28 April 2008

Ekonomi Politik Beras (3) - AAP

Berikut adalah poin-poin presentasi saya dalam sebuah seminar tentang kebijakan perberasan di Indonesia beberapa waktu lalu, di Jakarta.

Ekonomi Politik Beras
Arianto A. Patunru

Indonesia ikut dalam arus liberalisasi ekonomi sejak tahun 1980an. Puncaknya terjadi pada saat krisis, ditandai dengan paket reformasi IMF 1997/98. Untuk beras, hambatan impor ditiadakan.

Namun, proteksi untuk kembali marak tahun 2000-2004. Untuk beras, tarif khusus sebesar Rp430/kg dikenakan untuk impor pada tahun 2000. Tarif ini naik menjadi Rp750/kg pada tahun 2003. Selain tarif, juga ada hambatan non-tarif, seperti kuota impor. Pada tahun 2004-2006 impor dilarang sama sekali (kecuali jika dilakukan oleh Bulog dengan ijin pemerintah). Sebagai akibatnya, perbedaan di antara harga internasional dan harga domestik semakin besar. Perbedaan ini tercermin pada kecenderungan tingkat nominal proteksi (NRP). Artinya, harga domestik dipengaruhi oleh proteksi perdagangan.

Khusus untuk beras yang menarik adalah: Indonesia adalah konsumen neto beras, tapi permintaan untuk proteksi sangat kuat. Mengapa? Siapa sebenarnya yang diproteksi?

Tujuan pemerintah sehubungan dengan beras adalah 1) menjaga "stok aman", dan 2) menjaga kestabilan harga. Selama ini impor selalu ditentang oleh pihak-pihak seperti HKTI, FPSI, DPR, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, pengamat, bahkan banyak ekonom. Apakah tujuan ini benar dan mengapa impor selalu ditentang?

Indeks kemiskinan naik 1,8 basis point dari 16% pada bulan Februari 2005 menjadi 17,8% pada bulan Maret 2006. Pada periode tersebut harga beras naik 33%. Dengan elastisitas indeks kemiskinan terhadap perubahan harga beras sebesar 0.04, maka setidaknya 72% dari kenaikan ndeks kemiskinan disebabkan oleh kenaikan harga beras. Dan kenaikan harga beras terutama disebabkan oleh proteksi berupa larangan impor. Artinya, proteksi justru menjadi penyebab kenaikan jumlah orang miskin. Siapakah yang paling diuntungkan? Pemilik sawah, pedagang perantara, dan sejumlah kelompok kepentingan lainnya. Siapa yang dirugikan? Sebagian besar masyarakat miskin, terutama petani pekerja yang tidak memiliki tanah (menanam padi sebagai pekerjaan, tapi harus membeli beras untuk makan). Tentu saja anggapan bahwa kenaikan harga beras bisa memberi insentif pemilik sawah untuk menambah petani pekerja. Artinya, harusnya ada penciptaan lapangan kerja yang baru atau peningkatan pendapatan petani pekerja yang sudah ada. Penelitian Warr (2005) dengan model keseimbangan umum menemukan bahwa dampak positif tidak langsung itu ternyata lebih kecil dari dampak negatif langsung kenaikan harga beras.

Konsekuensi dari proteksi. Untuk kasus restriksi impor sangat mungkin yang menjadi korban adalah mereka yang paling miskin. Terdapat 82% dari seluruh rumah tangga di Indonesia yang merupakan konsumen neto beras; 93% rumah tangga perkotaan dan 63% rumah tangga pedesaan tidak menanam padi; dan 9% dari rumah tangga pedesaan yang menanam padi ternyata adalah konsumen neto. Selanjutnya, lebih dari 28% pengeluaran rumah tangga termiskin (desil atau persepuluh terbawah dari urutan rumah tangga berdasarkan pendapatan) adalah untuk makanan (25% untuk beras sendiri). Artinya, kenaikan harga pasti memukul masyarakat miskin. Termasuk petani, dan terutama petani pekerja.

