05 Oktober 2007

Benarkah pembangunan infrastruktur mengurangi pengangguran? -MCB




Masalah pengangguran adalah problema besar negeri ini. Dan memang tak salah. Tabel disebelah kiri menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia memang relatif besar. Benar, prosentase pengangguran terbuka sudah mulai menurun dari 10.4% (Feburari 2006) menjadi 9.75% (Februari 2007). Artinya mulai ada perbaikan, namun perlu dicatat angka ini masih relatif tinggi.

Hal lain penting lainnya adalah adanya perbedaan pola penganggur terbuka di Indonesia dibanding di negara-negara maju yang memiliki tunjangan sosial. Di negara seperti Australia misalnya, ada tunjangan sosial bagi penganggur dalam jumlah tertentu. Implikasinya: mereka yang menganggur masih bisa hidup --walau tentunya dengan sangat pas-pasan. Para penganggur ini hanya akan bekerja jika upah dari pekerjaan yang mereka lakukan lebih tinggi dari tunjangan pengangguran. Mudahnya, apa gunanya bekerja kalau upahnya lebih rendah dibanding tunjangan mereka sebagai penganggur? Artinya tunjangan pengangguran disini merupakan reservation wages mereka.

Di Indonesia, kita tidak mengenal tunjangan seperti ini. Akibatnya hanya mereka yang relatif kaya yang "mampu menganggur". Pengangguran adalah barang mewah. Seorang tamatan SMA atau sarjana ,yang masih tinggal dengan orang tuannya, yang masih memiliki non-labour income, memiliki kemewahan untuk menganggur. Alasannya ada pendapatan dari orang tua atau tabungan yang memungkinkan mereka menganggur. Kelompok ini memiliki kemewahan untuk memilih pekerjaan berdasarkan upah atau kondisi kerja yang mereka sukai. Jika belum cocok, toh tak apa jadi penganggur dulu.

Namun, tak demikian halnya mereka yang miskin. Mereka yang miskin, tak punya kemewahan untuk menganggur. Jika anda miskin, tak ada tabungan, tak ada orang tua yang dapat mendukung, maka anda terpaksa bekerja apa saja. Too poor to be unemployed. Tengok saja kasus pekerja anak. Pekerja anak adalah ciri dari negara miskin, dimana kemiskinan kemudian memaksa orang tua untuk mempekerjakan anaknya.

Lalu bagaiman kita menginterpretasikan angka pengangguran terbuka di Indonesia?
Dengan tidak adanya tunjangan penganggur atau tunjangan sosial, tingkat pengangguran terbuka akan mencerminkan tingkat mereka "yang mampu untuk menganggur".
Artinya mereka yang menganggur ada kemungkinan relatif berpendidikan, kaya dan muda (SMERU 2007)



Gambar disebelah kiri mengkonfimasi argumen ini: sebagian besar penganggur di Indonesia memiliki tingkat pendidikan tamat SMA atau lebih tinggi. Prosentase penganggur yang memiliki pendidikan tamat SD atau lebih rendah jauh lebih kecil dibanding tamatan SMP ke atas atau SMA keatas.

Dan untuk mengatasi pengangguran kita membuat program pembangunan infrastruktur. Logianya: resep Keynesian ini akan menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang. Dan pengangguran pun berkurang. Sayangnya kita tak boleh terlalu cepat menyimpulkan

Pertanyannya: apakah program pembangunan infrastruktur cocok dengan karakteristik penganggur seperti ini? Dapatkah kita mengurangi pengangguran melalui program pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan jalan atau infrastruktur pedesaan? Sudah menjadi mantera, yang dipercaya mayoritas, bahwa program infrastruktur akan mampu mengatasi pengangguran. Terus terang saya tak sepenuhnya yakin akan mantera ini.

Dengan struktur penganggur yang relatif terdidik, muda, masih tinggal bersama orang tua seperti yang ditunjukkan gambar diatas dan juga SMERU (2007), sulit untuk diharapkan mayoritas kelompok ini bersedia bekerja di dalam program infrastruktur sebagai buruh konstruksi. Jenis pekerjaan buruh konstruksi seperti itu akan cocok dengan mereka yang tingkat pendidikannya SD atau lebih rendah. Mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi akan sangat enggan untuk masuk ke pasar kerja seperti ini. Kecuali jika mereka telah menjadi begitu miskin, dan tak lagi memiliki non-labour income. Artinya, argumen bahwa pembangunan infrastruktur akan menyelesaikan masalah pengangguran, tampaknya hanya benar sebagian. Ia hanya bisa menyediakan lapangan kerja bagi sebagian kelompok penganggur (dengan pendidikan SD kebawah). Proyek infrastruktur mungkin akan bermanfaat untuk menyediakan lapangan kerja bagi mereka yang miskin dan berpendidikan rendah. Program pembangunan infrastruktur mungkin akan menolong program pengentasan kemiskinan, tapi tak sepenuhnya cocok bagi penciptaan lapangan kerja untuk mereka yang berpendidikan, misalnya SMA keatas, yang merupakan porsi terbesar dari kelompok penganggur ini.

Mereka yang berpendidikan hanya akan bersedia bekerja pada sektor formal. Dan penyerapan pekerja ke sektor formal hanya akan terjadi jika ekonomi di sektor formal tumbuh cepat dan kekakuan pasar tenaga kerja yang mencegah masuknya orang ke sektor formal diatasi. Bukan hanya dengan sekedar menyediakan lapangan kerja bagi buruh konstruksi melalui program infrastruktur --seperti yang kita percaya selama ini.

17 komentar:

Rizal mengatakan...

Bos, kalau argumen soal pengangguran di Indonesia seperti itu, apa pentingnya ngurusin yang masih mampu menganggur itu --termasuk membenarkan penyerapan sektor formal?

Mengapa tidak negara diam saja, atau melakukan hal lain yang lebih bermanfaat, membiarkan para penganggur yang masih punya kemewahan menganggur sampai habis non-labour income nya?

Apa cuma sekedar upaya menyuap the "chattering class" alias kelas menengah?

Anonim mengatakan...

Bagaimana kalau pembangunan infrastruktur itu akan menciptakan jalan-jalan yang lebar nan mulus yang kemudian akan mempermudah para penganggur untuk pulang dan pergi mencari pekerjaan yang sesuai dengan harapan mereka?

Anonim mengatakan...

Saya pikir kewirausahaan adalah satu satu jalan untuk mengatasi "pengangguran formal" ini. Berarti apakah seharusnya pemerintah memberikan insentif lebih banyak (seperti kemudahan kredit investasi) agar lebih memacu kewirausahaan ini?

a.p. mengatakan...

Anonim -- sebagian pendapat anda ada benarnya. Tapi lebih relevan kalau kita melihatnya dalam konteks mobilitas pekerja desa-kota atau pertanian-industri. Jadi, manfaat adanya infratstruktur (bukan ke proyeknya per se) bukanlah menurunkan pengangguran. Tapi memberikan akses pada pekerja di desa/pertanian.

Rizal -- setuju, isu ketenagakerjaan yang lebih krusial memang bukan tingkat pengangguran tapi 'access to better jobs.' Jadinya, argumen meningkatkan penyerapan sektor formal masih relevan.

Masalahnya, mereka yang sudah ada di sektor formal ini berusaha menutup akses bagi yang masih di luar, dalam bentuk regulasi berlebihan dalam pasar kerja.

dede mengatakan...

Saya kira a.p sudah membaca apa yang ada dalam pikiran saya dan memberikan jawabannya baik untuk anonim dan rizal. Terima kasih

Sedikit untuk rizal, apakah negara harus diam saja? jawabannya: ada yang bisa dilakukan negara, yaitu berhenti mempersulit orang untuk masuk sektor formal, Jika negara mampu menahan keinginannya untuk menganggu akses ke pasar kerja, itu sudah kontribusi yang luar biasa.

Proyek infrastruktur, ala resep Keynes, dapat menolong kelompok miskin dan mereka yang berpendidikan rendah, tapi ini harus dikombinasikan dengan mendorong growth di formal sektor (deregulasi, mengatasi dutch disease, mengatasi agency cost dsb) dan menghilangkan kekakuan pasar tenaga kerja

Untuk amir karimudian: ya, kredit investasi dapat ditingkatkan jika probelam informasi a simetrik dalam posting aco dan saya bisa kita atasi

Anonim mengatakan...

Bos Dede, memang kalau ngeliat anak orang kaya sepertinya nggak perlu susah-susah mikirin mereka. Bahkan sekarang ada kecenderungan, selesai S-1 lalu langsung ambil S-2, salah satunya biar kagak nganggur dan bakal punya gengsi. Padahal lulusan master pun saat ini sudah seperti kacang goreng dan kebanyakan abal-abal mutunya. Reservation wage jadi tinggi karena psikologi gengsi karena mosok master jadi buruh rek...Tapi yang perlu diingat bahwa berapa persen sich pengangguran yang berasal dari baby boomers? Lebig banyak yang miskin. Makanya, pembangunan infrastruktur sedikit banyak bisa membantu sekaligus memberbaiki prakondisi untuk investasi karena sudah sepuluh tahun ini infrastruktur kita amburadul.

dede mengatakan...

Bos, yang anonim :-)
Kalau prosentase penganggur dari kelompok miskin besar, maka logikanya tingkat pengangguran terbuka akan relatif rendah, karena mereka terpaksa bekerja apa saja untuk hidup. Kalau tingkat pengangguran terbukanya besar, ada kemungkinan mereka berasal dari keluarga relatif non-miskin, berpendidikan dan muda (lihat grafik saya dan klik studi SMERU 2007 yang menunjukkan karakteristik penganggur).
Mengenai infrastruktur, saya tidak against pembangunan infrastruktur. Saya termasuk yang menganggap bahwa supply constraint dari pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya bisa diatasi dengan perbaikan infrastruktur. Namun, mengharapkan proyek infrastruktur juga sekaligus akan menyelesaikan persoalan pengangguran, itu agak berlebihan. Ingat Tinbergen's rule: satu policy untuk tiap persoalan.

Anonim mengatakan...

Economic logic dimana infrastructure mengurangi penganguran terbuka adalah ketersediaan infrastruktur mendorong investasi dan pembukaan lowongan kerja sektor formal dengan gaji diatas ekspektasi gaji (reservation wage) penganggur (khususnya terdidik).

In the end, this is empirical question. Jadi perlu studi sensitivitas dan elastisitas pembangunan infrastruktur (dengan time lag tertentu) terhadap angka penganguran terbuka di wilayah tertentu (kabupaten atau propinsi). Lebih efektif jika disertai penurunan barrier to entry di sektor informal seperti perpendek pengurusan ijin usaha baru dan kurangi pungutan2.

Tapi jg menarik untuk fokus terhadap pengurangan kemiskinan dengan menelaah impact terhadap income penduduk di sektor informal dan pertanian. Lebih sulit dilakukan karena perlu data survey tp likely to happen krn multiplier effect.

dede mengatakan...

Berly,
Sejak awal ini adalah soal empiris. Argumen ini sangat tergantung kepada komposisi penganggur. Kalau komposisi penganggurnya didominasi oleh kelompok miskin, seperti tahun 1970an, pembangunan infrastruktur akan memabntu menyelesaikan soal pengangguran .

Mengenai logic bahwa infrastruktur mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja formal, itu adalah argumen tentang pentingnya mendorong sektor formal seperti yang sudah saya bahas.
Soalnya bukan itu. Soalnya adalah harapan bahwa pembangunan infrastruktur akan menciptakan lapangan kerja secara langsung (persis seperti program new -deal nya AS dibawah Rosevelt). Karena argumen yang ada adalah pembangunan proyek infrastruktur akan banyak menyerap tenaga kerja.
Jadi harus dibedakan infrastruktur sebagai input untuk growth dengan infrastruktur sebagai solusi langsung masalah pengangguran.

Anonim mengatakan...

Sepertinya (karena tidak pegang data maka hanya bisa berhipotesa) bahwa project infrastructur akan paling besar dampaknya pada peningkatan income rakyat miskin di sekitarnya secara langsung (tenaga kerja) atau tidak langsung (multiplier effect).

Dampak pada pengangguran formal tidak akan besar kecuali disertai dengan datangnya investasi berupa pabrik, toko etc yang menarik golongan menengah (komponen terbesar penganggur terbuka) menjadi pekerja.

Pasha mengatakan...

Bang Dede,

Pandangan umum dari proyek2 infrastruktur ini adalah dapat memberikan manfaat (benefit) krn dapat menyerap pengangguran. Tapi sebenarnya yg luput dari perhatian adalah upah untuk membayar pekerja adalah bagian dari biaya proyek infrastruktur tsb (cost). Jadi upah ini sebenarnya adalah cost bukan benefit.

Jadi, jika proyek infrastruktur ini mengurangi tingkat pengangguran, maka proyek tsb mengurangi opportunity cost dari pekerja. Dan dalam hal ini tidak dengan serta merta mengubah cost menjadi benefit

dede mengatakan...

Pasha,
Maaf saya kurang begitu menangkap argumennya. Bukankah, proyek infrastruktur -seperti bisnis lainnya- akan berproduksi pada saat MC=MR atau pada long run marginal cost. Permintaan terhadap labour sendiri akan tercapai pada saat VMP=w. Jadi seharusnya besarnya tenaga kerja yang akan diserap dengan sendirinya sudah mencerminkan tingkat optimal. Apakah ini yang dimaksud?

Pasha mengatakan...

Bang Dede,

Yg saya maksud disini adalah jika kita berangkat dari kerangka cost-benefit analysis, maka penyerapan tenaga kerja dianggap sebagai cost dan bukan benefit krn upah pekerja itu adalah bagian dari cost structure sebuah proyek. Mungkin ini terdengar tidak lazim, tapi ini kesalahan umum yg sering terjadi dalam project evaluation, terutama dalam untuk proyek2 skala besar seperti proyek infrastruktur

dede mengatakan...

Pasha, ok saya mengerti sekarang. Benar dari sisi perusahaan ini adalah cost. Tetapi cost ini tidak menjadi soal dalam issue ini karena internally perusahaan akan melakukan maksimisasi, dimana besarnya pekerja yang diserap akan sesuai dengan MPL yang dalam pasar persaingan sama dengan upah. Artinya ketika kita bicara actual absorption (penyerapan), itu artinya sudah memperhitungkan optimisasi yang ada, Jadi kita anggap bahwa cost benefit analysis nya sudah berada dalam kondisi MB=MC

Anonim mengatakan...

wah bos kita tunggu aja pengangguran semakin bertambah Indonesia semakin terkena krisis yang sempoyongan,PHK semakin menjadi-jadi kredit macet semakin meningkat. Orang kaya dan pengusaha kaya diselamtkan pemerintah lewat bailout, harga BBM lebih mahal daripada BBM AS subisidi semakin kecil terhadap rakyat kecil,beginikah tingkah laku para alumni UI dan alumni kuliah jawa lainnya

http://riaumengugugat.blogspot.com

Erwin mengatakan...

jika dilihat dari permasalahannya. sebenarnya pengangguran itu tidak ada, jika kita tidak bersifat egois dan mau bersabar. namun terkadang sifat ego dari bangsa kita sendiri lah yang harus di perbaiki.

beribu-ribu peluang yang ditawarkan dalam pasar tenaga kerja, namun anak-anak bangsa ini sering memilah-milah pekerjaan. dengan alasan bahwa mereka sudah memiliki jenjang yang tinggi.

padahal kita tahu bahwa meraih sukses bukan secara langsung dapat diperoleh. namun dimulai dari yang terbawah, tekuni pekerjaan dan buatlah peluang dari pekerjaan. R.Kasali dan Mario Teguh telah membuktikannya.

pola pikir tersebutlah yang harus segera dirubah oleh anak2 bangsa ini. karena dengan adanya bukti empiris tersebut, sedikit banyak membuktikan bahwa pola pikir generasi bangsa kita masih "cetek"...

salam kenal.
New Comer.

Anonim mengatakan...

Hi.. Ada Peluang Usaha Tanpa Modal Nih!

Hi.. Barusan gw browsing di internet dan ketemu peluang usaha yang bagus banget nih! Gw kira ini bagus banget! Soalnya kita bisa jalankan peluang usaha ini tanpa modal sama sekali! Cara kerjanya gampang n ga ribet lagi. Coba kamu klik link ini ya.

http://www.usahaweb.com/27271.html