Aco di cafe Salemba menulis sebuah tema yang menarik: Pacaran is Sunk Cost (biaya yang tak bisa di peroleh kembali). Intinya dalam pacaran, biaya yang sudah dikeluarkan oleh kedua pasangan -- untuk menarik satu sama lain-- tidak bisa di peroleh kembali. Oleh karena itu jika pasangan anda menyatakan bahwa dia telah menyerahkan segalanya, dan sebagai balasan dia mengharapkan bahwa anda untuk tetap bersama dia -- menurut Aco-- anda bisa mengatakan: Hei, itu adalah sunk cost !
Penggunaan analisis ekonomi dalam soal ini sangat menarik. Pertanyaan lanjutannya adalah: apa yang terjadi jika pacaran bukan sunk cost?
Dalam analisis industrial organization, sunk cost adalah salah satu penyebab hambatan untuk keluar dari pasar. Dalam suatu pasar dimana sunk cost nya tinggi, maka akan ada dis-insentif bagi perusahaan untuk keluar dari pasar, karena biaya yang telah dikeluarkan tidak bisa diperoleh kembali (not recoverable). Bayangkan anda sudah investasi besar, pabrik sudah dibangun dan semua investasi anda tidak bisa dijual kembali, maka anda akan enggan untuk keluar dari bisnis tersebut. Alasannya: saya sudah keluar uang banyak dan tidak bisa memperoleh uang yang telah saya keluarkan kembali.
Dalam kasus pacaran, bagi banyak pihak, struktur pacaran memang diharapkan memiliki hambatan untuk keluar (barrier to exit), sehingga tak mudah untuk putus hubungan dan ganti-ganti pasangan. Semakin besar sunk cost yang terjadi (baik dalam arti moneter maupun non-moneter), maka semakin besar dis-isentif untuk meninggalkan pasangannya. Apa yang terjadi jika, pacaran tidak menimbulkan sunk cost? Pasar pacaran akan menjadi persaingan bebas dengan dimana pelaku bisa keluar masuk setiap waktu (free entry dan free exit). Dalam situasi seperti ini, volatilitas hubungan akan menjadi sangat tajam, dimana nilai dari hubungan (yang dicerminkan melalui harga yang terbentuk dari demand dan supply pacaran akan cenderung berfluktuatif seperti dalam pasar persaingan. Sunk cost akan mereduksi kemungkinan untuk exit dari pasar.
Dalam pola hubungan tanpa komitment atau one night stand, sunk cost yang muncul (walaupun ada) relatif kecil. Karena itu keputusan untuk keluar dari dari pasar akan relatif mudah dan dapat dilakukan setiap waktu.
Sunk cost, sebenarnya berguna untuk menjadi signal keseriusan. Berapa besar sunk cost yang dianggap cukup sebagai barrier to exit? Jawabannya berbeda untuk tiap individu. Dan akan sangat tergantung kepada berapa besar kesediaan untuk mengeluarkan biaya yang tak bisa di peroleh kembali. Bagi mereka yang cukup well-endowed (tidak hanya dalam arti moneter), walau sunk cost yang dikeluarkan secara nominal cukup besar, tak menyebabkan hambatan berarti untuk keluar. Namun bagi individu dengan sumber daya (moneter dan non-moneter) yang terbatas, sunk cost yang relatif kecil sudah akan menjadi faktor penghambat.
Itu sebabnya, dalam proses pacaran, seringkali besar komitmen dicoba dilihat dari seberapa besar kesediaan berkorban dari masing-masing pasangan dan perhatian yang diberikan(dalam bentuk hadiah), . Dengan kata lain, keseriusan kerap dinilai dari besarnya sunk cost. Lalu secara empiris apakah signal mengenai keseriusan dapat diukur hanya dari nominal sunk cost? Mungkin tidak. Yang paling tepat mungkin mengukurnya dari seberapa besar prosentase sunk cost yang dikeluarkan terhadap total resources. Bagi banyak orang, pasar pacaran tampaknya memang tak diharapkan untuk menjadi contestable market. Itu sebabnya pacaran oleh mereka harus dibuat menjadi sunk cost, seperti analisis Aco.