Untuk kasus restriksi ekspor, saat ini berita bahwa Indonesia surplus beras masih sangat diragukan. Pertama, bulan Desember yang lalu Indonesia masih dalam kondisi butuh tambahan impor. Kedua, terjadi kekeringan dampak El Nino tahun lalu dan kebanjiran sebagai dampak La Nina di banyak sentra produksi. Ketiga, harga yang tetap tinggi menunjukkan bahwa secara nasional, kuantitas yang tersedia di pasar relatif tidak mencukupi permintaannya (harus diingat bahwa sayang sekali tidak ada data produksi maupun konsumsi yang dapat dijadikan dasar keputusan impor atau tidak). Sentra produksi seperti Sulawesi Selatan bisa saja (dikabarkan) kelebihan, tapi sentra konsumsi di tempat lain kekurangan (bahkan beberapa sentra produksi tradisional juga masih kekurangan). Berarti masih ada masalah besar dengan distribusi. Kelima, produktivitas di Indonesia masih sangat rendah.

Lalu, bagaimana menjelaskan kenyataan bahwa proteksi tetap kuat, sekalipun yang dirugikan lebih banyak daripada yang diuntungkan? Model dan teori politik tradisional seperti "political support model", "majority voting model" dan "median voter model" tampaknya tidak dapat menjelaskan fenomena di Indonesia (dan juga di negara-negara lain) mengenai paradoks proteksi ini. Kelihatannya model "collective action" Mancur Olson yang paling bisa menjelaskan situasinya. Dalam hal ini kita bisa menjelaskan mengapa kelompok konsumen (atau tepatnya konsumen neto) yang jumlahnya besar "dikalahkan" oleh kelompok produsen yang berjumlah lebih kecil. Sebabnya adalah, bagi kelompok konsumen, biaya koordinasi tinggi sekali sementara manfaat yang bisa didapat, sekalipun besar secara total, harus dibagi sehingga masing-masing mendapatkan bagian yang kecil – sangat mungkin, lebih kecil daripada biaya untuk berkoordinasi. Di lain pihak, kelompok produsen jumlahnya kecil sehingga biaya koordinasinya juga relatif kecil. Sebaliknya, manfaat yang mereka bisa dapat lebih besar sekalipun dibagi di antara mereka. Bagaimana memecahkan masalah ini? Olson menganjurkan agar ada sistem insentif selektif untuk mengurangi biaya koordinasi kelompok konsumen. Misalnya dengan perwakilan yang diberi insentif untuk mewakili mayoritas. Dalam praktiknya, ini mungkin bisa diwujudkan dalam bentuk lembaga konsumen (sayang sekali YLKI tampaknya tidak "terlalu peduli" dengan masalah ini).

Selain logika aksi kolektif, paradoks proteksi beras juga mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan murni (pure ignorance) bahwa yang dirugikan adalah petani pekerja yang miskin dan/atau semata ideologi. Eksperimen kecil yang dilakukan terhadap sekelompok petani pekerja, petani pemilik lahan, masyarakat umum, dan mahasiswa menunjukkan bahwa ada ketidaktahuan di kalanagan masyarakat umum dan mahasiswa tentang fakta konsumen neto di atas. Juga, sekalipun mereka semua setuju bahwa "inflasi itu tidak baik", mereka tidak tahu bahwa beras memegang peran besar dalam keranjang komoditi untuk menghintung inflasi. Akan halnya ideologi, secara sosial, masyarakat Indonesia sudah terlanjur percaya bahwa Indonesia adalah negara agraris dan bahwa "petani harus dilindungi". Sayangnya, "ideologi" ini kadang diterima begitu saja tanpa mau peduli bahwa "petani yang dilindungi" ternyata bukanlah petani yang termiskin. Ia menafikan para komponen masyarakat miskin lainnya yang jelas-jelas adalah konsumen: buruh angkut, nelayan, tukang becak, dsb.

Apa solusi dari semua ini? Jelas ini bukan hal yang mudah. Untuk jangka panjang, sudah saatnya memfokuskan "revitalisasi pertanian" pada isu produktivitas dan perbaikan infrastruktur untuk distribusi, ketimbang melulu berfokus pada kebijakan harga (HPP, subsidi pupuk, dsb) dan restriksi impor. Dalam jangka pendek, pangkas subsisdi BBM dan gunakan dananya untuk membantu petani miskin lewat program bantuan langsung tunai (kondisional atau tidak) atau uang-untuk-kerja (cash for work).

7 komentar:

Anonim mengatakan...

Apalagi tulisan yang satu ini, tidak memberikan pengetahuan apa2 selain kegamangan.
inikah nasib ekonom kita?
inikah yang namanya seminar nasional?ha2...kalo saya yang bayar seminar, pasti nyesel...
Maaf saya kasar...
ini karena saya jengkel...
barangkali karena wacana2 anda semua ini, negara kita jadi hancur...

anda sebaiknya merubah paradigma keilmuan anda!

salam Giy...

Aco mengatakan...

Giyanto, percayalah, blog ini memang "tidak akan memberikan pengetahuan apa2 selain kegamangan" kepada Anda. Saran saya, hindari blog ini.

Sonny Mumbunan mengatakan...

Teori "Collective Action" dan soal beras: Catatan untuk Arianto A Patunru

Persoalan beras di Indonesia adalah ruwet. Menyebut ruwet, saya mengakui fakta bahwa produksi dan merosotnya nilai beras disebabkan banyak hal. Bagi ekonom Arianto A Patunru, distorsi perdagangan dalam impor beras (juga ekspor), adalah duduk soal masalah beras.

Saya tidak akan memberi catatan tentang hal ini. Dalam tulisan yang kaya analisa di blog Diskusi Ekonomi itu, Patunru juga mengajukan model teoretik ekonomi-politik proteksi beras. Fokus catatan saya terbatas pada pokok ini. Secara lebih khusus lagi, pada hubungan antara petani - sebagai produsen beras - dengan konsumen beras.

Tindakan kolektif dan model Olson

”Bagaimana menjelaskan kenyataan”, tanya Patunru, ”bahwa proteksi tetap kuat, sekalipun yang dirugikan lebih banyak daripada yang diuntungkan?”

Dalam usahanya menjawab pertanyaan ini, wakil direktur di Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia ini mengajukan beberapa teori dan model. Bagi Patunru, model ”collective action”, yang saya alihbahasa sebagai tindakan kolektif, adalah model yang barangkali paling mampu menjelaskan situasi proteksi beras di Indonesia. Ekonom Mancur Olson adalah sosok yang pertama kali menggembangkan model ini.

Sejauh pemahaman saya, Patunru melakukan kekeliruan dalam menerapkan model Olson.

Hemat saya, ada dua hal yang tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lainnya, ketika merujuk model Olson. Pertama, teori kelompok. Kedua, penyediaan atau provisi barang publik; di sini, penyediaan barang publik merupakan common interest seluruh agen dalam grup atau kelompok.

Disertasi Olson, yang kemudian diterbitkan dengan judul The Logic of Collective Action – Public Goods and the Theory of Groups (1965), berangkat dari teori theory of groups berikut komposisi agen dalam (defined) group tersebut untuk menjelaskan, mengapa barang publik tersedia atau tidak tersedia. (Dalam buku tersebut, Olson sering mempertukarkan barang publik dengan barang kolektif.) Dimensi penting dalam jejalin penjelasan antara komposisi kelompok dan barang publik, adalah apa yang di kemudian waktu dikenal mahasiswa fakultas ekonomi sebagai perilaku penumpang gelap, free-riding behavior.

Sebagai contoh: petani dan irigasi. Dalam contoh sederhana ini, untuk menjelaskan komposisi grup, kita punya petani berlahan kecil, atau petani penggarap, juga petani berlahan besar. Semuanya kita sebut sebagai agen dalam defined group bernama petani. Lalu, apa barang publik yang hendak mereka sediakan? Misalnya pengadaan irigasi. Mengapa disebut barang publik, karena sekali irigasi tersedia, siapapun bisa menggunakannya, meski tidak ikut dalam penyediaan atau pengadaan atau pemeliharaan irigasi tersebut. Ekonom punya penyebutan khas tentang hal ini, yakni non-excludability -- salah satu karakter penting (selain non-rivalry, atau persaingan dalam konsumsi) untuk barang publik.

Irigasi tidak tersedia bila di antara petani saling berharap, bahwa ada petani lain di luar dirinya yang akan melakukan. Petani bersangkutan tinggal makan untung, alias jadi penumpang gelap. Irigasi bisa pula tersedia, misalnya, andai petani berlahan besar merasa bahwa irigasi terlalu penting bagi lahannya, sehingga ia menanggung semua biaya pengadaan irigasi sendiri, walaupun tidak didukung petani berlahan kecil; dan walaupun nanti, petani kecil itu ikut menikmati fasilitas irigasi tersebut. Olson menyatakan hal terakhir ini dengan eskpresi ”eksploitasi si besar oleh si kecil”.

