03 Oktober 2007

Myanmar: otoritarian adalah subsidi bagi kekerasan - MCB



Sebagian dari kita yang membaca Les Justes, drama yang ditulis Albert Camus tahun 1959, mungkin teringat ucapan Stepan Fedorov -wajah telanjang dari terorisme atau kekerasan-. Saat Yanek tak jadi melemparkan bom kepada si bangsawan karena ada dua anak kecil dalam kereta si bangsawan, Stepan meradang:
“Tidakkah kau mengerti, karena Yanek tidak membunuh dua anak kecil itu, maka ribuan anak-anak Russia akan mati dimasa depan, karena kelaparan”
Menyedihkan, terorisme atau kekerasan selalu memiliki filsafatnya sendiri. Kadang ideologi, kadang ekonomi.

Dan hari-hari ini di Myanmar kita melihat bagaimana opresi dan kekerasan dilakukan oleh rezim otoritarian terhadap gerakan pro demokrasi.
Otoritarian, sebenarnya adalah sebuah subdisi bagi kekerasan. Dalam sistem otoritarian, harga dari kekerasan begitu murah karena tak ada check and balances . Untuk apa repot repot dengan peradilan, dengan hukum, jika masalah dapat diselesaikan dengan efisien melalui cara represi. Paling tidak begitu rasionalitas dari sebuah sistem otoritarian seperti di Myanmar.

Mungkin menarik untuk melihat bagimana otoritarian merupakan sebuah subsidi bagi kekerasan. Bagaimana kita menjelaskan hal ini?

Bayangkan sebuah model maksimisasi kepuasan sederhana. Tentu untuk abstraksi yang lebih tepat, analisis ini harus dikembangkan lebih jauh. Namun setidaknya ia mampu menjelaskan mengapa permintaan terhadapa kekerasan akan selalu meningkat dalam sistem otoritarian.

Anggaplah bahwa junta militer Myanmar ingin memaksimumkan aspirasi politiknya dengan dua kombinasi pilihan: kekerasan (violence) atau tanpa kekerasan (non violence). Jika kita menganggap bahwa 2 pilihan itu adalah barang normal yang bisa dikonsumsi, maka pilihan atas kedua tindakan tersebut akan sangat tergantung kepada harga dari masing-masing pilihan.
Titik keseimbangan awal terjadi di titik A, dimana konsumsi violence adalah sebesar V1 dan non-violence adalah NV1. Dalam sistem otoritarian, harga violence menjadi relatif lebih murah, hal ini tercermin dari bergesernya budget line. Kondisi keseimbangan baru terjadi pada titik C, dimana permintaan kekerasan menjadi lebih banyak (meningkat dari V1 ke V3) dan konsumsi non-violenc menurun dari NV1 ke NV3. Efek substitusi akibat perubahan harga ini dicerminkan dari perpindahan A ke B.

Analisis sederhana ini menunjukkan jika harga dari tindak violence itu menjadi murah secara relatif terhadap harga tindakan non violence, maka konsumen akan mengkonsumsi tindak kekerasan. Dan begitu pula sebaliknya. Lalu apa arti permainan analisis diatas ? Sebenarnya analisis ini membawa kita untuk mengupas masalah ini secara mendasar , karena harga dari kekerasan sebenarnya mencerminkan pengorbanan yang harus diberikan jika pilihan itu diambil. Dengan kata lain ketika institusi politik menjadi begitu tak berdayanya dan mandek, serta tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi begitu murahnya- dalam arti dapat terjadi dengan leluasa dilakukan oleh negara-- maka “permintaan akan violence” akan meningkat. Atau sebaliknya jika jalan non violence dapat memberikan hasil yang lebih baik atau hanya menuntut pengorbanan yang relatif kecil dibandingkan cara-cara violence, maka tindakan non violence akan menjadi pilihan yang lebih menarik. Disinilah kita berbicara tentang pentingnya aspek pelembagaan politik dan pentingnya penghargaan terhadap hak-hak manusia. Dan disini pula kita melihat bahwa masalah kekerasan , baik yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat adalah resultante dari pelembagaan politik. Bila kekerasan masih kerap terjadi, maka hal ini sebenarnya merefleksikan bagaimana masih lemahnya dan terkebelakangnya aspek institusi politik yang menunjang demokratisasi. Semakin otoriter sistem, maka semakin mahal harga non violence atau semakin murah harga violence. Sehingga secara tidak langsung sistem politik yang otoriter sebenarnya adalah sebuah “subsidi bagi pilihan kekerasan”. Itu sebabnya, sikap represif junta militer Myanmar adalah resultante dari pilihan rasional sistem otoritarian.

13 komentar:

Anonim mengatakan...

saya sebenarnya agak bingung dengan permainan analisis ini. bukannya violence itu ada batas2 hukum, etika & moral yg membuat commodity tsb tidak bisa dikonsumsi sama sekali. kalaupun dikonsumsi, itu akan menjadi hal yg negatif dan pasti ada penaltinya entah di neg yg otoriter atau tidak.

seperti halnya seorang bapak ada yg memukul anaknya, ada yg cuma memberi time-out dan ada juga yg cuma memberi tahu. mis-nya, yg menjd sebab adlh anaknya dgn sengaja membunuh burung kesayangan milik bapaknya. seorang bapak yg non-otoriter mungkin cuma memberi tahu, berarti subsidi kekerasan tsb sec implisit diberikan ke anaknya. seorang bapak yg memukul anaknya mengambil hak subsidi kekerasan tsb u/ diri sendiri mewakili burungnya.

dede mengatakan...

anymatters,
Anda benar. Justru karena dalam sistem otoriter batas-batas hukum, etika dll dapat ditiadakan dan digantikan oleh kekuasaan mutlak negara, maka negara dengan leluasa dapat melakukan kekerasan atau teror (tak ada yang dapat menentang atau menghukum dia). Akibatnya kekerasan menjadi barang bebas atau murah karena tidak ada costnya (penaltynya atau biayanya). Analisis ini persis menguatkan apa yang anda tulis. Kalau violence masih ada hukum, etika, moral dsb, maka permintaan violence akan terbatas karena ada cost untuk pelanggaran violence. Dalam sistem otoriter, cost itu tidak ada. Itu sebabnya sistem otoritarian merupakan subsidi bagi kekerasan

This Blog mengatakan...

Bang Dede,
Hal yang juga menarik: mengapa satu negara mengarah ke arah yang semakin otoriter-seperti Myanmar dan mengapa yang lain justru bergerak ke arah "relatif" demoktratis-seperti misalnya Indonesia sebelum krisis. Dalam konteks analisa ini, Saya menangkap bahwa situasi otoriter negara sebagai hal yang eksogen dan statis. Mungkin menarik bila dilihat dalam konteks yang dinamis.

Konteks perubahan politik Indonesia menurut saya cukup menarik, dimana Soeharto sangat represif terhadap kelompok-kelompok tertentu pada periode tertentu namun berangsur-angsur melunak. Mungkin disana ada perubahan harga dan biaya dari aksi represi. Mungkin juga karena perubahan institusi yang meningkatkan biaya dari represi. Bila begitu kemudian mengapa Soeharto sendiri membiarkan biaya dari aksi represinya menjadi mahal bila ia punya kemampuan untuk menekan dari awal. Atau mungkin dia sendiri tidak mampu mengendalikan perubahan itu sendiri.

Anonim mengatakan...

Bagaimana kalau misalnya dlm insiden Myanmar kemarin menggunakan peluru karet, alat kejut, pemukulan, gas airmata dan semprotan air shg tidak ada korban jiwa? (Spt halnya yg dilakukan negara2 non-otoriter) Mungkin analisisnya akan berubah ke arah pemodalan atau pembelajaran etika pengendalian demonstrasi masa, maksudnya boleh kejam tp tdk membunuh.

