09 Oktober 2007

Efficient grease-MCB



Studi yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) (Ari Kuncoro, Thia Jasmina, Isfandiarni, Siti Budi Wardhani, Ainul Huda, Deasy and Anton Hendranata) tentang iklim investasi Indonesia menunjukkan: ada perbaikan dalam proses import clearance di beberapa pelabuhan utama di Indonesia dalam pertengahan 2007 dibanding tahun sebelumnya. Namun menariknya, disisi lain, studi ini menemukan bahwa prosentase mereka yang tidak pernah membayar suap dalam proses import clearance juga menurun. Prosentase mereka yang membayar suap meningkat dari 88% (pertengahan tahun 2006) menjadi 91% (pertengahan tahun 2007). Artinya suap semakin sering. Bagaimana kita menjelaskan fenomena ini, dimana proses makin cepat, tetapi suap makin sering ini?

Salah satu kemungkinan penjelasnya adalah adanya efficient grease atau pelicin untuk mempermudah proses.

Keputusan dunia usaha untuk menyuap adalah keputusan ekonomi rasional. Keputusan ini akan selalu didasarkan kepada perhitungan manfaat (benefit) dan biaya (cost) dari aktifitas penyuapan. Artinya, seandainya suap dapat melancarkan urusan dengan birokrasi atau memungkinkan memperoleh proteksi--sehingga memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan besarnya suap yang harus dibayar—maka ada insentif untuk menjadi pemasok suap.

Grafik diatas dapat menjelaskan pola ini. Manfaat yang dapat diperoleh pengusaha dengan menyuap ditunjukkan oleh grafik berwarna merah. Manfaat yang diperoleh pengusaha dengan menyuap, semakin lama semakin kecil karena ada batas manfaat dari suap, karena itu kurva manfaat semakin lama semakin datar.

Untuk menyuap, tentu ada biaya yang harus dikeluarkan, mulai dari besarnya suap, proses lobby dsb. Semakin besar fasilitas/proteksi atau kemudahan yang akan diperoleh dari suap, maka semakin besar pula biaya suap. Itu sebabnya kurva biaya suap yang berwarna biru semakin lama semakin tajam kenaikannya.

Tingkat optimum suap terjadi ketika slope dari kurva manfaat sejajar dengan kurva biaya. Pada titik ini, tambahan manfaat (marginal benefit) dari menyuap akan sama dengan tambahan biaya (marginal cost) dari menyuap. Lewat dari titik optimum ini ke kanan, tambahan manfaat dari menyuap akan lebih kecil ketimbang tambahan biaya yang muncul dari menyuap. Karena itu insentif bagi pengusaha untuk menyuap sudah mulai menurun. Bagian dari titik otimum ke sebelah kiri adalah bagian yang disebut sebagai eficient grease.

Jadi, seringnya penyuapan yang dilakukan seperti temuan LPEM mungkin mencerminkan area disebelah kiri dari titik optimum. Dalam kondisi ini bagi dunia usaha pilihan menyuap --sayangnya-- adalah pilihan rasional. Secara konseptual korupsi atau penyuapan (bribery) adalah semacam pajak tak resmi untuk dunia usaha (MacLeod, 2001). Bagi dunia usaha tak ada bedanya antara membayar suap dengan membayar pajak (buat mereka adalah biaya). Perbedaannya ada disisi pemerintah. Pajak resmi masuk kas negara, sedang suap masuk kantong aparat. Karena itu selama suap masih menguntungkan, dunia usaha akan melakukannya.

Studi yang dilakukan oleh Lui (1985) misalnya, menunjukkan bahwa dalam beberapa hal korupsi malah bisa meningkatkan efisiensi. Argumen Lui memang terkesan mengejutkan, tetapi ada alasan teoritis yang cukup kuat dibelakang argumen ini. Perspektif ini dikenal dengan nama efficient grease atau pelumas yang efisien. Pola ini dapat terjadi dari bentuk yang sederhana, seperti membayar uang rokok atau uang mengurus KTP, sampai bentuk yang canggih seperti lobby dan aktifitas ekonomi rente.

Mengapa itu bisa terjadi? Penyebabnya adalah adanya pasar untuk jual beli masalah yang pada gilirannya membuka pasar bagi suap. Kita kenal adagium : uang tak menjadi masalah, tetapi masalah bisa menjadi uang. Dalam kondisi ini dunia usaha terpaksa menjadi supplier suap karena “masalah“ yang diciptakan pejabat pemerintah.

Bagaimana mengatasinya? Upaya penyelesaiannya suap dapat dilakukan dengan mengurangi insentif untuk menyuap dan mengurangi ruang untuk memperoleh suap. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan memudahkan peraturan (deregulasi dan debirokratisasi ekonomi) dan mengurangi pertemuan antara aparat dengan pengusaha melalui on line system. Tentu yang ideal adalah penegakan hukum, di mana penyuap dan yang disuap diberikan hukuman yang berat. Sayangnya, di negeri ini, justru hukum amat rawan suap. Karena itu, walau ideal, mungkin tak efektif.

Penyuapan memang sebuah proses interaksi antara pengusaha dengan aparat pemerintah. Beberapa tahun lalu (2003) saya pernah menulis artikel yang berdjudul Tutu Tango di Harian Kompas. Ironisnya, empat tahun setelah itu, artikel itu masih relevan.

7 komentar:

Anonim mengatakan...