Setiap petani dalam grup tersebut memiliki kepentingan yang sama: tersedianya irigasi. Yang berbeda adalah usaha yang dilakukan setiap petani (yang heterogen kepemilikan lahannya) dalam grup petani tersebut. Ada yang mendapat untung lebih besar dibanding usaha yang diberikan dalam bekerja sama menyediakan irigasi. Ada pula yang menanggung biaya lebih besar relatif atas sumbangannya bagi penyediaan barang publik. Dalam jargon ekonom, para petani di sini punya marginal rate of return yang berbeda-beda dari biaya, atau upaya, yang mereka berikan untuk pengadaan barang publik.

Penting untuk dicatat, asumsi perilaku dalam model Olsonian adalah setiap agen merupakan self-regarding subjects. Saat mengambil keputusan, satu-satunya rujukan agen dalam dunia Olsonian adalah keuntungan (payoff) bagi dirinya.

Interaksi anggota kelompok

Sekarang, mari perhatikan grup dalam konteks penjelasan Patunru. Terdapat dua grup berbeda: konsumen beras dan produsen beras. Tidak seperti para petani dalam contoh irigasi di atas, kepentingan kedua kelompok ini berbeda. Konsumen ingin impor, produsen tidak ingin beras impor.

Tidak terdapat common interest di antara para agen, konsumen dan produsen beras, dalam kelompok Patunru itu. Apa barang yang dapat dikategorikan publik atau kolektif terkait kepentingan kedua kelompok ini? Tidak ada. Dalam penjelasan Olsonian, (penyediaan) beras seperti dalam kasus ini masuk kelompok barang non-kolektif. Dengan kata lain, Patunru tidak bisa menggunakan model Olsonian untuk menjelaskan interaksi antar agen seperti yang dia bayangkan dalam tulisannya.

Secara teoretik, kenapa persoalan tindakan kolektif menjadi penting? Sesungguhnya, karena para angggota kelompok tidak bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, yakni pengadaan barang publik. Lebih tepat lagi: karena agen (dianggap) self-interested, tidak ada insentif untuk bekerja sama. Walaupun keuntungan bersama lebih besar.

Padahal, bila bekerja sama, mereka bisa menyediakan barang publik. Keuntungan bersama (social welfare) lebih besar dibanding manfaat orang per orang. Akan halnya bila anggota kelompok tidak bekerjasama, barang publik tidak bakal tersedia. Di sini, barang publik dilihat sebagai perlu. Dalam bahasa teknis ekonomi, bila tidak bekerja sama, hasil yang dicapai adalah pareto inferior. Andaikata berlangsung kerja sama antar anggota kelompok, hasilnya pareto superior, yakni barang publik menjadi tersedia. Karenanya, antara lain, dibutuhkan koordinasi antar pelaku dalam grup. Inti dari mengatasi problem tindakan kolektif sesunggunya adalah upaya merubah hasil inferior menjadi superior. Pareto adalah nama ilmuwan sosial dari Italia yang lahir di Perancis.

Untuk konteks interaksi yang digambarkan Patunru, model Olson barangkali bisa digunakan untuk menganalisa kelompok konsumen. Misalnya, mengapa para konsumen beras (sampai saat ini) tidak berhasil bekerjasama menuntut beras murah berkualitas, atau membiarkan impor berlangsung. Pengadaan beras adalah barang publik dalam contoh ini. Analisa tersebut dapat pula dipakai untuk melihat kelompok produsen. Sebagai contoh, mengapa para produsen beras berhasil mengatasi persoalan kerjasama dalam menggolkan kebijakan larangan impor. Tetapi model Olson tidak untuk dipakai dalam interaksi konsumen vis-a-vis produsen ala Patunru, dua grup yang punya kepentingan berbeda atas pengadaan beras.

Setelahnya, andai interaksi antar agen telah dimodelkan dengan benar, baru insentif selektif ala Olson bisa dikenakan.

Insentif dan preferensi sosial

Di titik ini, kita mesti awas dengan catatan yang lain. Terkait insentif, seperti telah saya singgung sekilas di atas, anggapan fondasi-mikro preferensi dari pelaku dalam model Olsonian berangkat dari asumsi neo-klasik. Semua pelaku dianggap adalah self-interested agents. Dalam kalimat sehari-hari, semua anggota masyarakat adalah egois. Amartya Sen, pemenang nobel ekonomi, menyebut agen macam demikian ”social morons”.

