18 Oktober 2007

Dampak kenaikan harga minyak-MCB



Beberapa hari terakhir ini banyak sekali pertanyaan yang muncul tentang dampak kenaikan harga minyak terhadap ekonomi Indonesia. Karena seringnya pertanyaan itu diajukan, maka saya pikir soal itu menarik di bahas disini.
Tabel diatas saya ambil dari Nota Keuangan RAPBN 2008. Ia menunjukkan analisis sensitifitas dari berbagai variabel terhadap defisit anggaran.

Kenaikan harga minyak $1 per barrel misalnya diperkirakan akan mengurangi defisit anggaran sebesar Rp 0.04-0.05 trilyun. Sehingga dari sisi ini saya tidak terlalu menguatirkan dampak kenaikan harga minyak yang tajam terhadap anggaran. Saya kira, perhitungan sensitifitas ini cukup sensible. Dalam anggaran kenaikan harga minyak memiliki dua sisi : dari sisi penerimaan akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari minyak, sedang disisi pengeluaran akan meningkatkan beban subsidi. Kita tahu: subsidi BBM untuk bensin, solar sebagian besar sudah dihapus tahun 2005. Yang masih disubsidi dengan cukup besar adalah minyak tanah. Karena itu dampak pada anggaran saya kira tak terlalu besar atau cenderung netral. Dalam hal ini saya sepakat dengan Faisal Basri di Kompas. (18/10/2007, hal 1).

Yang perlu diperhatikan saya kira adalah soal-soal yang lain:
Pertama, dampak kenaikan harga minyak akan membuat disparitas harga domestik dengan internasional meningkat. Akibatnya, insentif untuk menyelundup meningkat. Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin konsumsi BBM akan meningkat -- karena aktifitas penyelundupan yang naik. Konsumsi BBM yang naik, akan mendorong kenaikan impor. Tekanan impor ini akan berpengaruh ke dalam neraca perdagangan. Jika berkepanjangan, maka dampaknya akan terjadi pada tekanan rupiah

Kedua, variabel yang sensitif terhadap defisit anggaran adalah produksi minyak. Jika produksi minyak menurun, maka akan meningkatkan defisit anggaran dengan cukup signifikan. Issue ini saya kira perlu diperhatikan

Ketiga, dampaknya kepada industri. Ada dugaan efek pass-through (efek yang diteruskan ke ekonomi domestik) akan besar. Misalnya kenaikan harga minyak dipasar internasional akan membuat biaya produksi naik, inflasi naik dsb. Saya kira kita perlu hati-hati dengan argumentasi ini. Sebetulnya BBM untuk industri sudah dibebaskan ke mekanisme pasar bahkan sebelum kenaikan BBM yang amat tajam Oktober 2005. Faktanya, pertumbuhan ekonomi masih relatif tinggi sampai dengan bulan September 2005, padahal waktu itu harga minyak sudah naik tajam. Produksi baru berkurang secara signifikan ketika pemerintah menaikkan BBM bulan Oktober 2005. Kenaikan BBM bulan Oktober itu ditujukan untuk BBM yang dikonsumsi oleh masyarakat (bukan industri, karena industri sudah dibebaskan kepasar sebelumnya). Artinya penurunan produksi setelah Oktober 2005 lebih disebabkan oleh karena menurunnya permintaan akibat kenaikan BBM. Jadi selama permintaan tak menurun, saya tak melihat dampak yang besar kepada produksi dari industri.

Keempat, apakah kenaikan BBM ini akan membuat inflasi meningkat dan mengurangi daya beli? Basri, Damayanti dan Sutisna (2002) menunjukkan bahwa sumber inflasi yang paling besar dalam inflasi di Indonesia adalah ekspektasi inflasi, depresiasi nilai tukar dan base money. Artinya selama kebijakan moneter tetap hati-hati, maka dampak inflasinya dapat ditekan. Namun penting dicatat bahwa ekspektasi inflasi bisa meningkat, karena pelaku ekonomi menganggap pass-through effect dari kenaikan harga minyak ke harga domestik tinggi (walau sebetulnya tidak). Jika hal ini dipercaya maka akan terjadi self-fulfilling, akibatnya inflasi memang akan naik dan ekspektasi depresiasi rupiah juga meningkat.

Mungkin beberapa issue yang harus kita perhatikan dengan baik. Tentu pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah harga minyak yang tinggi ini akan bertahan seperti ini sampai akhir tahun, atau hanya sekedar fenomena lonjakan saja? Terus terang, saya tak berani membuat prediksi tentang itu.

Tidak ada komentar: