24 Desember 2007

Konspirasi-MCB

Mengapa ada kecenderungan kita untuk begitu senang dengan teori konspirasi? Setiap kali kita melihat sebuah keputusan politik dibuat, atau kebijakan ekonomi dilahirkan, dikepala kita selalu muncul: ini adalah skenario Amerika Serikat atau negara maju. Ada semacam sikap, yang mengingatkan saya pada sebuah film Woody Allen, tentang seorang Western Liberal dengan Western guilty feeling. Sikapnya kurang lebih begini: bahwa yang salah selalu si Barat, segala sesuatu yang buruk di negara berkembang disebabkan oleh Barat. Noam Chomsky, saya kira sampai derajat tertentu punya sikap seperti ini. Ironisnya, tak disadari oleh banyak orang, sikap yang seperti membela ini, sebenarnya adalah sikap yang amat merendahkan negara berkembang. Logikanya, jika semua kesalahan hanya bisa dibuat oleh si Barat, itu artinya negara berkembang tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan untuk berbuat dosa pun, negara berkembang tak sanggup. Ini mirip orientalisme baru.

Kegemaran kita akan konspirasi sebenarnya menunjukkan sikap kita yang tak percaya kepada diri sendiri. Mengapa kita selalu bicara tentang bahaya Neo-liberal atau komunisme? Jika kita yakin dan cukup percaya diri bahwa Pancasila atau keyakinan bangsa kita kuat, maka kita tak perlu kuatir dengan itu semua. Bukankah Amerika Serikat atau China tak pernah berbicara tentang pengaruh bahaya Pancasila didalam ideologi mereka? Setiap kali kita kuatir dan mulai menyusun teori konspirasi, setiap kali itu pula kita tahu: kita tak pernah percaya akan kekuatan bangsa sendiri. Dan menganggap bahwa bangsa ini begitu bodoh, sehingga bisa didikte diatur hanya oleh sekelompok orang. Secara tidak langsung, cara berpikir seperti ini amat merendahkan kita sendiri.

Kondisi ini kemudian mengingatkan saya kepada film tua Forrest Gump yang mendapat hadiah Oscar. Forrest Gump bercerita tentang tokoh yang "biasa” dengan cerita yang juga "biasa-biasa" saja. Sebuah film kadang menarik bukan karena ia menampilkan kekuatan atau keluarbiasaan si tokoh, tetapi justru karena ia bersikap "biasa-biasa" saja terhadap hidup yang sudah tidak " biasa" ini. Forrest Gump adalah seorang tokoh yang lugu dan ditampilkan secara karikatural. Sebuah parodi tentang orang jujur --atau mungkin orang bodoh--. Dan seperti biasa, kita tidak pernah bisa mengharap sebuah pameran kepahlawan dari seorang yang bodoh dan kelewat jujur -- terus terang dalam situasi dunia saat ini sudah semakin sulit bagi kita untuk membedakan mana bodoh dan mana jujur -- . Tapi disini cerita itu kemudian menjadi menarik, karena dalam keseharian kita sekarang ini, ada sebuah kecenderungan untuk mengidentikkan sikap sederhana, jujur dan bersahaja sebagai bahagian dari satu sikap protes. Bagian inilah yang kemudian mendapatkan tempatnya dalam teori persekongkolan. Dalam konteks teori persekongkolan sikap bersahaja bisa saja diterjemahkan sebagai suatu produk menentang kemapanan.

Pendeknya kita telah dikonstruksi oleh bayangan kita tentang sesuatu. Kita selalu berpikir dalam kerangka bahwa ada sesuatu motif besar dibalik setiap tindakan. Didalam kepala kita telah ada kamus yang siap menterjemahkan setiap motif manusia. Ada satu permainan politik dibalik setiap sikap. Karena itu kesederhanaan dan kebersahajaan pun merupakan satu protes. Sesorang yang berpakaian ala "seorang seniman" ditengah para Yuppies akan dikatakan pemberontak. Rambut gondrong pun kemudian punya arti sebagai satu simbol kebebasan. Musik juga dapat diterjemahkan sebagai suatu pemberontakan. Kesenian kemudian memiliki misi. Segala sesuatu harus punya motif. Barangkali itu ada benarnya, bahwa tidak ada satu tindakan pun yang berjalan tanpa satu motif yang perlu diperhitungkan. Tapi bila itu benar, agaknya kita masih tejerat dalam fenomena tahun 1960 dan 70 an, ketika sebuah generasi muncul dalam hiruk pikuk pemberontakan. Dimana rambut gondrong dan menghisap ganja adalah bagian dari upaya menentang kemapanan. Kita mungkin masih terjerat dengan kerangka pemikiran kita "yang terlalu pintar". Dimana semua fenomena sosial dan hubungan manusia di konstruksi dalam kerangka atau kiri atau kanan, atau barat atau timur, atau menghina atau mendukung dan berbagai klasifikasi lainnya. Kita telah mengkonstruksi segala sesuatu dengan format skenario yang kita punya dan kemudian kita terjemahkan dalam konteks itu.

Karena itulah ketika Forrest Gump dalam film itu memutuskan untuk berlari selama lebih dari tiga tahun, tidak ada satu orangpun yang percaya, bahwa ia berlari hanya karena sekadar karena ia ingin berlari. Dan para wartawan pun bertanya," Apakah anda berlari untuk perdamaian ? Apakah anda berlari untuk suatu rekor ?" Dan segala macam pertanyaan. Dan tak ada seorangpun yang percaya bahwa ia berlari hanya karena ia ingin berlari. Tetapi mungkin ada baiknya juga bila kita sadari bahwa manusia tak harus selamanya pintar. Ia kadang-kadang punya sesuatu yang dia lakukan hanya karena motif yang sederhana. Seseorang yang duduk menatap Istana Merdeka di Jakarta berjam-jam bukan kemudian berarti seorang mata-mata atau seseorang yang ingin menjadi Presiden, ia bisa saja seorang dari desa yang terkejut melihat: "Kok ada satu rumah kosong yang dikawal begitu ketat". Ada hal-hal yang mungkin berada diluar "skenario" kita yang "pintar" ini.

Saya jadi teringat pada satu diskusi Ariel Heryanto di Australian National University beberapa tahun yang lalu. Ariel berkisah bagaimana pemerintah melarang kaset Atiek CB karena ada gambar palu dan arit di sana. Ariel bercerita bagaimana anak-anak kecil bermain "PKI-PKI an" dimana sebagian anak menjadi "Pak Harto dan RPKAD" dan sebagian lagi menjadi "PKI". Tidak ada satu motif politik disana. Anak-anak kecil itu hanya merekam apa yang mereka lihat di televisi setiap tahun di tanggal 30 September. Dan kemudian mereka mainkan dalam dunia mereka sehari-hari. Permainan PKI-PKI an ini toh tak ada bedanya dengan permainan petak umpet atau perang-perangan "dor nama" yang sering kita mainkan dulu ketika kita masih kecil.

Sayangnya dijaman yang serba tak biasa ini, kita sudah tak sanggup lagi melihat satu persoalan yang sederhana. Dan kita pun kemudian mendengar Mozart dengan kerangka filsafat yang dalam, kita melihat lukisan Renoir dengan tinjauan restrospektif atau kita melihat humor dari misi politik yang ia sampaikan. Kalau betul begitu, maka segalanya kemudian hanya tersisa buat "orang pintar". Lalu bagaimana dengan mereka yang "tak pintar" ? Padahal dalam banyak hal, suatu peristiwa dapat terjadi dalam konteks yang bebas dari misi dan persekongkolan. Begitu pula dengan kesenian, seperti yang pernah ditulis oleh Goenawan Mohamad, kesenian tak membuat kita menjadi lebih kuat atau lebih pintar. Karena ia hanya sekedar menautkan kembali ikatan kita dengan hidup : mungkin dengan harum tanah, bau rumput atau suara burung gereja . Disini kita kembali bereksperimen dengan kebebasan : termasuk kebebasan untuk lepas dari suatu misi dan persekongkolan. Dalam dataran ini mungkin independensi dan kemungkinan munculnya suatu pemikiran alternatif justru terbuka. Mengutip Goenawan, konon karena itu bahkan sosialisme pun tidak pernah berhasil mengontrol para penyair. Karena sebuah kekuatan birokrasi pemerintahan, struktur politik dan partai barangkali tak akan pernah bisa menangkap kebebasan perasaan hati. Saya jadi tak tahu lagi apa yang pasti hari ini. Tapi saya kira agaknya kita memang sudah menjadi terlalu rumit

