28 Oktober 2007

Tantangan Asia Pacific: pesimisme Malthusian? -MCB

Tanggal 25-26 Oktober 2007 lalu, saya kebetulan menjadi chair dan panelist dalam International Conference on Sustainable Growth in the Asia Pacific di Kyoto University. Banyak yang dibahas, mulai perkembangan ekonomi di Asia Pacific, production-network, potensi pertumbuhan, sampai dengan masalah climate change, ketersediaan air dan aging .

Kebetulan saya menjadi panelist dari presentasi Charles E. Morison, President East West Centre. Yang menarik: Indonesia tidaklah unik. Apa yang terjadi di Indonesia terjadi juga di negara-negara lain, yang kadang-kadang dengan skala yang lebih menguatirkan. Saya ambil contoh soal angka bunuh diri. Dalam beberapa waktu terakhir, kita mencatat kasus bunuh diri terjadi, dan --selalu-- argumennya yang ditulis oleh media: kemiskinan mendorong bunuh diri. Tentu saja ada kebenaran disini. Tapi tahukah anda bahwa angka bunuh diri juga semakin meningkat dinegara-negara lain. Tebak: angka tertinggi ada di negara-negara tergolong maju seperti Eropa, Jepang, Australia dan New Zealand! Artinya argumen bahwa ini didorong oleh kemiskinan tak bisa menjelaskan pola yang terjadi secara global ini.

Dalam masalah aging, Indonesia relatif lebih beruntung dan mungkin bisa memanfaatkan situasi. Karena bersama India, prosentase penduduk berusia diatas 75 tahun terhadap total populasi relati rendah. Tahun 2050, sangat mungkin sekali ketergantungan tenaga kerja migran akan meningkat, dan Indonesia dan India memiliki potensi pekerja muda. Tentunya dengan syarat: pendidikan harus diperbaiki.

Masalah lain adalah soal keterbatasan air. Kita mengeluh soal Jawa di masa depan yang akan mengalami kekurangan yang amat serius soal air. Yang menarik: China akan punya persoalan yang tak kalah --kalau tak mau dibilang lebih -- serius dibanding kita.

Satu data lagi yang ditunjukkan oleh Charles adalah poultry density . Poultry density ini dianggap sebagai salah satu potensi sumber terjadinya penyakit seperti SARS, avian flu dsb. Yang diluar dugaan, poultry density tertinggi ada di Belanda. Namun yang perlu diingat sistem peternakan di Belanda sudah jauh lebih maju dan hati-hati. Sehingga di luar Belanda kita melihat bahwa daerah yang sangat potensial untuk mengalami persoalan adalah China, Hong Kong , Taiwan (daerah Asia Timur).

Kecederungan global yang lain adalah aktifitas anak-anak. Sekarang, dari setiap 4 anak, kurang dari 1 anak yang terlibat didalam olahraga atau aktifitas permainan di luar ruangan atau yang bersifat fisik. Aktifitas utama permainan adalah bermain computer games, membaca dan nonton TV.
Yang menarik ada data mengenai data-data kecepatan lari anak-anak untuk jarak 50 meter. Ada kecederungan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan rata-rata waktu tempuh yang dibutuhkan untuk lari 50 M meningkat, dari 8.6 detik menjadi 8.9 detik (anak laki) dan dari 8.9 detik ke 9.2 detik (anak perempuan). Artinya kecepatan lari anak-anak menurun. Rata-rata jarak lemparan permainan Soft-Ball juga menurun dari 33 M ke 29 M untuk anak laki, sedang untuk perempuan dari 20 M ke 17 M. Jadi kecenderungan kemampuan fisik turun

Data-data Morrison mengingatkan saya kepada pesimisme Malthusian dalam bentuk lain. Pesannya sebetulnya mengingatkan kita kepada dasar ilmu ekonomi: keinginan yang tak terbatas berhadapan dengan sumber daya yang terbatas. Asia Pacific akan berkembang, perdagangan barang, jasa, pasar dan ekonominya akan tumbuh. Persoalannya apakah sumber daya dan sisi supply sanggup mendukungnya. Problema dari pesimisme Malthusian adalah, kita kerap melupakan issue distribusi dan teknologi. Kita pernah melihat bagaimana rasio makanan per kapita di China meningkat, dimana pada saat yang sama kelaparan terjadi. Issue yang paling penting adalah akses. Begitu juga, hal yang kerap dilupakan adalah bagaimana manusia melakukan penyesuain ketika menghadapi sumbr daya yang terbatas. Teknologi ditemukan, subsidi sumber daya alam dicabut-- supaya konversi energi bisa terjadi. Menghilangkan subsidi untuk energi misalnya akan memban tu menyadarkan orang bahwa energi itu mahal dan tak bisa dikonsumsi semau kita. Ironis, karena pasar yang kerap dikritik tak membela lingkungan, dalam hal tertentu merupakan signal yang paling baik terhadap kekuatiran kita soal lingkungan dsb.
Dalam kasus climate change, lihat bagaimana kemudian orang bereaksi, bersama-sama berusaha mengatasi issue ini. Sejauh ini kita selalu selamat dan bisa menjawab pesimisme global ini. Apakah kali ini juga?

Tidak ada komentar: