Oleh Syarief Syahrial
Seperti kita tahu, berkaitan dengan BBM terdapat jenis pajak daerah di tingkat provinsi yaitu Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) tarif 5%. Memang namanya adalah pajak daerah tetapi, secara hakikat, mekanismenya adalah bagi hasil. Mengapa? Jika ia pajak provinsi, maka yang memungut seharusnya adalah pemerintah provinsi cq. SKPD yang berwenang dalam mengelola pendapatan daerah. Penerimaannya adalah 5% dikali dengan nilai jual objek pajak atau dalam hal ini harga jual dikali volume BBM. Saat ini, besaran penerimaan PBB KB untuk setiap provinsi diperoleh dari data Pertamina yang menentukan besaran konsumsi BBM setiap provinsi. Karenanya, jenis pajak ini bersifat “no effort” dari pemerintah provinsi seperti halnya Pajak Penerangan Jalan Umum di tingkat kabupaten/kota yang ditentukan oleh PLN. Implikasinya, kebenaran penerimaan PBB KB bagi masing-masing provinsi hanya Pertamina yang tahu. Kita pun dapat mengecek kebenaran data konsumsi BBM sebagai dasar asumsi dari penentuan besaran subsidi BBM dengan data konsumsi yang menjadi basis membagi Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
Memang ide ini hanya untuk jenis BBM yang digunakan kendaraan bermotor padahal subsidi BBM juga berkaitan dengan subsidi minyak tanah sehingga tentu besaran target pengurangan subsidi tidak bisa 100% tercapai dibandingkan dengan penggunaan cara yang diambil oleh Pemerintahan SBY saat ini. Ide saya adalah mengubah jenis PBB KB dari pajak provinsi menjadi pajak pusat. Sesuai dengan teori, objek pajak yang bersifat “mobile” seharusnya menjadi pajak pemerintahan yang lebih tinggi. Definisi “mobile” ini yang lalu menjadi pertanyaan. Tadinya, saya berpikiran untuk tetap menjadikan PBB KB ini menjadi pajak provinsi dengan menaikkan tarifnya dari 5% menjadi 30%. Implikasinya, jika Pemda tidak mau harga BBM naik di daerahnya, ia bisa menggunakan instrumen ini dengan memindahkan subsidi BBM dari APBN menjadi beban APBD. Tokh, kita tahu juga masih banyak Pemda yang surplus anggarannya pada saat pemerintah pusat menjalankan sistem penganggaran yang defisit. Namun, mekanisme ini akan membuat kita tidak terhindar dari potensi masalah arbitrase.
Dari kondisi ini, seharusnya PBB KB menjadi Pajak Pusat yang memang pada prakteknya merupakan mekanisme bagi hasil. Sebagai kompensasi, PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) menjadi pajak daerah yang memang objek pajaknya bersifat “immobile” dan selama ini secara riil berperilaku seperti Pajak Daerah padahal secara de jure ia melalui mekanisme bagi hasil. Apakah ini mengurangi pendapatan dalam APBN? Ya. Namun, tokh, selama ini PBB 100% dibagihasilkan 90% untuk daerah (termasuk bea pemungutan) 10% untuk pusat. 65% dari 10% milik pusat dikembalikan lagi dengan asas sama rata serta 35% dibagi lagi ke daerah untuk insentif bagi daerah yang "over-target". Jadi tidak bersisa, bukan? Sekarang, sedang digodok perubahan UU 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Mungkin ini pula kesempatan bagi pusat mengubah jenis pajak ini. Ada banyak pihak yang takut jika mekanisme seperti ini, disparitas fiskal antar daerah meningkat. Bedakan harga tanah di DKI dengan harga tanah di Bangka Belitung. Jauh bukan? Tetapi, jika mekanisme PBB-KB juga benar, maka tentu timbul disparitas yang besar pula antar DKI Jakarta dan Babel secara jumlah dan kualitas kendaraannya jauh berbeda.
Bagaimana mekanisme dari pajak pusat untuk bahan bakar kendaraan bermotor ini? Menurut saya, ini dilakukan dengan teknik “ditumpangkan” di kantor Samsat (sekarang namanya Unit Pelayanan Teknis Daerah Dispenda Provinsi) ketika kendaraan bermotor melakukan pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Cara ini juga diikuti dengan penelitian ilmiah berapa rata-rata kilometer suatu kendaraan dalam satu tahun ia lewati. Sangat gampang pula kita mengetahui rasio kompresi berapa kebutuhan BBM (liter) untuk satu kilometer nya. Dengan cara ini kita akan tahu perkiraan kebutuhan BBM dalam satu tahun. Bagaimana jika kilometer nya melewati asumsi pengenaan? Kita juga dapat mengenakan pajak terhadap kilometer yang ia lewati seperti yang dilakukan oleh Denmark. Bagaimana jika orang bisa me-reset tera pada speedometer? Tentu ini juga dikenakan denda maksimum.
Teknik “ditumpangkan” ini juga mencontek apa yang dilakukan pada PBB selama ini. Dimana PBB, Pajak Pusat, dipungut oleh Dispenda Kabupaten Kota. Nantinya, Dispenda mendapatkan 10% berupa Bea Pemungutan. Berbeda dengan PBB yang sangat high effort, PBB KB relatif sangat mudah dilakukan karena berbarengan dengan saat pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor. Jadi, misalnya diberi Bea Pemungutan 5%, untuk aparat Samsat dan Polantas, merupakan kontribusi yang sangat besar bagi mereka. Teman saya polisi yang takut membawa duit haram untuk makanan anak istri, jadi bersemangat untuk “merazia” kendaraan-kendaraan bermotor yang tidak bayar pajak.
Sebenarnya, di Indonesia saat ini pun ada juga Pajak Kendaraan Bermotor di atas air maupun Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor di Atas Air. Sehingga, mekanisme yang sama pun bisa diberlakukan untuk pemilik kapal nelayan. Tapi, implementasinya di lapangan sangat sulit. “Kurang galak” aparat hukumnya dibandingkan dengan nelayan.
Hanya ada kelemahan memang dari ide ini, yaitu sulitnya kita menjamin mekanisme arbitrase yang dilakukan oleh SPBU secara langsung baik dengan menjual BBM ke industri maupun ke luar negeri. Itu jelas memerlukan pemikiran lebih lanjut.
*** Peneliti LPEM-FEUI
2 komentar:
Mas Syarief yang baik,
Kalau tidak salah tangkap, ide penerapan PBB KB ini adalah upaya mengkoreksi inefisiensi dari subsidi harga komoditasnya (BBM). Masalahnya, pajak yang dicoba dipergunakan untuk meng-undo efek dari subsidi harga ini tidak akan menimbulkan in-efisiensi jika tipenya lump-sum atau pure income effect. Otherwise tetap ada deadweight loss bukan? Nah kira-kira tipe pajaknya itu apa ya?
Mohon pencerahan...
terima kasih infonya
Posting Komentar