11 komentar:
Bung Dede, saya kira analisis sunk cost pada pacaran adalah futile alias useless analysis. Sama halnya hingga saat ini para ekonom masih "mencari-cari" ukuran kebahagiaan. Saya kira anda tak perlu terjebak dengan analisis semacam ini, lebih baik anda berpikir bagaimana membuat Tutu Tango positif dalam perekonomian Indonesia. So, tidak produktif membahas alasan ekonomi dari pacaran, sama saja anda mereduksi makna untuk menjalin hubungan kemanusiaan yang suci hanya sekedar barang ekonomi semata. Let's assume tiba-tiba dalam perjalanan pacaran anda, pasangan anda dikutuk menjadi Shrek, nah...bagaimana anda menjelaskan sunk cost?
Bung Anonim,
Terima kasih sekali untuk saran dan kritik anda. Mungkin kita harus seimbang, antara soal yang dianggap "berguna" dengan "tak berguna" (walau sebenarnya saya juga tak jelas bagaimana kita bisa mendefinisikan "berguna" vs "tidak berguna", karena sangat subyekytif). Perkembangan ilmu pengetahuan kerap dimulai dengan analisa yang awalnya bagi banyak orang kerap dianggap useless. Sudah membaca Freakonomics dari Levitt yang luar biasa (yang membahasa masalah nyontek, crime, pertandingan sumo dsb)? Atau paper-paper ekonomi yang ditulis oleh Chicago School, tentang mengapa orang kaya/orang di negara maju cenderung punya anak sedikit, tradisi, addict, diskriminasi, poligami, perkawinan?
Yang penting, bukanlah hasil, tetapi cara berpikir. Cara berpikir akan mendidik kita untuk tak sekedar mencari instant result (seperti yang menjadi wabah di kita saat ini), tetapi menghargai proses.
Mungkin karena kita membatasi eksplorasi, maka inovasi tak berkembang di Indonesia. Kadang-kadang yang penting adalah eksplorasi dan bukan konklusi.Dengan itu pemikiran berkembang dan perbedaan pandangan dihargai.
Mengutip Goenawan Mohamad, dalam hidup banyak hal yang dianggap tidak ada gunannya, seperti tertawa, bercanda dsb. Namun tanpa hal-hal yang tidak berguna, anda bisa bayangkan seperti apa hidup kita? Mudah-mudahan jawaban saya masuk kategori berguna:-)
Bung Anonim, saya mengaplikasikan analisis sunk cost dalam konteks pacaran karena memang bisa diaplikasikan. Hubungan "suci" sesuci apapun, sadar atau tidak sadar, melibatkan pertimbangan cost dan benefit (yang tidak mesti berupa uang). Semua keputusan manusia seharusnya bisa diterangkan. Apakah ia berguna atau tidak, itu soal lain. Karena ilmu ekonomi bukan hanya inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Tapi ia adalah alat analisis perilaku manusia. Tanpa harus berpretensi apakah ia berguna bagi orang lain.
Bung Dede, topik bung Aco ini ternyata menjadi lebih dalam dan menarik.
Kalau boleh ditambahkan adalah tenure pacaran menuju ke pernikahan bisa dipersingkat. Dengan planning yang matang dan pilihan yg mantap, strategi spt ini mungkin bisa diterapkan untuk menghindari sunk cost sklgus mengejar sustainable growth mempertahankan kualitas hubungan yg perpetuity.
