Di media massa kita sering mendengar dan membaca bahwa spekulan-spekulan (atau spekulator) beras (atau barang lain) harus dihukum. Benarkah mereka ini 'jahat'?
Spekulan beras (sekali lagi, atau barang lain) adalah orang yang membeli beras pada saat harganya rendah dan menjualnya pada saat harganya tinggi. Bukankan ini hal biasa, yang memang dilakukan oleh semua pengusaha, pedagang, dan mereka di bursa saham? Tapi mari kita renungkan lebih jauh.
Asumsikan dulu bahwa saat ini tidak ada program stabilisasi harga maupun larangan impor oleh pemerintah. Ekpektasi berperan penting dalam pengambilan keputusan. Ketika spekulator memperkirakan bahwa akan terjadi puso dan kekeringan atau sekedar penurunan produktivitas padi, ia memperkirakan harga beras akan naik di masa yang akan datang (cepat atau lambat). Karena itu, ia akan membeli beras sekarang, karena harganya relatif lebih murah ketimbang ekpektasi harganya di masa mendatang. Ternyata spekulan bukan hanya satu orang, tetapi banyak. Dan mereka semua berpikir sama: beli sekarang untuk dijual nanti. Karena para spekulan turun ke pasar untuk memborong beras, maka harga beras sekarang (atau tepatnya, harga sebelum 'masa akan datang' di atas terealisasi) terdorong naik.
Konsumen tentu saja tidak berpangku tangan. Dengan kenyataan harga yang bergerak naik sekarang, mereka akan lebih berhati-hati dengan pola konsumsi beras mereka. Sebagian kecil membeli dalam jumlah yang lebih besar (untuk 'stok'), namun tidak akan terlalu besar: mereka toh tidak bermaksud menjualnya seperti spekulan. Sebagian yang lain melakukan diversifikasi: memperbanyak kentang, indomie atau bahan makanan lain. Sebagian yang lain mengimpor. Efeknya adalah bahwa ketika 'saat itu' datang (saat di horison ekpektasi spekulan, di mana mereka memperkirakan akan terjadi kenaikan harga yang signifikan), harga tidak akan naik sebanyak yang dikuatirkan. Karena, para pelaku ekonomi (termasuk konsumen) telah melakukan antisipasi -- dan itu karena 'informasi' yang disampaikan secara tidak langsung oleh spekulan.
Dengan kata lain, spekulan memuluskan gejolak harga sehingga tidak terlalu fluktuatif (ya, "menstabilkan harga", jika Anda lebih suka istilah ini). Mereka membeli barang ketika mereka melihat bahwa harganya lebih rendah daripada harga ekspektasi (atau dengan kata lain: harga jangka panjang). Hal ini meningkatkan harga menuju keseimbangan. Dan mereka menjualnya ketika mereka melihat bahwa harganya lebih tinggi. Hal ini menurunkan harga menuju keseimbangan (D. Friedman, 1996).
Sesungguhnya apa yang dilakukan spekulan persis seperti apa yang diinginkan pemerintah lewat program 'stabilisasi harga' mereka. Bedanya, pada yang pertama hampir tidak ada insentif untuk melakukan korupsi.
11 komentar:
Menarik sekali menyimak analisis yg politically incorrect ini.
Mengapa arbitrase (beli murah, jual mahal) dianggap praktek biasa di pasar saham dan tertiary goods (emas, berlian etc) tp tidak di primary goods khususnya makanan.
Analisis musti dikembangkan dari standar neo klasik. Akerlog dan Yellen (QJE, 1990) telah mengembangkan konsep fair wages dari social psychology and social exchange theory in sociology dimana pekerja menurunkan effort jika mendapat gaji yang dianggap tidak adil.
Pembahasan tentang fairness dalam economics behaviour sedang menjadi salah satu fokus utama dalam behavioral economics (click here) karena pengaruhnya yang nyata.
Dalam konteks beras sebagai komponen besar pengeluaran rakyat miskin dapat dipostulasikan bahwa mereka mengangap kenaikan harga sebagai sesuatu yg tidak fair dimana kehilangan purchasing power di saat Iedul Fitri yang secara tradisi merupakan periode high spending.
Sense of injustice ini juga di cermati oleh pemerintah (or if you are more cynical, yang ingin menjaga dukungan mejelang pemilu) sehingga diambil langkah2 menghalanginya.
Baca juga artikel menarik tentang consumer perception of (un)fair price (click here) karya Bolton, Warlop dan Alba di J. of Consumber Behaviour 2003.
Berly, sorry saya agak sukar mendapatkan poin komentar Berly. Bisa dijelaskan? Thanks.
Saya setuju bahwa scr umum spekulan tidak evil, tapi dalam konteks Indonesia saya tengarai ada spekulan yang memanfaatkan kelemahan sistem transportasi dan distribusi komoditas (terutama komoditas pertanian) untuk secara artifisial mengurangi stock di pasar sehingga harga naik sangat tinggi. Di daerah-daerah spt Papua, Kalimantan, Ambon dan pulau-pulau di Indonesia bagian timur lainnya, tidak begitu mudah memperoleh alternatif lain (contohnya untuk BBM), dan stok baru tidak bisa cepat disalurkan (dan mungkin juga memang sudah terjadwal penyalurannya, dengan jumlah kuota tertentu, dan spekulan tahu ini krn dia kerjasama dgn perencana/ pemerintah). Jadi dalam konteks di mana supplier tidak banyak dan kuantitas barang terbatas, sedangkan komoditas tsb berupa kebutuhan pokok, tidak heran ada keinginan membuat spekulasi ilegal.
Fantarara, kalau begitu problemnya adalah sistem transportasi dan distribusi. Itu yang harus dibenahi.
Co, I agree, I'm just trying to give rational on why people think spekulan is evil. Upaya membuat spekulasi illegal itu shooting the wrong target, tapi transport dan distribusi dari dulu sampai sekarang kok nggak lancar-lancar (malah tambah parah). In the meanwhile, what can be done?
Btw, what's the difference between this blog and the cafe?
Lyd, thanks for the clarification. Untuk transportasi dan distribusi, tampaknya masalah utamanya adalah infrastruktur yang parah dan pungli di jalan (LPEM, 2005, 2007). Saya akan coba elaborate ini nanti pada postingan2 mendatang. Thanks.
Blog ini (rencananya) berbeda dengan Cafe Salemba dalam hal kedalaman analisis dan target pembacanya. Intinya ia mencoba memberikan perspektif lain dari apa yang selama ini kita baca/dengar dari media massa. Semoga ada gunanya :-)
Mas Aco,
Setelah baca ini saya jadi ingat dalam ilmu ekonomi: "the market is always innocent until proven guilty, while the government is always guilty until proven innocent".
Pasha, ungkapan yang menarik... dan dalam :-)
Sorry baru back online nich setelah lebaranan. Dan maaf bahasanya njelimet.
Komen diatas tentang sense of justice yang menyebabkan spekulan "dituduh" berbuat hal yg buruk karena mereka mendapat keuntungan tanpa banyak bekerja pada komoditi yg memakan proporsi besar dari income mereka.
Akibatnya ada tuntutan publik untuk peran pemerintah dalam mengurangi evil spekulator.
Lain hal kalau publik dapat merasakan manfaat dari spekulan beras yg mengurangi harga beras di kala demand tinggi. Hmm... kalo dipikir2 maka Bulog adalah spekulan par excellance
lalu bagaimana halnya dengan spekulan minyak sekarang ini pak aco?
biar bagaimanapun saya tidak setuju jika insentif dibiarkan mengalir untuk sektor yang tidak produktif seperti kegiatan spekulasi.
logika sederhana saya mengatakan mengalirnya insentif untuk sektor-sektor yang tidak menghasilkan nilai tambah seperti itu hanya akan memperkecil output perekonomian karena ada sebagian orang yang tidak produktif dan menjadi benalu bagi kegiatan produktif orang lain.
Saya kira yang dimusuhi masyarakat bukan tipe spekulan yang digambarkan di tulisan di atas, tapi tipe spekulan yang sengaja menahan barang ketika langka karena mengharap harga masih naik lagi. Tipe terakhir ini adalah spekulan yang memperparah volatilitas harga, bukan menguranginya. Berita kasus penimbunan itu biasanya bukan di saat pasokan berlimpah, tapi saat pasokan langka.
Posting Komentar