8 komentar:

Anonim mengatakan...

Bang Dede, betul bahwa seringkali kita berpikir rumit dan terkadang paranoid sendiri. Namun, hal ini menurut saya didasari oleh prinsip insentif dan disinsentif yang dirasa selalu melatarbelakangi seluruh tindakan manusia.

Saya sendiri seringkali 'kecele' oleh karena cara berpikir saya yang selalu skeptis, yang anehnya seringkali memberikan hasil positif bagi saya.

Sulit untuk bisa keluar dari kungkungan pola pikir seperti itu. Bila Bang Dede dapat dengan mudah lolos dari 'penjara' itu, bagaimana caranya?

ki joko mengatakan...

Berpikir rumit adalah hasil dari ketidak tahuan dari kita terhadap permasalahan yg ada.

Saya sih melihat tidak ada salahnya berpikir rumit, yg penting tidak memaksakan kehendaknya.

Di ekonomi pun begitu, ada orang yg menikmati dan menerima begitu saja karya Adam Smith's The Theory of Moral Sentiments, ada yg ngaduk2x kenapa sampe Adam Smith bikin buku itu. Saling berargumen dalam tafsirnya seperti halnya yg terjadi di kitab suci.

Roby mengatakan...

Mungkin juga ini berhubungan dengan psikologi. Tanpa menghubungkannya dengan realita sosial yang rumit (motif, makna dsb), bisa jadi ini efek psikologis: adanya kesulitan untuk menerima bahwa sebuah design bisa dihasilkan tanpa designer. Dengan kata lain, ini bias psikologis (bukan sosial) dimana otak manusia terlatih mencari pola (pattern).

Pastinya sudah banyak studi psikologis tentang ini. Tapi menarik jika dilakukan dalam konteks Indonesia. Apakah ada variasi dalam identifikasi pola menurut kelas sosial dan obyek yang diamati.

Bandar Kedele mengatakan...

Bang Dede,

Mungkin sudah dari "sono"-nya bangsa kita senang dengan teori konspirasi. Namun menurut saya media juga berperan dalam "mempromosikan" agen conspiracy-theorist, even dalam analisa ekonomi. Apakah editor-editor ekonomi di media itu sedemikian resilient dalam melakukan review tulisan yang layak diterbitkan, atau terdapat faktor-faktor lain?
Saya memperhatikan Kompas dalam setahun terakhir, ikut "menyebarkan" analisa, yang bukan saja penuh dengan teori konspirasi, namun rather "menyesatkan" dari sisi analisa ekonomi.
Salah satu contoh dalam link berikut:
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0712/29/ekonomi/4095218.htm

Bandar Kedele mengatakan...

Bang Dede,

Mungkin sudah dari "sono"-nya bangsa kita senang dengan teori konspirasi. Namun menurut saya media juga berperan dalam "mempromosikan" agen conspiracy-theorist, even dalam analisa ekonomi. Apakah editor-editor ekonomi di media itu sedemikian resilient dalam melakukan review tulisan yang layak diterbitkan, atau terdapat faktor-faktor lain?
Saya memperhatikan Kompas dalam setahun terakhir, ikut "menyebarkan" analisa, yang bukan saja penuh dengan teori konspirasi, namun rather "menyesatkan" dari sisi analisa ekonomi.
Salah satu contoh dalam link berikut:
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0712/29/ekonomi/4095218.htm

Anonim mengatakan...

