29 Desember 2007

Faktor non-ekonomi - MCB

Ketika saya kuliah dulu, ada satu mata kuliah yang diberi nama Faktor Non-Ekonomi dalam Pembangunan. Pengajarnya: Prof. Dordojatun Kuntjoro-Jakti. Dordojatun adalah dosen yang baik dalam membawa mahasiswa untuk tertarik terhadap sesuatu hal. Didalam kelas ini kita belajar berbagai hal, soal-soal non ekonomi, yang berpengaruh dalam pembangunan ekonomi. Bagi ekonom, ini adalah hal yang amat penting. Karena kritik yang sering muncul mengatakan bahwa ekonom kerap tak mengindahkan faktor non-ekoonomi. Saya kira kritik ini punya dasarnya, namun ada baiknya kita tak membuat faktor non-ekonomi sebagai kerangjang sampah penjelas semua faktor. Artinya ketika kita tak mampu menjelaskan sesuatu hal, maka kita kemudian mengatakan soalnya adalah non-ekonomi, soalnya adalah budaya, atau soalnya adalah moral. Bila ini terus terjadi, faktor non-ekonomi menjadi pelarian dari semua kegagalan analisis. Karena itu saya ingin menunjukkan bahwa berbagai hal yang dianggap sebagai faktor non-ekonomi dan kerap dianggap sebagai penjelas motif ekonomi pun ternyata tak sebaik penjelasan ekonomi.

Misalnya soal korupsi. Kita sering mendengar bahwa korupsi adalah bagian dari budaya kita. Bahkan ada antropolog dan sosiolog yang secara spesifik merujuk kepada pola dan perilaku pada suku tertentu. Misalnya, suku Jawa, Dijelaskan bahwa struktur Deva Raja dan Priyayi (yayi itu artinya adik raja) telah tumbuh sejak dulu. Dan dalam sejarahnya Deva Raja memberikan hak tanah kepada priyayi untuk kemudian disewakan. Priyayi kemudian membayar upeti dan begitu seterusnya. Artinya komersialisasi jabatan telah terjadi sejak dulu. Upeti adalah bagian dari budaya Jawa. Yang menarik: pola yang sama juga terjadi diberbagai belahan bumi termasuk di Cina, di Afrika dan Amerika Latin. Kalau kita percaya bahwa penjelasannya adalah budaya Jawa, maka itu berarti kita juga percaya bahwa pengaruh budaya Jawa sebegitu kuatnya, sehingga mempengaruhi kebudayaan Cina, di Afrika dan juga Amerika Latin. Rasanya agak terlalu fantastis menyimpulkan begitu. Saya kira analisa benefit dan cost masih mampu menjelaskan korupsi. Korupsi akan selalu terjadi ketika "manfaat" dari tindak korupsi lebih besar dibanding "biaya atau pengorbanan" yang harus ditanggung ketika orang melakukan aktifitas korupsi. Jika pengawasan tak ada, maka praktis biaya melakukan korupsi nol. Dalam sistem seperti ini secara rasional orang akan cenderung korup. Karena itu walau Indonesia adalah negara Pancasila atau negara dengan penduduk Muslim terbesar tak ada jaminan bahwa korupsi akan kecil. Apapun budayanya, latar belakangnya selama sistem yang ada tak membuat biaya melakukan korupsi lebih besar dibanding manfaatnya orang akan korup. Kita melihat di negara yang agnostic tingkat korupsi justru rendah. Apakah kita lalu menyimpulkan bahwa karena ia agnostic maka ia tidak korup? Kalau kita percaya ini, artinya kita cenderung suka kepada fantasi.

