29 September 2007

Ideologi kebijakan ekonomi : sebab atau akibat? - MCB



Kita kerap begitu terpukau dengan hal-hal besar, dengan motif-motif besar. Mungkin karena itu banyak hal dicoba dijelaskan dengan motif politik. Kita kerap berpikir: ada permainan politik dibalik setiap sikap. Segala sesuatu harus punya motif. Ia harus bisa diterjemahkan dalam konteks: atau kiri atau kanan.

Satu hal yang kerap dicoba diterjemahkan dalam konteks ideologi adalah kebijakan ekonomi di Indonesia. Penjelasan kebijakan ekonomi kerap dikungkung dalam dikotomi atau "kiri" atau "kanan", atau neo liberal atau sosialis. Salah satu yang menarik dilihat adalah deregulasi ekonomi di Indonesia. Dalam pertengahan tahun 1980 an misalnya kita melihat deregulasi ekonomi dilakukan. Pertanyaannya: apakah ini pertanda kemenangan ideologi liberal yang ditunjukkan dengan menguatnya peran teknokrat? Atau transformasi ideologi kaum teknokrat yang tahun 1970an lebih cenderung sejalan dengan Keynesian menjadi pro pasar?

Saya kira kita harus berhati-hati menyimpulkan. Saya sepakat dengan apa yang ditulis Walter Falcon dari Stanford University tentang Widjojo Nitisastro, yang dianggap sebagai tokoh utama kelompok teknokrat. Ia menulis : Profesor Widjojo jelas bukan penganut aliran Chicago School, terutama dalam pandangannya tentang subsidi. Ia sangat pragmatis dan tidak dogmatis, bahkan kadang-kadang ia mendorong perlunya penggunaan subsidi input seperti pupuk. Jika teknokrat yang kala itu dipimpin Widjojo dianggap bukan penganut Chicago School yang merupakan garda terdepan libertarian, bagaimana kita menjelaskan aspek ideologi liberal dibelakang deregulasi ekonomi di Indonesia kala itu?

Saya punya dugaan bahwa aspek perdebatan ideologis dalam kebijakan ekonomi di Indonesia belumlah sedemikian matangnya. Yang terjadi sebenarnya hanyalah satu proses keputusan ekonomis rasional tentang pilihan kebijakan yang paling menguntungkan bagi target pemerintah. Menguntungkan disini harus diterjemahkan dalam artian memiliki biaya ekonomi dan politik yang paling murah.

Kita dapat menjelaskan argumentasi ini dengan menggunakan teori optimisasi produksi. Bayangkan sebuah pemerintah yang ingin memproduksi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menciptakan lapangan kerja dan menjaga inflasi yang rendah (dicerminkan dengan isoquant IC), dengan menggunakan dua input kebijakan: mekanisme pasar (M) dan intervensi pemerintah (G).

Dalam era 70 –an ketika dana minyak tersedia , pilihan kebijakan non-pasar dan proteksionis -- dengan intervensi pemerintah-- adalah input yang relatif murah secara ekonomi dan politik dibading mekanisme pasar. Hal ini disebabkan karena tersedianya dana minyak, sehingga proyek yang tak efisien dan tak kompetitif dalam persaiangan pasar pun dapat diproteksi dan disubsidi. Karena itu pemerintah cenderung lebih bersifat intervensionis. Titik keseimbangan terjadi pada titik A dimana input kebijakan yang bersifat meknaisme pasar adalah sebesar M1 dan Intervensi pemerintah sebesar G1.

Namun dalam pertengahan tahun 1980 an ketika harga minyak jatuh dibawah $ 10 per barrel pemerintah tak lagi punya uang. Akibatnya kebijakan yang bersifat proteksionis tidak bisa sepenuhnya dipertahankan. Implikasinya input dalam bentuk kebijakan intervensionis menjadi relatif lebih mahal ketimbang kebijakan yang pro pasar --yang berkonotasi liberal-- Disini terjadi perubahan harga relatif dari input intervensi pemerintah terhadap mekanisme pasar, dimana mekanisme pasar menjadi relatif lebih murah.

