11 Oktober 2007

Insentif-insentif menuju pemilu - AAP

Menarik, tulisan Endy Bayuni (EB) di Jakarta Post kemarin (10/10/2007). EB meragukan bahwa JK (dan beberapa menteri di dalam kabinet) akan tetap loyal kepada SBY dalam dua tahun mendatang, mengingat JK sebagai pimpinan Golkar pasti akan mencalonkan diri (atau dicalonkan) sebagai presiden. Akan terjadi konflik kepentingan. Karenanya, menurut EB, salah satunya (JK atau SBY) harus mundur. (Tulisan EB mengimplikasikan bahwa: JK yang harus mundur). EB juga berpendapat bahwa mudah sekali bagi siapa pun di dalam kabinet untuk menjegal ambisi SBY untuk menjadi presiden kembali: cukup dengan melemahkan perekonomian (maksud EB mungkin lewat membiarkan beberapa program ekonomi gagal).

Jika tujuan Golkar adalah menggolkan JK sebagai presiden, maka insentif untuk melakukan penjegalan atas program ekonomi (dan lainnya) dari pemerintahan sekarang sesungguhnya kecil. Mengapa? Karena Golkar, lewat JK dan beberapa menteri, adalah bagian dari pemerintahan sekarang. Karena itu, menggagalkan (untuk tidak mengatakan sabotase) program pemerintahan sekarang sama dengan mencoreng muka sendiri. Ini akan menyulitkan Golkar dalam kampanye dan dalam mencoba merebut simpati pemilih, kecuali jika Golkar nantinya bisa muncul dengan argumen-argumen seperti ”itu bukan kesalahan kami”, ”kami sudah mencoba, tetapi Presiden tidak sepakat”, dan sebagainya. Argumen seperti ini murahan, tidak meyakinkan, dan justru menunjukkan bahwa peran Golkar ternyata kecil – citra yang tentunya tidak menguntungkan bagi Golkar. Akan lebih menguntungkan bagi Golkar untuk berjuang menyelesaikan semua program pemerintahan sekarang dengan baik dan simpatik, untuk kemudian nantinya mengklaim kredit untuk itu, sebagai bekal ke dan di pemilu. Itu yang dilakukan Fauzi Bowo dalam konteks Jakarta – dan berhasil.

Popularitas SBY, paling tidak sampai Oktober 2007, masih tetap tertinggi. Jika peringkat popularitas memang proksi yang baik untuk memprediksi pemenang pemilu, jika SBY bisa mempertahankan posisinya selama waktu yang tersisa, dan jika metode survei LSI benar valid, maka kemungkinan SBY menjadi presiden terpilih pada pemilu mendatang menjadi paling tinggi.

Hal ini tentunya menyulitkan Golkar yang berambisi mendudukkan JK sebagai presiden. Kecuali jika dalam dua tahun tersisa ini SBY melakukan sesuatu yang sangat merugikan citranya. Salah satu titik lemah SBY adalah kesulitannya mengambil keputusan. Ini tentunya disadari oleh lawan-lawan politiknya (paling tidak Sutiyoso akan menggunakan isu kepemimpinan yang tegas). Namun sifat indecisiveness ini pun tampaknya tidak berpengaruh banyak pada popularitas SBY, sebagaimana kita telah saksikan beberapa kali.

Jika semua asumsi di atas benar terjadi, maka Golkar harus puas dengan kursi wapres seperti saat ini. Dan itu berarti JK, bukan Akbar Tanjung atau yang lainnya. Mengapa? Karena eksponen Golkar yang paling bisa bekerjasama dengan SBY adalah JK, terlepas dari sederet friksi yang pernah terjadi. Selain itu, posisi JK seperti di atas tentunya juga disadari oleh orang-orang Golkar. Mereka yang berkepentingan untuk dekat dengan pusat kekuasaan secara rasional akan mendukung dia yang memang paling dekat dengan bakal presiden. Orang itu adalah JK, bukan Akbar Tanjung.

Yang tersisa untuk melengkapi argumen di atas adalah: apa insentif SBY untuk bersanding dengan JK kembali? Tidak terlalu sulit untuk menjawab yang satu ini. Karena Golkar adalah partai terbesar dan secara historis sangat kuat di republik ini. Partai Demokrat sendiri sepertinya tidak akan mampu berjuang sendiri.

Kesimpulannya, pertama, kemungkinan JK untuk mengundurkan diri dari pemerintahan saat ini kecil. Kedua, kekuatiran EB bahwa akan terjadi penjegalan terhadap SBY oleh kabinetnya sendiri tampaknya berlebihan.

Tentu saja ini hanya pengamatan yang dibangun atas asumsi-asumsi dan pengamatan atas insentif di seputar kabar-kabar menuju pemilu 2009. Kita paham, dalam politik, apa pun bisa terjadi.

Tidak ada komentar: