16 Oktober 2007

Bagaimana ekonomi melihat kejahatan? - AAP

Seseorang melakukan tindak kejahatan atau kriminalitas karena ia melihat manfaat yang akan ia peroleh melebihi biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukannya. Bagi pencuri barang (mis. arloji, baju, dsb.), "manfaat" meliputi mulai barang yang ia berhasil curi sampai bahkan ketenaran dan respek di kalangan pencuri. "Biaya"-nya mungkin mencakup pengeluaran untuk membeli alat congkel, topeng, waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lain, serta kemungkinan tertangkap berikut hukumannya.

Solusi untuk mengurangi tindak kejahatan seperti di atas relatif “sederhana”. Buat biayanya lebih besar daripada manfaatnya. Namun dari daftar manfaat dan biaya bagi si pencuri di atas, hampir semuanya berada dalam kendali pencuri itu sendiri. Yang paling bisa diintervensi adalah yang biaya yang terakhir, yaitu “kemungkinan tertangkap berikut hukumannya”.

Meningkatkan “kemungkinan tertangkap” dapat dilakukan dengan polisi yang efektif, sistem pengamanan yang handal, dsb. Sementara itu, hukuman harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil insentif bagi calon pencuri. Jika kemungkinan tertangkap kecil (misalnya karena polisi tidak dapat diandalkan) maka paket hukuman harus dibuat lebih berat lagi (ya, ini membutuhkan sistem pengadilan efektif). Karena, “kemungkinan tertangkap berikut hukumannya” adalah “perkalian”: untuk mendapatkan hasil yang sama, penurunan di salah satunya harus dikompensasi oleh peningkatan di yang lain.

Hukuman tidak harus berarti penjara. Denda berupa uang adalah pilihan yang lain. Penjara dalam banyak hal mempunyai kelemahan: ia tidak memberikan pemasukan kepada negara dan jumlahnya yang terbatas tidak memadai untuk wilayah yang penjahatnya melimpah. Denda, di lain pihak, memberikan pemasukan dan tidak memerlukan ruang fisik. Kelemahan dari denda adalah ia lebih sulit dalam administrasi dan stigma yang diberikannya kepada terhukum lebih kecil daripada penjara (”Si X adalah mantan napi” lebih berat stigma sosialnya daripada ”Si Y sudah membayar denda Rp 3 milar atas korupsinya yang Rp 1.5 miliar itu”).

Intinya dengan demikian adalah, buat hukuman dalam konteks sistem insentif dan disentif. Seorang pengendara mobil yang melanggar batas kecepatan mungkin saja punya justifikasi yang bisa dibenarkan (ada penumpang yang mau melahirkan, dsb). Karena itu, akan lebih efisien jika semua pengendara tahu apa konsekuensi dari pelanggaran mereka atas batas kecepatan maksimal. Lebih bagus lagi kalau ia dibuat bertahap. Misalnya: Batas kecepatan maksimum adalah 100 km/jam; setiap kelebihan sampai 110 km/jam diganjar denda Rp 100 ribu, antara 110-120 km/jam Rp 250 ribu, dan seterusnya. Dengan demikian, setiap orang bisa ”membeli hukuman yang pantas” bagi keperluannya, sesuai dengan situasi dan kondisinya. Beberapa negara bagian di Kanada menerapkan sistem seperti ini. (Mungkin yang lebih baik lagi adalah memasukkan faktor penghasilan si pelanggar dalam formula, untuk mengakomodai efek pendapatan: ”Karena saya kaya -- bukan: karena saat ini istri saya bukaan dua-- , saya ngebut”, misalnya).

Dengan logika seperti di atas, kita mungkin akan menyimpulkan bahwa karena semakin berat ancaman hukuman, semakin kecil insentif untuk melakukan kejahatan dan bahwa hukuman paling berat adalah hukuman mati (jika denda, berapa denda yang sama nilainya dengan hukuman mati? – kita akan coba diskusikan ini lain kali), maka ancaman hukuman mati tentunya ampuh untuk meminimalkan potensi tindak kejahatan pembunuhan. Jawabnya adalah: ya dan tidak.

”Ya”, jika efek pematah semangat (deterrence effect) dari hukuman mati bagi para calon pembunuh berikutnya memang berjalan sesuai harapan. Namun, beberapa studi sampai saat ini belum bisa membuktikan hipotesis ini secara konklusif.

”Tidak”, bagi para pembunuh yang tidak melihat hukuman mati sebagai ”bad”, tapi justru sebagai ”good”. Misalnya mereka yang membunuh sembari mengatasnamakan ”jihad” dan karenanya memang berharap mati. Untuk orang-orang seperti ini (misalnya pelaku pemboman Bali 1 dan 2, Marriott, dsb.), dihukum mati justru sesuatu yang mereka inginkan. Bagaimana solusi agar baik efek hukuman dan efek deteren bisa terlaksana? Salah satunya adalah menghukum mereka seberat-beratnya -- namun tidak sampai mati. Misalnya -- sekali lagi, misalnya -- memotong tangan dan kaki mereka satu demi satu, sembari memastikan mereka tetap hidup.

Kesimpulannya, kita perlu berhati-hati dalam mendesain mekanisme untuk memastikan berjalannya sistem yang dibangun berdasarkan insentif-disinsentif.

Catatan: Bacaan yang bagus untuk topik ini misalnya adalah Economic Analysis of Law (Richard Posner) dan Law's Order (David Friedman).

9 komentar:

Anonim mengatakan...

Kalau nggak salah ada papernya Ronald Coase mengenai ekonomi kriminalitas ini. Btw, Bung Aco sejak adanya blog yang diawaki oleh Bung Dede Krugman (in terms of kepiawaian membuat economic prose, so mengapa saya sebut Krugman)dan anda sendiri, blog anda di Exegesis tidak ada topik yang baru? Apakah ini berarti sudah melakukan merger di blog baru ini?

Aco mengatakan...

Thanks, Bung. Exegesis tetap jalan kok. Memang belum banyak topik baru saja.

Anonim mengatakan...

yang membuat desain mekanisme pencegah kejahatan lebih sulit lagi:

(1) bias otak calon pelaku kejahatan dalam mensimulasikan masa depan: probabilitas apakah akan tertangkap atau tidak, seberapa tidak enak kondisi penjara jika sial tertangkap, betapa nikmatnya hasil pencurian, dan lainnya (ala daniel gilbert's stumbling on happiness)

(2) struktur dan fungsi otak pelaku yang dalam kasus-kasus tertentu memang tidak normal (psikopat, contoh klasiknya); yang artinya kalkulasi cost-benefit mereka tidak didasarkan pada asumsi yang berlaku bagi kebanyakan orang.

(3) ada beberapa riset psikologi yang menunjukkan bahwa secara umum otak remaja memiliki kelemahan dalam risk assessment, dalam artian belum 'sematang' para dewasa (young people are the best soldiers and the worst drivers). sehingga mungkin ada baiknya struktur insentif-disinsentif yang ditujukan bagi para remaja dibedakan (policy drop-out di sekolah, misalnya, yang efektivitasnya belum teruji betul secara empiris).

Aco mengatakan...

Tirta, trims atas info ini. Saya setuju bahwa sistem insentif-disisentif kalau mau sempurna harus disriminatif berdasarkan karakteristik objek. Namun, biaya untuk melakukan ini mungkin besar sekali, sehingga terpaksa harus melibatkan sedikit generalisasi (at the cost of a bit mistargeting)

Anonim mengatakan...

Tindak kriminalitas itu pd dsrnya adalah hutang.

Berly mengatakan...

Topiknya sangat mirip dengan post terakhir di youthfull insight jadi saya paste comment saya di sana.

Recent findings in behavioral economics suggested occurrence of self serving bias and under prediction of probability being caught and current (or soon to be) benefit is weighted larger than future probable punishment due to hyperbolic discounting. But in most cases it does not make reduce the right hand side value to zero.

In a dynamic and repeated game, threat of future reprise could deter from doing particular action in the present.

Michael Fanning, a US Citizen, was punished in by six canning (a mini tortured some say) in the back by bamboo in Singapore at 1994 for graffiti vandalism of spray-painting cars. It triggered a diplomatic uproar with even President Clinton pitching in to reduce the sentence (to four lashes).

The public nature of the incident and the damage to reputation seem to be the major part of the punishment, which last less than half an hour and produce no lasting physical impact. Illegal graffiti may be common in US but afterward, there were no recorded similar offense in Singapore by US citizen. So the punishment worked. I think there are some countries that still have physical punishment in their legal code.

It is interesting in the standard penal code of Islam, first time unmarried adulterer are lashed 100 timed in public and only the second time (or first time for married offender) that the death penalty is conferred. In the light of behavioral economics, after the first punishment, which rather painful while it last and hurt reputation for a long time, the offender know that next (caught) one will punished heavily and likely to able to act as deterrence.

Rajawali Muda mengatakan...

waduh dah keduluan nulis ternyata sama mas aco. tapi sumpah mas gak nyontek..

http://seguratpena.blogspot.com/2007/11/hmm-knapa-yah.html

Aco mengatakan...

no problem, zal. by the way, nice blog.

Rajawali Muda mengatakan...

thank you mas aco,..maaf kurang sering diupdate..