Memang saya akui, membunuh menjd kejahatan utama hanya di neg non-otoriter/demokrasi tp violence tetap diizinkan dlm menghadapi masa dgn batas2 tdk membunuh. Sementara di neg otoriter, membunuh menjd kejahatan kedua setelah pengkhianatan/perlawanan thd negara di neg yg otoriter.

Variable mungkin bisa diganti dlm permainan analisis bung Dede, dengan violence yg menimbulkan kematian dan yg tidak.

Dengan demikian, hipotesis saya, subsidi kekerasan selalu ada di dunia ini diberikan cuma2 oleh evil spirit like Lucifer or something (maaf, yg ini mungkin kurang scientific). Insiden Myanmar kemarin & insurjensi US di Irak bisa diikutkan dlm satu kurva.

dede mengatakan...

yudo,
Perubahan harga relatif sendiri dapat disebabkan oleh berbagai hal: institusi, tekanan dari luar dsb. Hal itu terjadi dalam kasus Soeharto. Tertarik membuatnya menjadi utility model intertemporal?

Dalam kasus Myanmar, tekanan dari luar akan membuat biaya transaksi kekerasan meningkat, jika ini cukup kuat, maka permintaan untuk violence oleh junta militer akan menurun.

anymatters,
pertanyaan yang menarik: kenapa pemerintah menggunakan peluru karet ketimbang peluru tajam? Jawabanya bisa disebabkan karena cost dari represi dengan pembunuhan mungkin terlalu mahal. Akibatnya, keseimbangan dicoba dengan menggunakan kombinasi violence dan non-violence tertentu seperti pada titik keseimbangan awal dalam grafik saya (titik A).
Jika harga kekerasan menjadi begitu murah atau nyaris menjadi barang bebas dalam situasi diktator mutlak, maka titik keseimbangan mungkin akan terjadi di ujung sebelah kanan (max violence), sesuatu yang didalam teori mikro ekonomi dikenal dengan term corner solution.

Ujang mengatakan...

Dede,
Saya cuma ingin membahas pilihan non-violence yang dimiliki oleh the ruling elite, yang dalam post di atas kurang banyak disinggung. Ini juga berkaitan dengan aspek intertemporal dan perubahan harga yang diangkat oleh Yudo.

Yang saya bayangkan pilihan non-violence di atas tidak mencakup pilihan yang tersedia bagi rezim non-otoritarian (tolong dikoreksi). Dalam kondisi Myanmar kebijakan yang diambil melalu proses demokratis mungkin mendekati non-existent atau kalau ada harganya begitu mahal bagi junta militar sehingga budget line di atas hampir datar.

Pilihan non-violence yang lebih relevan untuk analisa di atas mungkin adalah kooptasi, pembungkaman hak bicara, censorship dsb. Saya cenderung tidak memasukan pembungkaman hak bicara/censorship karena kedua ini biasanya akan berlanjut di opresi/kekerasan bagi yang betul2 melanggar.
Kooptasi adalah pilihan yang cukup berbeda untuk dilihat terpisah, karena kooptasi bukan hanya meredam suara oposisi, tapi juga mengurangi jumlah oposisi. Keuntungan dari kooptasi bagi junta adalah tekanan (dalam dan luar) tidak akan sebesar opresi/violence. Biaya bagi junta adalah share dari rente yang mereka ambil harus dibagi ke lebih banyak orang. Pertimbangan marginal benefit dan marginal cost dari kooptasi vs opresi ini yang jadi dasar perhitungan the ruling elite.

Dari sisi harga relatif antara kedua pilihan, analisa di atas sudah spot on. Saya hanya ingin menambahkan faktor lain yang bisa mendorong suatu rezim otoriter bisa menjadi makin otoritarian dan cepat mengambil pilihan kekerasan yaitu merosotnya isi coffer atau resources yang mereka miliki yang kemudian membatasi kemampuan mereka untuk melakukan kooptasi.

Anonim mengatakan...

Analisa tajam dalam kerangka household economics-nay Gary S. Becker. Sekedar ingin menambahkan bahwa sangat mungkin ada endogeneity dan path dependency.

Ketika pilihan rezim adalah otoritarian maka dengan sendirinya menurunkan relative price dari pembungkaman non demokratis (karena tak adanya mekanisme check and balance). Sebaliknya ketika pilihan rezim adalah demokratis maka ada costly commitment device (swtiching cost to authoritarian) untuk accomodate demand publik demi menghadapi pemilu berikutnya.

Two stage game dengan stage pertama adalah pilihan rezim dan stage kedua adalah pilihan action terhadap tuntutan publik dapat mengiluminasi kondisi tersebut diatas.

Anonim mengatakan...

@ Berly

"pilihan action terhadap tuntutan publik dapat mengiluminasi kondisi tersebut diatas"

sesuai grafik di atas, MCB mencoba memberi penyadaran bahwa publik tdk memiliki kekuatan apa pun, apalagi mengiluminasi.

jadi tidak ada choice selain kurva bergeser ke kanan walaupun ada pelaku pemerintah yg pro ke publik.

tinggal nembaknya pake peluru karet atau peluru beneran. mati atau tidak bukan dummy variable antara violence dan non-voilence. intinya kematian bukan variable.

sementara hati nurani saya mengatakan, kematian dan non-kematian dlm konteks voilence itu masih varibel, bukan non-voilence atau voilence.

krn menurut hati nurani saya lagi bahwa NV itu selalu 0, seandainnya voilence yg ingin kita beri harga.

dede mengatakan...

Ujang dan Berly
Thanks. Ide dasar model ini sebenarnya sangat sederhana, ingin menjelaskan demand for violence (negara), Sehingga bisa menjelaskan mengapa kekerasan lebih sering terjadi di negara otoriter seperti China, Khmer di bawah Pol Pot, Myanmar ketimbang negara demokratis. Tapi saya setuju model dasar ini bisa diperluas lebih jauh. Dan saya duga hasil analisisnya akan sangat menarik, menunjukkan betapa powerfulnya choice theory dalam menjelaskan berbagai persoalan.
Wanna try to build a formal model :) ?

a.p. mengatakan...

Formal model yang mirip untuk problem ini (argumen Yudo-Ujang) pernah ditulis dalam Ronald Wintrobe (1990), "The Tinpot and the Totalitarian: An Economic Theory of Dictatorship" -- The American Political Science Review, Vol. 84, No. 3 (Sep., 1990), pp. 849-872.

Betul kata Dede, menjadi totaliter atau soft-otoriter adalah choice. Dalam model Wintrobe, problemnya adalah cost-minimizing (to achieve a certain degree of power).

Ujang mengatakan...

Grossman (Herschel dari Brown, bukan Gene dari Princeton) juga punya model yang serupa yang a.l. dia gunakan ketika membahas pilihan yang dihadapi nomenklatura Uni Soviet: kooptasi atau opresi. Credit untuk Dede yang memegang principle of parsimony untuk menjelaskan pilihan yg dihadapi junta militer Myanmar secara singkat tapi jelas.

Anonim mengatakan...

"Two stage game dengan stage pertama adalah pilihan rezim dan stage kedua adalah pilihan action terhadap tuntutan publik dapat mengiluminasi kondisi tersebut diatas."

Anymatter, maksud saya dari kalimat di atas adalah analisa 2 tahap dalam kerangka game theory ala Nash, Selten,Harsanyi etc. Tahap pertama adalah pemilihan rezim dan tahap kedua adalah action yg diambil rezim tersebut.

iluminasi=menjelaskan. Jadi model ini diharapkan dapat menjelaskan dan memberikan kerangka terhadap kondisi Myanmar.

Maaf kalo pilihan kata dan susunan kalimatnya njelimet.

Anonim mengatakan...

maaf diartikan lain.