Soal lain adalah keserakahan. Kapitalisme erat dan selalu dikaitkan dengan keserakahan. Bahkan sebagian dari kita mungkin masih ingat kepada film kuno dari Oliver Stone yang berjudul Wall Street. Disana ditampilkan tokoh Gordon Gekko (yang diperankan oleh Michael Douglas dengan sangat baik). Gekko adalah prototipe orang yang berani dengan tegas mengatakan Greed is good. Dengan lancar Gekko akan berbicara dan mengutip Giambattista Vico dari abad ke 18 yang mengatakan: justru dari kebengisan dan ambisi manusia telah lahir berbagai hal yang baik di dunia. Bukankah keserakahan yang telah mendorong orang untuk menemukan teknologi untuk menjadi lebih. Kita cenderung sepakat dan mengatakan bahwa tindakan ekonomi kerap didorong oleh keserakahan. Jika kita percaya itu, ada baiknya kita membaca Thomas Sowell dalam bukunya Basic Economics: A Citizen's Guide to the Economy. Dengan baik Sowell menulis:
Jika greed menjadi penjelas harga-harga yang mahal dalam transaksi ekonomi, maka pertanyaannya adalah mengapa harga berbeda dari satu tempat ke tempat lain? Apakah keserakahan bervariasi sebesar itu dan memiliki pola yang sama? Di Los Angeles basin misalnya, rumah tepi pantai lebih mahal ketimbang rumah sejenis yang terletak di daerah yang berkabut. Apakah ini berarti udara yang bebas kabut akan mendorong keserakahan, atau kabut membuat keserakahan menurun?

Sowell tentu agak sedikit sinis didalam penjelasannya. Tetapi ia kemudian menjelaskan bahwa pesoalannya bukanlah keserakahan tetapi lebih karena interaksi antara hukum permintaan dan penawaran. Tentu supply dan demand bisa dijelaskan lebih kompleks lagi dan akan ada diskusi yang amat panjang soal ini. Namun yang ingin saya katakan,ketidakmampuan kita didalam analisis seringkali membuat kita mencari alasan dengan mengatakan bahwa soalnya adalah faktor non-ekonomi atau kalau tdak kita lari kedalam penjelasa teori konspirasi. Kalau benar begitu teori konspirasi dan faktor non-ekonomi akan mirip seperti obat gosok dikaki lima yang sanggup menyembuhkan semua penyakit mulai dari jantung, gatal-gatal, kanker sampai encok --artinya ia sanggup menjelaskan semua hal.

14 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya pikir kekurangan banyak ekonom (terutama di negara berkembang) adalah sering mengabaikan "faktor non ekonomi" ini. Hukum ekonomi berjalan tidak didalam ruang hampa, tapi dia bergerak didalam dimensi ruang dan waktu, yang bisa bervariasi antar tempat dan hari.

Saya teringat, misalnya, istilah resource curse. Ada banyak negara yang mengalami ini, seperti Nigeria Indonesia jg termasuk rasanya . Tapi ada negara yang berhasil memanfaatkan kekayaan sumber daya yang dimilikinya, Bostwana misalnya. Penjelasan yang relevan adalah karena perbadeaan kualitas faktor institusi sehingga kemampuan memanfaatkan sumberdaya antar negara itu berbeda. Disini hukum ekonomi memang bisa menjelaskan, resources mendorong growth, tapi tergantung variabel non ekonomi (kualitas institusi).

Anonim mengatakan...

Analisi cost benefit korupsi memang betul bisa menjelaskan maraknya korupsi. Tapi, saya pikir ini baru satu tahap analisis. Pertanyaan selanjutnya, kenapa cost korupsi di Indonesia tidak bisa rendah? Ini mungkin terkait penegak hukum yg jg korup, penegakan hukum lemah, kualitas hukum buruk, aparat birokrasi jg rusak, sistem politik yg tidak bisa mengakomodasi suara publik, dll.

Kenapa semua yg lemah dan rusak ini terjadi? Mungkin jawabannya diluar wilayah analisis ilmu ekonomi. Faktor budaya, agama, sejarah, politik mungkin saja jawabnya. Lihat misalnya: Daniel Treisman (2000). The causes of corruption: a cross-national study. Journal of Public Economics 76 (2000) 399–457

Anonim mengatakan...

*) seharusnya "cost korupsi di Indonesia tidak bisa tinggi?" :-)

dede mengatakan...

Dendi, saya setuju sekali. Tapi yang orang sering lupa, faktor non-ekonomi, selama ia berhubungan dengan choice pun, masih bisa dijelaskan dengan framework ekonomi. Lihat Becker, Levitt, Acemoglu (mengenai institusi) dsb. Yang saya harus hati-hati adalah kita menjadikan faktor non-ekonomi sebagai scape goat, --seperti error term dalam persamaan econometrics

Roby mengatakan...