Riset serius behavioral economics menunjukkan, bahwa asumsi demikian kurang akurat; asumsi itu hanya salah satu penjelas laku manusia, bukan satu-satunya. Telaah atas karya Olson dilakukan oleh ekonom Todd Sandler dalam Collective Action – Theory and Applications (1992). Saat mengantar buku tersebut, Olson mengakui keterbatasan teorinya. ”Reality is so complex that very simple general principles can almost never apply (without exception) to all cases,” tulis Olson.

Saya ingin menyisipkan satu catatan kecil tentang preferensi. Sekali preferensi sosial diintegrasikan ke dalam model interaksi (baca: agen mangacu pula pada payoff agen lain, bukan cuma dirinya, saat mengambil keputusan), equilibrium (keseimbangan) menjadi tidak lagi tunggal dan unik, seperti dalam model kanonik Teori Permainan, yakni Selfish Nash Equilbrium. Dalam model preferensi sosial, equilibrium menjadi multiple.

Selfish Nash Equilibrium adalah proposisi yang digunakan dalam teori tindakan kolektif Olsonian. Sementara, menurut behavioral economics, Teori Permainan hanya mampu memprediksi beberapa Nash equlibirium yang akan dimainkan, ”but not which one.”

Lantas, kombinasi strategi mana yang diambil pelaku? Equilibrium mana yang menjadi hasil tindakan? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah perkara empiris. ***

Diambil dari http://nomordelapan.blogspot.com

Aco mengatakan...

Sonny yang baik, terima kasih atas komentar Anda yang mencerahkan ini. Senang sekali Anda mau berbagi dengan kami dan pembaca Diskusi Ekonomi.

Tentang mekanisme interaksi dalam kerangka Olsonian, saya setuju bahwa ia akan relevan ketika berbicara tentang dua agen yang mempunyai kepentingan yang beririsan. Maka itu, dalam tulisan saya, ketika mengaplikasikan interaksi Olsonian ke dalam bingkai teori permainan, agen-agennya adalah Net Consumer 1 dan Net Consumer 2. Dengan cara pikir yang sama, kita bisa deduksi interaksi antara (Net) Producer 1 dan (Net) Producer 2. Memang konsep interaksi antara dua kelompok utama (Produsen dan Konsumen) menjadi konsep relatif, yang masing-masing dijelaskan oleh interaksi di dalam sub-kelompok itu.

Terima kasih. (Saya akan coba posting tabel payoff-nya nanti).

NasrudinBlog mengatakan...

Salam Mas Aco,

Mungkin perspektif stabilisasi harga bisa sedikit menjelaskan eksistensi distorsi perdagangan internasional beras(baca:with tariff dan no tariff).

Salah satu konsekuensi paket reformasi 97/98 adalah di'abolish'nya peran bulog sebagai single import monopolist. Sehingga peran lembaga ini sebagai penyelanggara buffer stock beras juga tereduksi. Akibatnya, tidak ada lagi instrumen stabilisator harga beras domestik.

Pengganti atau tepatnya pendamping dari peran kecil bulog saat ini dalam mempengaruhi supply (saya istilahkan semi-buffer stock)adalah instrumen trade untuk menstabilkan harga beras domestik. Yaitu with tariff and no tariff. Sehingga harga domestik terisolasi dari harga internasional baik sebagian atau sempurna(jika mungkin).

Pertanyaan lebih lanjut adalah, tentunya ada welfare effect dari stabilisasi dengan skema ini. Baik terhadap konsumen, produsen dan govt. budget. Effisienkah?

Cheers

Agus Mebel mengatakan...

terima kasih informasinya Gan......
ikut promosi juga nieh...


Kami menyediakan berbagai kerajinan Jepara baik itu Furniture dan Aksesoris Jepara untuk rumah anda bisa melihat diwabsite kami http://tokojati.com/ dengan harga menarik untuk produk-produk berkualitas dari kami. Segera Pesan Harga sangat kompetitif dan Barang produksi kami di jamin berkualitas dan bermutu tinggi dengan harga yang tetap terjangkau dengan budget anda.........
Jangan pernah ragu mengenai kwalitas Furniture Dan Aksesoris http://tokojati.com/ karena pengerjaan produk-produk tokojati.com selalu diawasi dengan ketat dengan standart kwalitas pada perusahaan kami sehingga kami berani menjamin bahwa produk-produk tokojati.com selangkah lebih maju dari produk-produk Furniture Dan Aksesorislain yang berada dipasaran. dan yang paling penting ” kepercayaan da kepuasan konsumen sangat kami utamakan

sablon cup mengatakan...

keren artikelnya. thank's.

www.kiostiket.com