Hallo Bung Dede,

Ya...saya masih ingat tulisan anda mengenai korupsi yang dianalogikan dengan tarian Tutu Tanggo. Di awal tulisan anda, anda mengambil Tutu Tanggo yang diilhami oleh nama sebuah cafe di salah satu sudut Canberra yang kebetulan namanya Tutu Tanggo. Nggak lama setelah baca tulisan anda di Kompas tersebut, saya akhirnya harus mondok di Canberra and datang ke Cafe Tutu Tanggo yang anda ceritakan di tulisan anda. Semalan waktu diwawancara Wianda Puspanegoro di acara Economic Challenges Metro TV, anda juga menyebut Tutu Tanggo. It takes two. Rupanya Tutu Tanggo berkesan sekali bagi anda. Dan di Canberra itu pula anda bisa take Tutu Tanggo dalam arti yang sebenarnya :). Kapan nih ngafe seperti Pak Sadli di salah satu bilangan Cambridge-Massachusetts?

Anonim mengatakan...

Namun korupsi sebagai pelicin di atas memiliki kelemahan. Argumentasi efficiency-enhancing tersebut tidak memasukkan konsekuensi distributional dan kesejahteraan dari proses korupsi. Kelemahan dari argumentasi efficiency-enhancing ini juga disoroti oleh Khan dan Akif (2005) yang mempertanyakan jika hanya melihat korupsi sebagai jalan ‘pelicin’, pertanyaan yang perlu dikaji lebih dalam selanjutnya adalah siapa yang membayar suap dan apakah si pemberi suap itu memperoleh hasilnya? Konklusi dari argumentasi efficiency-enhancing ini hanya berdasarkan asumsi dimana setelah membayar membayar suap, koruptor akan menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh persyaratan-persyaratan kontrak suatu proyek. Namun demikian, asumsi ini dalam kenyataan dan prakteknya tidaklah demikian. Mengapa? Karena setelah para koruptor yang lolos dan dianggap telah memenuhi persyaratan seperti yang sudah digariskan oleh pihak yang berwenang, umumnya para koruptor akan mencoba untuk tidak melaksanakan apa-apa yang sudah disepakati dalam proses suap-menyuap tadi dan hasil dari pelaksanaan suatu proyek biasnya lebih buruk daripada yang sudah disepakati dalam kesepakatan jahat tersebut. Magnitude kerugiannya akan semakin besar karena kesepakatan kontrak yang fair sudahlah tak dipenuhi dan untuk kemudian diselesaikan dengan kesepakatan jahat. Kesapakatan jahat ini pun akhirnya acap kali dilanggar pula.

dede mengatakan...

Bung anonim,
Ya saya pernah menjadi Canberran. Dan sampai sekarang masih relatif sering bolak bali ke sana karena masih jadi research asscoiate di Australian National University di Canberra.Kadang-kadang datang ke Tutu Tango :-)
Anda di Cambridge? Enak sekali. Saya sebenarnya sedang melakukan studi dengan Gus Papanek (Boston/Harvard). Mudah-mudahan ada waktu untuk ke cambridge lagi, melihat Charles River yang tidak pernah beku walau di musim dingin. Atau mungkin makan Boston Chowder atau makan Au bon pain di Harvard Square :-)
Btw boleh tahu siapa anda?

dede mengatakan...

Anonim,
Saya tidak menutup kemungkinan bahwa efficient grease itu tidak selalu berjalan. Itu sebabnya di dalam grafik, saya saya berikan arah dimana efficeint grease jalan (bagian kiri). Tetapi dalam kasus 2001 di Indonesia, efficient grease ternyata tidak berjalan. Alasannya fragmentasi kekuasaan membuat biaya transaksi per bribe naik. Akibatnya, suap tak mempercepat. Selain itu, ada gejala dimana korupsi di Indonesia berubah dari -- istilah Olson-- stationary bandit menjadi roving bandit. Jadi ini persoalan empiris.
Kalau dari game theory hal ini sebenarnya bisa dijelaskan apakah proses suap ini repeated game atau one shot game. Kalau one shot game, maka argumen efficent grease tidak berjalan benar. Artinya bisa jadi si koruptor tidak delivered, sehingga membuat kapok pihak terkait. Namun dalam repeated game kedua belah pihak akan cooperative. Karena bila tidak ia akan dihukum oleh pihak lain (tit for tat). Dalam konteks ini, kita akan masuk kepada kondisi endogenous corruption. Jadi ini soal empiris. Ini yang menjelaskan mengapa zama Soeharto walaupun korup, namun pertumbuhan ekonomi tetap tinggi.

Parulian mengatakan...

Hallo Bung...
apa kabar ne? doa dan harapan saya kiranya bung selalu dalam keadaan sehat..
saya mau ada beberapa pertayaan ne seputar Ekonomi Politik.
1. sejauh mana implikasi dari Ekonomi Poltik terhadap pertumbuha ekonomi dewasa ini?
2. Ekonomi Politik kan terbialng awam bagi kalangan masyarakat luas, nah..bagaimana sebaiknya langkah strategis yang harus di tempuh kalangan peneliti dan juga mahasiswa agar Ekonomi Poltik ini dapat berimbas nyata pada kalanagan masyarkat, terutama dalam hal pengentasan Kemiskinan di Indonesia?
sekian pertanyaan saya, atas perhatian nya saya haturkan terimakasih..
salam
Parulian'

Parulian mengatakan...

halow..
apa kabar Bung..?

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.