04 Oktober 2007

Penurunan tingkat bunga - AAP


Dalam posting sebelumnya, Dede menjelaskan mengapa penurunan SBI tidak diikuti oleh turunnya tingkat bunga perbankan. Akibatnya, sektor riil tidak bergerak banyak seperti yang diharapkan. Penyebabnya adalah ketidakmampuan bank-bank membedakan peminjam berdasarkan risikonya. Karena bank bersifat menghindari risiko (risk averse) maka mereka akan cenderung menggabungkan keseimbangan tingkat bunga bagi "debitur nakal" dan "debitur baik". Ini yang disebut pooling equilibrium.

Gambar di sebelah ini meminjam konsep Rothschild-Stiglitz tentang seleksi yang meleset (adverse selection), yang biasanya diterapkan di pasar asuransi. Kita meletakkan tingkat bunga pada sumbu horisontal dan pinjaman di sumbu vertikal. Kurva merah menunjukkan perilaku "debitur nakal" dan kurva biru "debitur baik" (ditunjukkan oleh kurva utility). Garis lurus merah dan biru menunjukkan pinjaman ("balas jasa") masing-masing tipe debitur ini, jika bank dapat membedakan mereka dengan baik. Garis lurus ini adalah tingkat bunga yang dikenakan dikali dengan probabilita macetnya kredit. Karena kredit macet lebih mungkin terjadi pada debitur nakal, maka garis merah lebih datar daripada garis biru.

Jika bank bisa membedakan debitur, maka ia akan mengenakan tingkat bunga iB untuk debitur nakal dan iA untuk debitur baik. Ini bersesuaian dengan satu tingkat pinjaman yang diharapkan. Maka, keseimbangan terjadi di titik A untuk debitur baik dan B untuk debitur nakal.

Kenyataannya, informasi bersifat asimetrik. Bank tidak bisa membedakan debitur. Di sisi lain, debitur nakal maupun debitur baik lebih menyukai titik A ketimbang titik B (karena tingkat bunga yang rendah). Debitur nakal akan selalu mencoba tampil sebagai debitur baik, agar bisa terhindar dari membayar tingkat bunga yang lebih tinggi.

Untuk meminimalkan risiko, bank tidak akan mengenakan tingkat bunga di iA. Tetapi, meletakkannya di iB juga akan berisiko kehilangan sebagian besar debitur baik. Karena itu, bank akan mencari satu keseimbangan gabungan di antara A dan B. Pada akhirnya, di pasar biasanya akan lebih banyak debitur nakal ketimbang debitur baik.

Jadi, jika Bank Indonesia menurunkan tingkat bunga ke iA, belum tentu perbankan akan mengikutinya, seperti kesimpulan Dede di bawah. Implikasinya, upaya menggerakkan sektor riil tidak bisa hanya mengandalkan penurunan suku bunga acuan. Permasalahannya justru di informasi yang asimetrik. Di sinilah perlunya membangun biro kredit yang meminimumkan risiko adverse selection.

7 komentar:

Anonim mengatakan...

Bung Aco, apa (ji) itu biro kredit?

Aco mengatakan...

Jef, begini Ces, bayangkan ketika seorang calon debitur mempertimbangkan untuk meminjam uang di bank. Sebelum ia berangkat ke bank, ia menghubungi biro kredit (di negara maju, cukup dengan online) untuk memastikan apakah credit history-nya benar. Jika ada kesalahan, ia bisa dispute dan minta dikoreksi. Ketika ia sampai ke bank, bank akan menghubungi biro kredit yang sama (atau tidak, tapi fully integrated) dan mengecek sejarah kredit si calon debitur. Ini bisa mengurangi risiko dari informasi yang asimetrik.

Anonim mengatakan...

Berarti ada biro kredit untuk perorangan/badan usaha kecil, BU men dan BU atas.

Aco, misalnya biro kredit tsb terimplementasi dgn baik, grafik spt di atas pd dasarnya msh berlaku. Cuma terkesan lebih legitimate aja berdsrkan klasifikasi biro kredit untuk kredit yg di-approve, krn yg di-approve pun msh memiliki kelas2 tersendiri.

Kemudian, memberikan kesempatan pemain lain u/ mengambil keuntungan yg bisa membahayakan ekonomi nasional sec keseluruhan. Spt halnya, sub prime mortgage di US yg masuk di titik B yg dibeli oleh para spekulan.

Atau, cara lain dgn berdagang iA dgn iB.

Bahkan mungkin, berdagang iA dan iB dengan i obligasi pem.

Apakah kebebasan moneter spt ini yg didambakan di neg tercinta? Apakah kita siap?

Aco mengatakan...

Pada akhirnya, biro kredit bisa banyak dan bisa swasta. Tentu saja kelas-kelas kredit masih ada. Tapi yang paling penting adalah informasi menjadi lebih simetrik. Betul bahwa masih ada risiko spt kejadian subprime mortgage di US. Jika di tempat yang cenderung lebih terbuka informasinya masih bisa terjadi seperti itu, apalagi yang tingkat asimetriknya lebih tinggi (kita ketebetulan tidak terlalu kena dampak subprime karena kita belum banyak bermain di CDO).

Anonim mengatakan...

Biro kredit di neg maju mungkin memiliki kredibilitas dan integritas yg tinggi. Saya takut kalau di Indonesia malah dipakai sbg sarana competitive intelligence di dlm sektor riil, dimana tujuan mencapai info yg simetrik disalahgunakan. Akhirnya, satu orang mengendalikan semuanya.

Anonim mengatakan...

Selain screening dan verification by independent third party, Bank dapat juga melakukan mechanism design untuk atasi asymetric info problem.

Incentive compability (IC) constraint dan individual rationalty (IR) constraint akan menyebabkan debitur reveal their type (debitur nakal atau debitur baik).

Masalahnya, salah satu kebijakan yang umum muncul adalah pengurangan ratio pinjaman - jaminan yang akan mengurangi akses kredit atau memacu permainan nilai jaminan (extra verification cost).

hotradero mengatakan...

Salah satu masalah lagi yang mungkin bisa timbul adalah - bahwa kalau bunga tetap diturunkan dan debitur nakal tetap bisa dapat kredit (dengan bunga lebih rendah dari seharusnya) maka - bisnis yang dihuni oleh debitur baik dan debitur nakal - akan menjadi tidak sehat.

Debitur baik akan berada dalam posisi disadvantage. Dan dalam bisnis yang persaingannya tinggi - maka tindakan ini bisa bersifat predatoris, yang nantinya akan diisi oleh debitur nakal hingga jenuh...

Bila terjadi oversupply (atau underdemand) maka volatilitas dan resiko akan meningkat tajam.