Apakah bisa diharapkan satu pemikiran terobosan --seperti harapan Stigler-- muncul dari intelektual publik yang "populer"? Atau ia justru cenderung akan dikuasai oleh persepsi publik yang populer atau pandangan mayoritas, sehingga tak banyak argumentasi baru?
Terus terang saya tak tahu jawaban yang pasti. Tetapi tulisan Avinash K. Dixit dan Barry J. Nalebuff dari buku ini tentang game theory bisa diaplikasikan untuk mencoba menjawab pertanyaan ini. Mereka menulis tentang lomba layar:
Dalam empat balapan yang terjadi, kelompok A menang 3-1 terhadap B. Berikutnya akan diadakan balapan yang kelima. Orang sudah menduga A akan menang lagi. Dan memang, dalam balapan yang ke lima, awalnya perahu A sudah unggul 30 detik di depan B. Tetapi kemudian B mengambil inisiatif untuk bergerak lebih ke kiri, dengan harapan tekanan angin di kiri akan lebih kecil, sehingga mereka akan dapat menyusul A. B bergerak ke kiri. A melakukan respon dengan tetap bertahan di kanan. Hasilnya B dapat melampaui A. B keluar menjadi pemenang dalam lomba layar yang kelima ini.
Kritik kemudian diberikan kepada tim A: seharusnya ketika B bergerak ke kiri, A juga bergerak ke kiri. Didalam lomba layar, tidak ada bedanya menang dengan lebih cepat 30 detik atau 45 detik. Yang lebih dulu sampai di garis finish akan menjadi pemenang. Jika A mengambil keputusan mengikuti B, maka besar kemungkinan A akan tetap di depan karena memanfaatkan situasi angin yang sama. Moral dari game ini: jika anda sudah jadi leader maka yang anda harus lakukan untuk tetap memimpin adalah justru mengikuti respon follower. Menarik! Dan ini banyak diaplikasikan oleh perusahaan-perusahaan besar yang sudah well established
Argumen Dixit dan Nalebuff ini mungkin bisa kita gunakan untuk menjawab pertanyaan saya tadi. Jika seorang intelektual publik sudah dikenal luas, maka untuk tetap memimpin opini piblik: jangan buat argumentasi yang berbeda dengan pandangan publik. Sebelum tahun 2000, ketika pandangan publik dominan tentang lemahnya intervensi pemerintah, maka ada kecenderungan kuat untuk bicara mengenai peran pemerintah yang minimal. Ketika pasar banyak dikritik tentang kelemahannya akhir-akhir ini, maka ada kecenderungan untuk bicara soal pentingnya peran pemerintah. Ketika kepercayaan kepada pemerintah rendah, maka yang dominan adalah kritik untuk setiap kebijakan pemerintah --apapun itu. Kalau situsi tidak baik, maka yang tepat adalah membuat argumen yang pesimis.
Dan ini menurut Dixit dan Nalebuff --sayangnya-- adalah strategi yang tepat. The leader immitates the follower even when the follower is clearly pursuing a poor strategy. Itu sebabnya tak banyak Presiden yang mau mengambil sikap tak populer, walau itu dibutuhkan bagi negara. Analis dari pasar modal atau ekonom yang membuat prediksi juga bisa terkena gejala ini. Seperti di tulis oleh Dixit and Nalebuff:
"Leading forcasters cenderung punya insentif untuk mengikuti dan menghasilkan prediksi yang mirip dengan orang lain. Sebaliknya pendatang baru akan cenderung utuk datang dengan prediksi yang lebih radikal (memprediksikan ekonomi akan boom atau sekaligus mungkin kiamat).Umumnya memang salah. Kalau itu yang terjadi mereka tak terdengar lagi. Namun sekali prediksinya benar posisi mereka akan naik dan populer."
Jika argumen ini benar, maka sebenarnya tidak banyak insentif bagi intelektual publik yang "populer" untuk membuat argumentasi dan pemikiran yang baru. Mereka akan cenderung mengikuti pandangan populis atau mayoritas. Kecuali, mereka yang memang tak populer atau berani untuk tak populer. Biaya atau pengorbanannnya: publik akan marah, dan mereka bisa menjadi menjadi musuh publik yang utama --walau mungkin saja argumen mereka benar, dan publik salah. Kalau benar begitu, jangan-jangan pemikiran baru memang tak banyak bisa diharap dari professor yang sudah dapat tenure, dari intelektual publik yang "populis". Pemikiran baru lebih banyak bisa diharapkan dari intelektual publik yang baru, dari intelektual publik yang mau mengambil resiko menjadi musuh publik atau dari professor yang sedang berusaha mendapat tenure
Tentu argumen ini juga punya kelemahan. Bukankah argumentasi tak ada hubungannya dengan seberapa besar dukungan. Bisa saja kebetulan argumen populis itu benar. Ia menjadi populer karena benar dan kemudian diikuti orang.
Bukankah ada adagium yang mengatakan Vox populi, vox dei (pendapat publik adalah pendapat Tuhan). Walau kita tahu, ini adalah bagian dari kesesatan logika. Ada satu pepatah latin yang berbunyi Tantum valet auctoritas, quantum valet argumentatio yang artinya kurang lebih nilai wibawa itu hanya setinggi nilai argumentasinya. Tentu untuk menjawab soal "kebenaran relatif", yang harus dilakukan adalah membuktikan penalaran ilmiahnya -- dan bukan kutipan para ahli atau banyak sedikitnya dukungan publik. Argumentasi adalah soal penalaran, soal kompetensi dan dia tidak bisa dibuktikan dengan jumlah pendukung, apalagi lewat sms model idol yang banyak muncul di TV
Saya jadi ingat pada kalimat terkenal Henrik Ibsen yang digunakan di blog ini:
Mayoritas selalu salah; minoritas jarang benarSaya kuatir akhir-akhir ini kita memang mulai takut pada mayoritas dan mulai melakukan self-sensorhsip untuk hal-hal yang berhubungan dengan pandangan mayoritas...
Golongan terbanyak adalah musuh terbesar dari kebenaran dan kebebasan.
Hendrik Ibsen
13 komentar:
Soal munculnya pemikiran baru/inovasi, apakah dari pinggiran (tidak terkenal dll) atau pusat (tokoh publik dll) - saya menggunakan istilah network.
Data menunjukkan inovasi muncul dari keduanya. Setahu saya belum ada teori definitif dari mana dan mengapa muncul inovasi dari pusat atau pinggiran.
Argumen Stigler bisa berlaku. Tapi tentu argumen sebaliknya bisa berlaku juga: Intelektual publik memiliki insentif untuk mengeluarkan pemikiran baru karena fakta bahwa publik mendengarkan dia meningkatkan probabilitas publik mengikuti dia. Jadi cukup rasional jika dia mengeluarkan ide baru karena probabilitas suksesnya relatif lebih tinggi daripada lainnya.
Sepertinya, masalahnya bukan mengikuti atau tidak mengikuti mayoritas. Tapi lebih menunjukkan bahwa ide yang diajukan relevan.
Dinamika sistem kompleks (seperti angin atau opini publik) tidak linear. Angin bisa berubah cepat dalam sekejap.
Kembali ke penentuan goal dan objectives, pandangan mayoritas itu kan salah satu objectives untuk mencapai goal negara makmur yg berlaku utk semua warga negara termasuk mayoritas dan minoritas.
Banyak intelektual publik yg populer datang dari latar belakang universitas, lembaga penelitian pemerintah atau swasta/NGO/asing, partai politik atau entity yg lain.
Mereka semua memiliki argumentasi sendiri2. Pertanyaannya apa mrk punya goal yg sama? Mungkin iya. Objectives yg sama? Mungkin tidak. Apakah mrk bertanggung jawab atas pencapaian hasil dr pemikiran baru itu? Mungkin tidak, krn pemikiran baru itu di-apply oleh pemerintah, jadi pemerintah yg berkuasa yg bertanggung jawab.
Bos, Bryan Caplan, di bukunya, lebih tegas: dalam urusan ekonomi, publik salah (atau tidak rasional secara sistematis) pada empat hal: anti pasar, anti asing (anti globalisasi dan pasar bebas), keliru menganggap asal kemakmuran adalah employment (bukan produksi dan produktivitas), dan terakhir, pesimis terhadap ekonomi yang membaik. Politisi dan intelektual publik yang "mau" populer, ya memang "harus" mengakomodasi publik yang "salah" ini :-).
Ini ringkasannya di Lexington, The Economist.
bang dede, paling gampang lihat kasus Aa Gym (mencoba untuk cari contoh yang lebih praktis dan kena). Ingat waktu di awal masa kemunculannya, beliau menganggap tidak perlu berpoligami. Tapi kemudian, dia merubah pandangannya dengan berargumen bahwa "lebih baik poligami daripada selingkuh". dan pandangan ini mustinya bisa jadi satu terobosan (buat yang percaya) untuk menghindari ekses negatif dari perzinahan. Harapan beliau, karena beliau populer, maka masyarakat bisa mengerti dan "mengikuti". hasilnya? popularitas yang turun. dan ini keliatannya disikapi dengan hati2 oleh ulama-ulama muda yang memiliki penggemar kaum perempuan.
stick with the fans, it's the best way to survive. :D
Roby, menarik sekali kalau ada data mengenai sumber inovasi. Perdebatan yang hampir sejalan dengan tema ini juga terjadi antara Mankiw dengan Levitt . Mengenai dinamika sistem kompleks, soal perubahan arah angin, saya kira bukan itu soalnya. Game theory ini lebih mencoba menjaawab bagaimana respons dari satu player terhadap player lain. To lead or not to lead, dan itu dapat terjadi dalam setiap kondisi (baik ketika angin berubah atau tidak)
Anymatters, untuk mencapai negara yang makmur caranya belum tentu harus sejalan dengan mayoritas. Sebagai contoh, makro ekonomi Indonesia yang mulai membaik kembali sejak semester kedua 2006 hanya bisa terjadi jika pada tahun 2005 pemerintah menaikkan BBM. Dalam jangka pendek, memang efeknya luar biasa berat, namun kita bisa lihat bahwa setelah itu makrokeonomi nya membaik. Semua orang menentang kenaikan BBM waktu itu, tetapi itu dibutuhkan untuk stabilitas makro. Begitu juga dengan impor beras. Orang menentang impor beras, tetapi jika tidak dilakukan impor beras, anda bisa bayangkan dampaknya kepada harga dan kemiskinan
Rizal dan dHani, thanks.
Mengenai dinamika sistem kompleks, soal perubahan arah angin, saya kira bukan itu soalnya. Game theory ini lebih mencoba menjaawab bagaimana respons dari satu player terhadap player lain. To lead or not to lead, dan itu dapat terjadi dalam setiap kondisi (baik ketika angin berubah atau tidak)
Benar. Saya melihat disini bukan hanya ada dua players: si tokoh dan mayoritas. Mayoritas jelas bukan individu melainkan aggregasi individu. Sehingga cukup problematik jika variabel agregat/kolektif dimodelkan sebagai satu individu.
IMO, karena mayoritas adalah agregat maka struktur interaksi individu dalam agregat tsb menjadi penting dalam menentukan diterima tidaknya sebuah difusi inovasi.
Game theory tentu masih bisa dipakai, tapi sekarang permainannya berada pada sebuah network dengan N players.
Sistem seperti ini biasanya bersifat non-linear. Sehingga bisa jadi pertanyaan to lead or not to lead menjadi fungsi dari struktur dan distribusi insentif dalam struktur tsb.
Contoh difusi inovasi dari atas ke bawah yang sukses adalah larangan merokok di bar/klab malam New York. Larangan yang sangat tidak populer dan ditentang keras ini ternyata menjadi salah satu kebijakan Bloomberg yang sukses.
Orang New York ternyata merokok di bar bukan karena mereka ingin merokok tapi karena mereka merasa harus merokok karena teman2 mereka merokok. Jadi ketika larangn merokok keluar, semua orang senang; hilanglah peer/social pressure untuk merokok.
Soal data saya harus ubek2 dulu. Tapi seingat saya, penelitian di bidang marketing yang memiliki data cukup banyak mengenai proses difusi inovasi.
Bang, bukannya yang dibilang soal leader and follower sudah menjadi salah satu strategy klasik di ekonomi, terutama mikro,kalo nggak salah namanya Stackelberg Leadership??
Lalu kalo masalah inovasi, itu kan gamenya jadinya imperfect informasi. Aku nggak yakin kalo solusi ala stackelberg (yang asumsinya perfect informasi etc) could be applied here. Mungkin yang lebih tepat kalo make mechanism design kali ya..
cmiiw
Fariz, masalah leader follower memang merupakan tema klasik dalam pasar oligopoli. Dan teori ini bisa diaplikasikan termasuk untuk soal lomba layar, pemikiran baru etc. Yang menarik adalah dalam kasus yang ditulis oleh Dixit dan Nalebuff bahwa kalau anda sudah lead, sebaiknya anda jadi follower. Umumnya strategi yang ada leader yang take a lead. Dalam Stackleberg, first mover punya keuntungan. Dalam kasus DIxit dan Nalebuff, justru kalau anda sudah unggul, jangan jadi first mover.
Mengenai inovasi dan mechanism design, saya tidak menangkap maksudnya. Mungkin bisa lebih spesifik contohnya?
tulisan bagus dan cukup valid! terimakasih.
saya kira celah yang tersisa bagi mereka yang ingin memasarkan ide/opini baru yang anti pasar (follower) adalah ketika ide/opini baru itu berkaitan dengan contentious issue.
jadi misalnya dalam hal "larangan merokok di bar" di new york -- itu ternyata isu yang contentious. walaupun di permukaan kelihatannya ide larangan tsb bersifat anti-pasar, ketika menggali lebih dalam, ternyata banyak individu yang sebenarnya mendukung ide tersebut, karena larangan itu mengkaitkan isu merokok dengan hal2 lain (peer-pressure), dll.
Salah satu "korban" ketenaran sebagai intelektual publik (yang amat saya sayangkan) adalah Paul Krugman. Contohnya bisa dilihat di sini. Di Indonesia, mungkin Faisal Basri -- apalagi semasa kampanye calon gubernur -- hampir begitu juga.
Bang Dede,
Menurut ku kita tidak bisa memahami strategic interaksi di stackelberg seperti itu. Stakelberg itu menjadi sebuah equilibrium karena itu adalah sebuah SPNE. Jadi strategy si leader sudah take into account semua possible strategy dari folllower. Kalo dalam kondisi ,dimana si follower akan berlawan arah dari tindakan si leader, hal itu juga sudah menjadi pertimbangan oleh si leader. Mungkin at the end, kita akan dapatkan mixed NE.
Jadi kalopun ada equilibrium dimana akhirnya si follower menjadi lebih untung, bagi ku itu akan hilang akibat refinement dari equilibrium itu sendiri (kayaknya mungkin tidak trembling hand perfection)
Situasi ini mungkin agak beda kalo seandainya ada spillover effect, seperti R&D.
Secara strategy mungkin tidak akan jauh beda. Yang menarik adalah bagaimana equilibrium dari R&D dabandingkan kalo seandainya mereka bergerak secara bersama-sama.
Posting Komentar