Juga sebaliknya, ekonom sering lupa bahwa hal2 yang berhubungan dengan choice dan dijelaskan melalui insentif pun belum berupa penjelasan yang lengkap.

Masalahnya adalah adanya pengaruh sosial yang menyebabkan bagaimana insentif terstruktur sebagaimana yang diamati, dan bagaimana aktor menerapkan makna dan nilai terhadap struktur insentif tersebut.

Analisa untuk menjelaskan bagaimana munculnya struktur insentif dan/atau bagaimana preferensi individu terbentuk berada di luar kerangka analisa ekonomi yang mengharuskan analisis sosial, budaya, sejarah. dan psikologi.

Roby mengatakan...

Oh ya, karena posting ini seolah2 mengimplikasikan analisa budaya sebagai fantasi, ini ada paper yang memberi argumen kenapa faktor sosial budaya perlu secara serius dipikirkan dalam masalah korupsi.

Anonim mengatakan...

Bang Dede & Robby,
Ini menjadi menarik kalau kita membahas choice principle dalam ilmu ekonomi, karena ini adalah "the heart of economic analysis". Ekonom selalu percaya bahwa orang bergerak berdasarkan insentif dan disinsentif, dengan pola increasingly monotonic jika insentif/disinsentif bertambah.

Ada kritik yang cukup mendasar terhadap aliran ekonomi klasik dalam choice analysis ini. Ternyata, ada saat dimana sistem in/disinsentif ini tidak berjalan karena faktor psikologi, atau faktor lain (kultur, dll). Misalnya: literature tentang crowding out motivation menyebutkan insentive justru bisa menurunkan effort seseorang (Frey, 2001). Ini terjadi tak lain karena ada intrinsic motivation. Orang bertindak tidak hanya berdasarkan insentif yg diberikan (external insentif) (Krep, 1997). Tapi, mungkin ada motivasi di internal tiap orang yang mungkin berbeda antar kepala, suku, agama, atau bangsa. Kedua hal ini diadopsi dari temuan di psikologi, karena ketidakmampuan analisis konvensional 'ala classical economics. Mungkin perlu juga kita melihat masalah di Indonesia dengan kerangka ini. Mungkin ada faktor-faktor unik yang membuat analisis classical economics tidak sepenuhnya pas.

*)Frey, Bruno S and Jegen, Reto (2001). Motivation Crowding Out Theory. Review Economic Surveys. Vol. 1(5), page 589-611.
**)Kreps, David M (1997). Intrinsic Motivation and Extrinsic Incentives. American
Economic Review, Vol. 87(2), page 359-364.

Anonim mengatakan...

Wah ini diskusi yang menarik. Ayo kawan-kawan kerahkan daya pikir dan nalar kalian. Saya yakin, blog produktif semacam ini akan melahirkan pemenang Nobel Ekonomi pertama di Indonesia.

Oh ya, berkaitan dengan diskusi faktor non-ekonomi ini dan juga terkait dengan isu global warming, hingga saat ini AS tidak mau meratifikasi Kyoto Protocol mengenai pengurangan emisi GHG, saya membaca statement Nordhaus yang mengatakan kalau kebijakan2 GHG reduction lebih berbahaya daripada tidak melakukan apa pun terhadap economic growth. Nah, kalua cuma melihat economic growth lalu merusak kan berbahaya. Oleh karenanya perlu pandangan non-ekonomi dalam mengkaji GW tak hanya semata memuaskan rasionalitas ekonomi. Ini akan jadi not cool.

Anymatters mengatakan...

kalau korupsi bernilai 200 miliar, sementara beli celana bahan cuma berharga 200 ribu perak itu faktor apa ya?

dede mengatakan...

Anymatters, korupsi tetap bisa terjadi pada level konsumsi dan pendapatan berapapun. Jadi bukan berarti kalau korupsi 200 miliar dan harga celana bahan hanya 200 ribu maka korupsi hanya didorong oleh soal greedy. Ketika pengawasan rendah, dan "manfaat dari korupsi besar", berapapun pendapatan anda atau berapapun kecilnya kebutuhan konsumsi anda, insentif untuk korupsi akan besar. Di AS, Eropa atau Jepang, harga barang relatif mahal, mestinya kalau menggunakan logika "pengaruh harga kebutuhan terhadap korupsoi" maka tingkat korupsi harus tinggi. Tetapi korupsi yang tinggi justru terjadi di Indonesia, Afrika yang harga barangnya relatif murah

Anonim mengatakan...

Mohammad Chatib Basri (MCB) menaikkan pokok pentingnya peran faktor non-ekonomi dalam keputusan ekonomi. Terima kasih untuk postingnya. MCB menyebut contoh semisal budaya, keserakahan, sebagai contoh.

Dalam ilmu sosial, dalam mana ilmu ekonomi adalah anggota keluarga, "kagak-nyambungnya" bahasan bidang yang satu dengan yang lain, adalah perkara besar. Sosiolog bicara manusia yang sosial, sementara ilmu ekonomi bicara manusia yang self-regarding. Yaitu, Homo ekonomikus.

Game theory telah berhasil membantu menjembatani secara metodologis ketaknyambungan semacam itu. Lebih tepat lagi, behavioral game theory (BGT), dalam mana kesepadanan insentif (dari game theory klasik) dan keberagaman preferensi manusia (dari behavioral science) di akomodasi.

Yang mutakhir, BGT berhasil menyatukan antropolog, ekonom, dan sosiolog untuk bersama-sama secara lintas-ilmu mendekati pokok investigasi dengan perangkat metodologis yang bisa diterima berbagai bidang ilmu. Hasil kerja bersama itu bisa dilihat antara lain dalam Heinrich Dkk, Foundations of human sociality, (2004). "Versi singkatnya", terbit di American Economic Review dalam salah satu edisi tahun 2001. Menarik, salah satu komunitas skala kecil yang dikaji, adalah komunitas pemburu ikan paus di pulau Lamalera, Nusa Tenggara Timur. Kontribusi para ilmuwan ini dapat ditemui di jurnal Science, Nature, Journal of Theoretical Biology, dll.
Ilmu ekonomi (baca: ilmu ekonomi neoklasik) memang menganggap manusia memiliki preferensi homogen. Menyebut homogen, di sini bermaksud kerangka fondasi-mikro pilihan-pilihan manusia, bukan perihal ‘saya suka pisang dan Anda suka jeruk’.

Dalam ekonomi neoklasik, preferensi dianggap konsisten. Teguh bagaikan gunung. De Gustibus Non Est Disputandum: soal selera itu tak bisa diperdebatkan, seperti tidak bisanya kita mendebatkan gunung Rocky Mountains, meminjam Joseph Stigler dan Garry Becker (1977). Hal ini telah diberikan catatan oleh Akhmad Rizal Shidiq, yang menanggapi MCB. Tapi, Rizal terkesan tetap berangkat dari paradigma neoklasik. Misalnya soal maksimisasi, meski dalam tanggapannya ia menyebut nama-nama seperti Daniel Kahneman. Dalam penjelasan selanjutnya, Rizal berjalan di bawah terang Imperialisme Ilmu Ekonomi ala Stigler/Becker (baca: ekonomisasi bidang-bidang ilmu lain), bukan dalam kerangka kontribusi atau pencapaian ilmu ekonomi eksperimental yang ia bicarakan).

BGT adalah bidang yang berkembang. Kontribusinya tidak sedikit bagi pemahaman atas perilaku ekonomi dan sentimen moral ekonomi. Sedikit sejarah memberi perspektif pada kalimat ini. Generasi pertama BGT dipelopori Maurice Allais, penerima Nobel Ekonomi 1988, tentang aspek nonlinear dalam teori expected utility. Generasi kedua, dipimpin oleh Vernon Smith, juga penerima Nobel Ekonomi, 2002. Riset awal Vernon mendukung model aktor manusia yang rasional dan self-interested. Generasi ketiga di isi oleh Amos Tversky dan Daniel Kahneman, keduanya psikolog. Kahneman memperoleh Nobel Ekonomi bersama-sama dengan Vernon Smith.

Lalu generasi keempat. Di garis depan terdapat antara lain ekonom Werner Gueth (penemu ultimatum game) atau ilmuwan politik Elinor Ostrom (kerap mengkahi perihal kelembagaan dan penadbiran sumberdaya common-pool). Yang terakhir, generasi kelima, dipimpin oleh ekonom Ernst Fehr. Generasi ini mempertajam capaian generasi keempat, dengan sumbangan baru, bahwa agen ekonomi juga berperilaku other-regarding. Dan perilaku ini bukan anomali, tapi sebuah sentimen moral ekonomi yang absah.

Mengikuti Rizal, saya turut berharap bahwa perkembangan di atas ini juga dapat menjadi bagian kurikulum di fakultas-fakultas ekonomi kita di Indonesia.

Seperti disebut di atas, riset ekonomi eksperimental dan behavioural science mutakhir menunjukkan bahwa preferensi manusia tidak homogen seperti dianggap ekonom neoklasik. Tapi heterogen dan bersyarat.

Homo ekonomikus bukannya tidak hidup. Dalam riset ekonomi eksperimental, ia tetap muncul, bahkan menguat dalam beberapa setting kelembagaan mirip pasar. Tetapi, mengatakannya sebagai satu-satunya motiv, atau sebagai motiv yang terpenting, seperti lazimya kita temukan dalam banyak pendapat “pakar” atau “ekonom”, haruslah dianggap sebagai pendapat tidak akurat, kalau bukan menyesatkan.

Bidang-bidang tersebut juga menunjukkan bahwa pertimbangan cost and benefit dalam keputusan ekonomi, bukan satu-satunya desiderata. Dalam banyak konteks, ini malah bukan desiderata sama sekali. Misalnya soal costly punishment seperti ’biarin gua rugi, yang penting gua bisa balas ama lu’. Hal mana lazim kita temukan dalam evolusi preferensi dan pelembagaan norma dalam banyak masyarakat. Ini terang-terangan tidak seturut dengan konsistensi preferensi ala Stigler/Becker di atas.

Ini juga, barangkali akan sulit diterima MCB, yang masih berangkat dari analisa Cost-Benefit sebagai pegangan analisa insentif. Tipikal dalam analisa seperti MCB, adalah membuat biaya melakukan sesuatu – semisal korupsi atau pencurian – menjadi lebih mahal. Ekonom Ari Perdana, secara mengagetkan, bahkan mengajukan solusi potong jari (baca: tak sampai mati tapi sakit bikin kapok) sebagai solusi optimal mengurangi kejahatan. Albert Hirschman (1985, dalam Gintis/Bowles/Boyd/Fehr 2005, Moral Sentiments and Material Interests), mengkritik kebijakan ekonomi semacam itu, kemudian sebagai gantinya – dalam hemat dia – mengajukan kebijakan publik lebih efektif yang mampu memengaruhi "citizen values and behaviour codes".

Literatur tentang Crowding-Out effects menunjukkan bahwa dalam beberapa hal insentif ekonomi malah berkemungkinan memiliki efek sebaliknya, misalnya penurunan supply. Contohnya bisa dilihat dalam donor darah yang berkurang, karena pendonor ditawarkan uang. Atau, keingingan civil-duty yang dihancurkan mekanisme insentif harga. (Lihat misalnya, Frey/Oberholzer-Gee, 1999, The cost of price incentive ..., American Econ.Rev. 87/4)

Tolong koreksi bila saya salah. Apa yang saya tangkap, MCB hendak mendekati bidang lain atau factor lain yang ia sebut non-ekonomi dengan perangkat ilmu ekonomi seperti Cost-Benefit analysis. MCB punya kerendahan hati untuk tidak abai apalagi menafikan aspek "non-ekonomi", tapi masih menggunakan peranti standar atau framework "ilmu ekonomi". Ini lebihkurang mirip dengan semangat ekspansi ilmu ekonomi ala Stigler/Becker, sering disebut sebagai "Economics Imperialism", untuk memahami bidang-bidang "non-ekonomi" lain. Pisau analisanya tetap ekonomi neoklasik. Bila pemahaman saya benar, MCB barangkali akan kesulitan mendekati apa-apa, kalau bukan ditolak para kolega kita di ranah ilmu sosial.

(Bahkan, dengan posisi epistemologi seperti saya ini, sahabat saya Fadjar Thufail, antropolog LIPI itu, masih "menertawakan" saya).

Sementara, pencapaian BGT terkini, yang saya sebut di atas, mendekati persoalan sosial tanpa pretensi (apriori) apapun berkait hakekat perilaku manusia. Artinya, dalam fondasi mikro keputusan manusia, subjek bisa berperilaku self-interested atau menunjukan social preferences, atau bahkan berganti-ganti, tergantung kelembagaan interaksinya. Kelembagaan itu antara lain tersedianya kemungkinan untuk menghukum, komunikasi antar subjek, interaksi yang berulang-ulang, kadar kepemilikan informasi, nilai dominan anggota masyarakat, dll. Di sini, sosok yang gemar membantu orang lain, mungkin menjadi sangat egois. Sebagaimana seorang altruis dapat menjadi penghukum yang tega. Di sini, aspek "non-ekonomi" menjadi mungkin didekati lebih elegan, serius, dan produktif. Tanpa perlu saling "mengiri", atau "berbangga diri", antara bidang ilmu sosial yang satu dengan yang lain.

Benar adanya: Ilmu ekonomi telah memberikan sumbangan besar dalam memahami masyarakat. Dan akan terus demikian. Potensi sumbangan itu akan jauh lebih bermakna bila model pilihan individu dan interaksi antar manusia dalam ilmu ekonomi menggunakan model yang lebih akurat dibanding model homo ekonomikus.

Sonny Mumbunan
Belajar ekonomi eksperimental dari Urs Fischbacher (Universitaet Zurich) dan Daniel Houser (George Mason University). Menulis disertasi ekonomi pada Helmholtz Center for Environmental Research (UFZ) Leipzig, Jerman.

ki joko mengatakan...

Faktor non-ekonomi menjadi keranjang sampah, ya mungkin kalo nggak salah kata Douglas North karena ketidak mampuan ekonom meng internalize faktor non-ekonomi ke dalam modelnya. Sedangkan skrg, jawaban seorang ekonom harus ada angkanya, kalo nggak jarang yg mau bayar.

Anonim mengatakan...

You damn right Mr.Sonny, semoga pemikiran-pemikiran ekonom semacam anda berkembang pula di tanah air mengingat kompleksitas permasalahan multidimensional yang kita hadapi saat ini tak bisa hanya diselesaikan dengan analisis ekonomi semata meskipun analisis ekonomi tersebut 'dengan rendah hati meminjam' analisis ilmu sosial lainnya tetapi tetap dengan mindset economic, tak begitu banyak hasilnya. Fakta yang nyata adalah terpuruknya rakyat kita meski konsep 'pertumbuhan' selalu dipuja-puja dan dikejar. Pemikiran semacam Bung Sonny ini juga kita harapkan mekar sebagai counterbalance legacy neoclassical economics yang banyak diamini di negeri ini meski realitas getir masih menganga di depan mata kita. Bravo Bung Sonny dan Bung Roby.

Rizal mengatakan...

Sonny, tentang pencapaian ilmu ekonomi eksperimental, seperti saya tulis, saya mencatatnya sebagai sebuah potensi yang menjanjikan terobosan untuk sebuah, katakanlah, revolusi sains ala Thomas Kuhn. Hanya saja, ilmu ekonomi neoklasik, sampai sekarang kelihatannya masih dapat terus menghindar dari krisis yang menjadi prasyarat revolusi tersebut.

Hanya saja belakangan memang kelihatannya kemajuan metodologi ilmu sosial tidak akan dicapai melalui revolusi atau gebrakan besar, tetapi sebuah kemajuan yang sifatnya sedikit-sedikit atau marjinal, yang membantu kita memahami persoalan secara lebih terang secara bertahap.

Dengan kata lain, orang-orang yang tidak sabar mengharapkan obat gosok kaki lima yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit (sosial) dengan seketika, barangkali perlu bersiap-siap untuk kecewa.