Bagaimana caranya pemerintah dapat mempertahankan targetnya dalam situasi seperti ini? Jawabannya: untuk output yang tetap (isoquant IC yang sama) harus dicari kombinasi input yang lebih murah. Perubahan harga relatif ini tercermin dari bergesernya iscost, sehingga titik keseimbangan baru terjadi pada titik B, dimana peran dari mekanisme pasar menjadi meningkat (dari M1 ke M2) sedang peran intervensi pemerintah menurun (dari G1 ke G2).

Dengan penjelasan ini kita dapat melihat bahwa ‘peran ideologis’ seperti liberalisme dengan segala accessories nya hanyalah sebagai "akibat" pilihan kebijakan dan bukan merupakan "sebab". ‘Peran ideologi’ menjadi kurang relevan disini. Yang ada hanyalah sebuah upaya mempertahankan sasaran pembangunan -- pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penciptaan lapangan kerja dan inflasi yang rendah -- dengan input mekanisme pasar dan intervensi pemerintah yang paling murah.

Kita ingat: sebelum konprensi APEC, tahun 1994 di Bogor, liberalisasi adalah kata yang tabu dalam ekonomi Indonesia. Tetapi setelah Soeharto sendiri menggunakan kata itu dalam konprensi APEC di Bogor, maka kata itu menjadi resmi di terima. Namun ketika reformasi ekonomi yang terjadi tahun 1998 menuntut liberalisasi lebih jauh, dimana harga yang harus dibayar oleh reformasi menjadi demikian mahalnya karena menyentuh berbagai ekonomi rente dari para crony capitalist dan tersudutnya kepentingan ekonomi kelompok yang mengindentifikasikan dirinya sebagai ‘nasionalis’, maka kita kemudian mendengar berbagai pernyataan yang mengejutkan mengenai tidak cocoknya paket liberalisasi dengan jiwa ekonomi Indonesia.

Disini kita melihat: sulit untuk mendapatkan kesimpulan tunggal tentang apsek ideologis dari kebijakan ekonomi Indonesia. Yang terjadi tidak lebih sekedar tarik menarik kelompok kepentingan dalam pilihan kebijakan. Bingkai ideologi tidak berperan dalam bentuk keyakinan berdasarkan argumen filosofis yang dalam. Yang terjadi hanyalah bagaimana upaya mempertahankan legitimasi regim dengan pelbagai alasan ideologis. Dengan kata lain masalah nya bukanlah soal "liberal" atau "bukan liberal", tetapi lebih kepada seberapa jauh kelompok kepentingan terancam oleh meknaisme pasar atau terproteksi oleh intervensi pemerintah. Jika benar begitu, mungkin ideologi dalam kebijakan Indonesia lebih merupakan akibat ketimbang sebab.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Hurrah!!! Ini baru namanya Arianto Krugman...semoga bisa menjelaskan ekonomi dengan jauh lebih simpel ketimbang Johnorford eh...John F. Nash...

Anonim mengatakan...

Manakah yang lebih baik, berangkat dari sebuah ideologi (menjadi sebab) ataukah bersifat pragmatis (menjadi akibat) saja seperti kebijakan ekonomi Indonesia?
Menurut saya yang penting bukan ideologinya tapi fungsi objectivenya yang memang untuk rakyat. Tapi pernahkah hal itu terjadi "penghayatan" terhadap fungsi objective yang luhur?

Aco mengatakan...

no-absolute-truth, ekonom "mesti"-nya akan sulit menjawab pertanyaan "mana yang lebih baik", karena kami dilatih untuk menjawab "apa itu" atau "apa yang terjadi jika..."

Tentang "fungsi objektif yang luhur", mungkin bisa lebih spesifik maksud pertanyaannya?