Saya tidak setuju dengan pendapat penulis yang menganggap sikap mencurigai adanya skenario AS atau negara maju di balik sebuah keputusan politik atau kebijakan ekonomi adalah sikap yang sangat merendahkan / menunjukkan ketidakpercayaan diri negara berkembang.

Justru sikap seperti ini sangat diperlukan untuk mengkritisi sebuah keputusan politik atau kebijakan ekonomi yang terasa aneh dan sangat merugikan rakyat.

jika tidak ber-teori konspirasi, jangan2 kita malah terlena dengan keputusan dan kebijakan pemerintah yang nota bene akan merugikan rakyat banyak.

contoh :
Rezim ORBA, pada awal kekuasaannya "mengemis" pada AS agar mendapatkan dan bantuan utk mengatasi keterpurukan ekonomi di Indonesia. AS menggunakan pendekatan multilateral, dengan melibatkan IMF, Bank Dunia, ADB, dan PBB. Sejak itu, utang luar negeri dijadikan sumber pembiayaan pembangunan. Indonesia pun terperosok dalam jebakan utang luar negeri (Debt Trap).

Utang luar negeri adalah metode ampuh bagi para kreditor untuk menguasai Sumber Daya Alam Indonesia. Pemerintah pun akhirnya bisa didikte asing.

Lihat saja Freeport, perusahaan penguasa tambang emas terbesar di dunia yang berada di Papua. Tahun 2004, keuntungan bersih perusahaan ini Rp.9,34 triliun (yang dilaporkan, entah yang sebenarnya) larinya ke AS, karena 81,2 % sahamnya dikuasai Freeport McMoran. Sisanya cuma 9,4 % milik pemerintah. Yang 9,4 % lagi milik Indocooper Investama. Indocooper ini juga sahamnya 100% milik Freeport McMoran. Yang aneh, Walaupun kontrak Freeport habis tahun 1997, tapi tahun 1991 kontrak tersebut sudah diperbaharui dan Freeport mendapat lisensi baru untuk mengeruk emas papua lagi sampai 30 tahun ke depan, bahkan ditambah opsi 2x10 tahun.Jadi Freeport berhak berada di Papua s.d. tahun 2041. Indonesia mau dapat apa? sisa2 emas yang tercecer?

Presiden Lyndon Baines Johnson dalam pertemuan kabinet Tgl 18 Okt. 1967 pun menyatakan kekayaan alam indonesia yang melimpah seperti minyak, mineral, timbal, dan perikanan adalah sebagai alasan utk membantu Indonesia.
Lihat Johnson Library, Cabinet Papers, Cabinet Meeting, 10/18/67, http://www.state.gov/r/pa/ho/frus/johnsonlb/xxvi/4436.htm

Said mengatakan...

Saya kira teori konspirasi menggunakan logika dasar teori ekonomi juga:

1. Setiap individu/kelompok diasumsikan self-interest
2. Latar belakang institusi dan sejarah sebagai fungsi tujuan dan kendala
3. Upaya maksimisasi self-interest menghasilkan revealed preference

Dan sebagaimana teori ekonomi, kita selalu bisa mengkritisi kesahihan teori konspirasi dengan menilai apakah asumsi-asumsi yang digunakan realistis dan apakah logika dalam menuju konklusi tidak mengandung kekeliruan.

Hanya saja, teori ekonomi beruntung dapat dengan mudah memperoleh data-data yang dibutuhkan untuk mengujinya. Sedangkan teori konspirasi mengandalkan peristiwa-peristiwa yang muncul di berita dan informasi orang dalam yang sulit ditelusuri kesahihannya.

reza mengatakan...

bangsa kita harus berpikir lebih maju dan tidak berpikiran negatif sebelum adanya bukti