01 Oktober 2007

Negara kaya, rakyat sengsara: emang gitu? - MCB



Ingat lagu Koes Plus "Kolam Susu" atau lagu "Rayuan Pulau Kelapa"? Semuanya bercerita betapa kaya, gemah ripah loh jinawi nya tanah air kita. Indonesia adalah negeri kaya, karena itu seharusnya rakyatnya makmur. Sejak kecil kita diajarkan logika "kasat mata" itu . Ironisnya yang terjadi: negeri kaya, tapi rakyat sengsara.

Sedihnya, pola negeri kaya rakyat sengsara, adalah pola yang kerap terjadi. Indonesia bukan kekecualian. Studi yang dilakukan oleh Carneiro (2007) atau Sachs dan Warner (1995) --seperti yang terlihat dalam grafik diatas-- menunjukkan bahwa secara statistik negeri yang kaya sumber daya alam cenderung miskin atau lambat pertumbuhan pendapatan per kapita nya. Semakin tinggi pangsa sumber daya alam dalam total ekspor (axis horizontal) semakin rendah pertumbuhan pendapatan per kapita (axis vertikal). Tentu ada beberapa pengecualian disini, seperti negara Botswana, Canada, Australia dan Norway yang tampaknya selamat dari problema resources curse ini.

Ada beberapa penyebab paradox of plenty atau resources curse ini termasuk diantaranya adalah Dutch Disease (dimana boom dari ekspor sumber daya alam mengakibatkan apresiasi riil dan membuat produk tradable non sumber daya alam menjadi tidak mampu bersaing), penerimaan ekspor yang berfluktuasi dan juga aktifitas buru rente. Sumber daya alam yang besar memberikan rente ekonomi yang besar, sehingga ada insentif kuat untuk aktifitas buru rente (Krueger , 1974). Implikasinya: ketimbang menggunakan sumber daya untuk produksi, lebih baik digunakan untuk aktifitas suap, lobby untuk mendapatkan rente. Akibatnya kapasitas produksi berkurang dan pertumbuhan pendapatan per kapita menjadi relatif lambat.

Jadi bait:
Tanah airku aman dan makmur
Pulau Kelapa nan amat subur
atau

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Sama sekali bukan jaminan bahwa rakyat akan makmur. Di banyak kasus, negeri yang tak punya sumber daya justru bisa lebih makmur.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

"Rayuan Pulau Kelapa" atau "Kolam Susu" kan memang hanya mitos saja, sebagai harapan, membayangkan ada bentuk kemakmuran yang seperti itu. Sama halnya dengan mitos kejayaan Majapahit, Singasari atau Sriwijaya.

Dalam bernegara mungkin sah-sah saja untuk memupuk rasa nasionalisme. Hanya sayangnya banyak diantara kita menganggapnya sebagai sebuah fakta, yang tak percaya saat "impian" itu tak ditemuinya dalam kenyataan sekarang.

BTW, selamat Co, De, untuk blog baru ini.... Akhirnya.... :)

Anonim mengatakan...

Hallo Bung Dede,

Seharusnya jargon gemah ripah loh djinawi itu diubah menjadi "Gemah Ripah Koq Miskin Terus" Oh ya...Amerika Serikat mestinya juga masuk ke dalam golongan yang selamat dari resource curse ini, karena AS juga cukup punya SDA dan ditopang oleh sistem politik check and balance yang mampu meminimalisir praktek rent seeker.

a.p. mengatakan...

Satu link lagi dari SDA dan underdevelopment: konflik. Kekayaan SDA punya tendensi mendorong konflik perebutan akses atas SDA. Banyak studi yang sudah mengulas hal ini (nggak hafal di luar kepala siapa saja, tapi a.l. Easterly and Levine, Alesina et al.).

Sumber alternatif: Hollywood.. Blood Diamond, The Last King of Africa, The Lord of War...

Anonim mengatakan...

untuk kasus indonesia, mana yang lebih berpengaruh - the dutch disease atau institutional problems. just curious

dede mengatakan...

Kita pernah mengalami dua-duanya. Tahun 1979 kita mengalami dutch disease. Dalam beberapa tahun terakhir ini mungkin juga ada gejala dutch disease (saya belum bisa simpulkan, karena masih melakukan studi nya bersama Gus Papanek (Boston /Harvard). Kalau soal institution, saya kira issue rent seeking dari dulu sampai sekarang dominan dalam sumber daya alam.