07 April 2008

Kendala Sisi Penawaran: Infrastruktur dan Logistik (2/4) -- Arianto A. Patunru


Infrastruktur

Targat pertumbuhan ekonomi pemeritahan SBY sebesar 7% akan sulit tercapai kecuali jika dilakukan perbaikan signifikan terhadap infrastruktur (LPEM-FEUI 2005a). Kondisi infrastruktur yang dianggap paling menghambat oleh pelaku bisnis terdapat di jalan, listrik, pelabuhan, air, dan telekomunikasi (LPEM-FEUI 2006, 2007a). Tidak memadainya infrastuktur menurut Kong dan Ramayandi (2008) disebabkan oleh tiga faktor: kurangnya alokasi anggaran, penggunaan yang tidak optimal atas anggaran yang ada, serta koordinasi yang buruk antara yurisdiksi. Sayangnya, partisipasi swasta juga masih kurang. Narjoko dan Jotzo (2007) mencatat bahwa pihak swasta tidak banyak terlibat dalam proyek-proyek infrastuktur karena sektor perbankan domestik juga enggan mengucurkan kredit ke sektor tersebut, implementasi dari kebijakan infrastruktur tidak efektif, serta banyak proyek infrastruktur harus beroperasi di bawah kondisi non-pasar: jasa infrastruktur kebanyakan harus dijual pada harga jauh di bawah biaya pengadaannya.

Dalam hal listrik, adalah benar bahwa penjualan PLN (dengan pertumbuhan rata-rata 15%) telah melebihi dua kali lipat penjualan sebelum krisis (Bank Dunia, 2004). Namun permintaan dan kebutuhan akan listrik pasca krisis tumbuh jauh melebihi kemampuan penyediaannya. Akibatnya, dengan tarif yang dipatok, seringkali terjadi pemutusan aliran listrik – kondisi yang sangat merugikan terutama bagi industri. Sekalipun waktu untuk mendapatkan sambungan baru tidak terlalu lama, masalah lebih besar timbul ketika perusahaan ingin meningkatkan kapasitas terpasangnya. Seringkali perusahaan harus membeli transformer sendiri lalu melakukan skema bagi-biaya dengan PLN: tarif lebih rendah selama periode waktu tertentu sampai transformer dinyatakan menjadi milik PLN dan tarif dinaikkan kembali. Biaya pembelian tansformer sendiri tidak kecil: untuk ukuran menengah sekitar Rp 500 juta.

Gambaran yang hampir sama terjadi dalam hal penyediaan air. Dalam sebuah survei (LPEM-FEUI, 2005a) responden dari kalangan industri melaporkan bahwa dalam 6 bulan mereka mengalami masalah serius dengan air rata-rata sebanyak 29 kali (berkaitan dengan bau, warna, serta pemutusan aliran air). Karena kapasitas yang terbatas, PDAM memang memprioritaskan pelayanan kepada rumah tangga ketimbang industri. Akibatnya kebanyakan industri menggunakan sumber air sendiri (umumnya sumur dalam) untuk tujuan produksi dan hanya menggunakan air yang disediakan PDAM untuk kebutuhan aktivitas kantor. Sama halnya dengan PLN, PDAM juga menawarkan skema bagi-biaya, yang umumnya dimanfaatkan oleh industri yang berada di lokasi jauh dari pipa distribusi air. Pengusaha akan menanggung biaya instalasi pipa dari terminal air terdekat ke lokasi industri.

Dalam hal telekomunikasi, gambarannya tidak separah listrik dan air. Survei LPEM tahun 2005 tersebut melaporkan rata-rata 9 kali gangguan serius dalam 6 bulan pada sambungan telpon tetap yang dioperasikan oleh PT Telkom. Namun pertumbuhan yang sangat pesat dari industri telpon seluler tampaknya telah membantu meringankan masalah dalam hal telekomunikasi. Studi LPEM-FEUI (2007a) melaporkan bahwa jumlah sambungan telpon seluler untuk setiap 100 individu di wilayah tertentu (’teledensitas’) pada tahun 2005 meningkat lebih dari 20 kali sambungan pada thaun 1999.

Tidak ada komentar: