan tahun 2007. Selamat membaca