Maaf ini bukan dalam konteks MBA.
pak anonim,
bukannya bermaksud membela Bang Dede atau Aco di sini. Tapi saya kira, di sinilah keindahan dari ilmu ekonomi yang aplikatif. Bagaimana teori tentang market, insentif, harga dan biaya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk percintaan.
ilmu ekonomi dapat dengan sederhana (menurut saya, minimal lebih sederhana dari antropologi atau filsafat) menerangkan fenomena yang terjadi dalam kehidupan manusia.
sangat mubasir menggunakan ilmu ekonomi untuk membahas masalah yang besar-besar seperti soal negara atau internasional. masalah-masalah kehidupan yang timbul acapkali bermula dari suatu hal yang sederhana.
lagipula, bukankah asal kata ekonomi sendiri adalah ilmu yang membahas tentang rumah tangga? =D
Anymatters, and benar. Model ini bisa di perluas dengan memasukkan berbagai variabel dan kemungkinan yang ada. Esensinya: kita bisa menggunakan analytical framework kita untuk membahas berbagai hal. Jika tertarik anda bisa akses ke sini. Saya kira Becker, Levitt dan Murphy dari University of Chicago masih jadi pioneer untuk approach ini
Saya kira agar sunk cost of pacaran tidak menjadi benar-benar sunk cost, ada baiknya juga untuk menggunakan teori disain mekanisme, sehingga prahara bodoh dan tak lucu a la Saiful Jamil dan Dewi Perssik bisa diminimalisir. Ata jika mau lebih seru lagi bisa juga pakai aplikasi game theory utamanya repeated games atau jika perlu "supergames" in which indefinite iterated games happen dalam suatu hubungan. Nah...pasti seru tuh dan alhasil banyak yang kagak mau pacaran dengan ekonom, karena seperti yang pernah ditulis Ape dalam suatu surveinya dimana bayaran ekononom di negeri ini tidaklah tinggi, pasangan anda akan semakin puyeng karena hidupnya dipenuhi dengan asumsi. Contohnya, ketika mau dinner, sang ekonom akan berkata: "Let'us assume bla...bla...bla...he...he...he...
maksud saya kalo masa pacaran menuju ke pernikahan dipersingkat bisa mengurangi sunk cost yg lbh besar, tp bukan krn married-by-accident (MBA).
dr observasi pribadi ternyata dari teman2 yg menikah di atas umur 30 ternyata banyak yg menggunakan strategi ini. dan tidak sedikit teman2 yg berumur 20an. kenapa ya?
apa krn mrk pada dasarnya sudah memiliki intuisi sunk cost dlm berpacaran shg berusaha utk mengurangi konsekuensi itu?
anymatters, saya kira persoalannya bukan intuisi soal sunk cost, tetapi variable waktu. Costs juga terkait dengan waktu, semakin panjang waktu, maka bisa jadi cost juga semakin meningkat. Itu sebabnya dalam analisis anda, periode waktu yang cepat akan membuat sunk cost menjadi lebih kecil
memang benar terdapat sunk cost dalam pacaran. akan tetapi, ada yang tidak anda bahas dalam perhitungan ini.
dalam pacaran, memang akan menimbulkan sunk cost yang besar akan tetapi secara bersamaan akan menimbulkan intangible asset dimana intangible asset itu dapat berupa status sudah memiliki pacar. dan bila anda putus status itu berubah menjadi pernah punya pacar. tentunya intangible asset tersebut perlu direvaluasi karena nilainya sudah berkurang.
meskipun begitu sunk cost yang terjadi tidak dapat dikaitkan secara erat pada intangible asset, hanya sebagian saja yang dapat dikapitalisasi sebagai intangible asset.
secara tidak langsung pengeluaran anda akan mengakibatkan nama baik anda meningkat akan tetapi anda juga dapat mendapatkan nama buruk. berarti sunk cost tersebut dapat dikapitalisasi apabila tindakan anda benar. jadi hati-hatilah berpacaran... karena kalo tidak maka biaya yang telah anda keluarkan tidak dapat dikapitalisasikan sehingga tidak bermanfaat ketika anda putus.
Ingin turut berkomentar, tapi saat ini saya hanya mampu menyimak.. :)
Posting Komentar